Anggota DPD RI usul bentuk Pansus Agraria
A
A
A
Sindonews.com - Usulan pembentukan Panitia khusus (pansus) Agraria disampaikan oleh beberapa anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, ketika membacakan laporan reses daerah masing-masing.
Rekomendasi tersebut disampaikan pertama kali oleh Anang Prihantoro (Anggota DPD RI Provinsi Lampung), ketika membacakan laporan reses dari Provinsi Lampung pada Sidang Paripurna ke-8 di Nusantara V, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (12/1/2012).
Sidang Paripurna dipimpin oleh Ketua DPD RI Irman Gusman dan Wakil Ketua DPD RI GKR Hemas.Anang menjelaskan bahwa terkait dengan konflik agraria, pemerintah pusat sepertinya menyerahkan masalah agraria ke pemerintah daerah. ”Ini tanda-tandanya akan lebih buruk lagi kondisinya, karena itu harus segera dibentuk pansus konflik agraria, karena tidak hanya terjadi di Lampung saja,” urainya.
Selain konflik agraria di Lampung, disampaikan juga masalah pertambangan di Bima, NTB, khususnya di Kecamatan Sape oleh Farouk Muhammad (Anggota DPD RI dari Provinsi NTB). Dalam konflik di Kecamatan Sape, DPD RI telah melakukan langkah konkret yaitu meninjau ke lapangan langsung dan telah mengadakan rapat kerja bersama Bupati Bima, DPRD Bima, Kapolres Bima serta Kementerian ESDM pada tanggal 27 Desember 2011. Pada rapat tersebut dihasilkan beberapa kesepakatan.
”Dalam hal pencabutan SK Bupati Nomor 188, kita sedang mencari formulanya, karena sulit merealisasikan aspirasi masyarakat yang mendesak untuk mencabutnya,” kata Farouk.
Daerah yang dilaporkan mengalami konflik agraria lainnya di antaranya di Provinsi Sulawesi Utara. Marhani Victor Poly Pua (Anggota DPD RI dari Provinsi Sulawesi Utara) menduga bahwa ada mafia pertanahan. ”Jadi perlu ada pengawasan pertanahan dari DPD”, kata Marhany.
Masalah yang sama juga terjadi di Sumatera Utara, seperti yang diungkapkan Darmayanti Lubis (Anggota DPD RI dari Provinsi Sumatera Utara). Ia menyebutkan bahwa masalah pertanahan di Sumatera Utara merupakan kasus terbesar, yaitu 20 kasus agraria di 5 kabupaten.
Pihak keamanan dianggap tidak netral, lanjut Darmayanti, dan berpihak pada pemodal (BUMN, swasta nasional/asing), sehingga terjadi perpecahan pada warga. Untuk menangani masalah tersebut, kata Darmayanti, Gubernur Sumatera Utara telah membentuk panitia pertanahan, namun diduga ada keterlibatan mafia tanah. ”Perlu dibentuk pansus agraria dan juga melakukan reformasi agraria,” ujar Darmayanti.
Dalam pidato Ketua DPD RI Irman Gusman pada pembukaan Sidang Paripurna ke-8, persoalan konflik sumber daya alam dan agraria yang melibatkan perusahaan dan masyarakat terkait dengan aspek hukum di bidang pertambangan dan lahan.
”Konflik juga muncul akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap tanggungjawab perusahaan dalam mengembangkan masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan”, urai Irman Gusman.
Irman Gusman menyatakan bahwa perlu adanya perhatian agar konflik seperti di Bima tidak meluas. ”DPD RI harus segera mendorong pemerintah mengkaji ulang kontrak karya pengelolaan tambang,” katanya.
Rekomendasi tersebut disampaikan pertama kali oleh Anang Prihantoro (Anggota DPD RI Provinsi Lampung), ketika membacakan laporan reses dari Provinsi Lampung pada Sidang Paripurna ke-8 di Nusantara V, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (12/1/2012).
Sidang Paripurna dipimpin oleh Ketua DPD RI Irman Gusman dan Wakil Ketua DPD RI GKR Hemas.Anang menjelaskan bahwa terkait dengan konflik agraria, pemerintah pusat sepertinya menyerahkan masalah agraria ke pemerintah daerah. ”Ini tanda-tandanya akan lebih buruk lagi kondisinya, karena itu harus segera dibentuk pansus konflik agraria, karena tidak hanya terjadi di Lampung saja,” urainya.
Selain konflik agraria di Lampung, disampaikan juga masalah pertambangan di Bima, NTB, khususnya di Kecamatan Sape oleh Farouk Muhammad (Anggota DPD RI dari Provinsi NTB). Dalam konflik di Kecamatan Sape, DPD RI telah melakukan langkah konkret yaitu meninjau ke lapangan langsung dan telah mengadakan rapat kerja bersama Bupati Bima, DPRD Bima, Kapolres Bima serta Kementerian ESDM pada tanggal 27 Desember 2011. Pada rapat tersebut dihasilkan beberapa kesepakatan.
”Dalam hal pencabutan SK Bupati Nomor 188, kita sedang mencari formulanya, karena sulit merealisasikan aspirasi masyarakat yang mendesak untuk mencabutnya,” kata Farouk.
Daerah yang dilaporkan mengalami konflik agraria lainnya di antaranya di Provinsi Sulawesi Utara. Marhani Victor Poly Pua (Anggota DPD RI dari Provinsi Sulawesi Utara) menduga bahwa ada mafia pertanahan. ”Jadi perlu ada pengawasan pertanahan dari DPD”, kata Marhany.
Masalah yang sama juga terjadi di Sumatera Utara, seperti yang diungkapkan Darmayanti Lubis (Anggota DPD RI dari Provinsi Sumatera Utara). Ia menyebutkan bahwa masalah pertanahan di Sumatera Utara merupakan kasus terbesar, yaitu 20 kasus agraria di 5 kabupaten.
Pihak keamanan dianggap tidak netral, lanjut Darmayanti, dan berpihak pada pemodal (BUMN, swasta nasional/asing), sehingga terjadi perpecahan pada warga. Untuk menangani masalah tersebut, kata Darmayanti, Gubernur Sumatera Utara telah membentuk panitia pertanahan, namun diduga ada keterlibatan mafia tanah. ”Perlu dibentuk pansus agraria dan juga melakukan reformasi agraria,” ujar Darmayanti.
Dalam pidato Ketua DPD RI Irman Gusman pada pembukaan Sidang Paripurna ke-8, persoalan konflik sumber daya alam dan agraria yang melibatkan perusahaan dan masyarakat terkait dengan aspek hukum di bidang pertambangan dan lahan.
”Konflik juga muncul akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap tanggungjawab perusahaan dalam mengembangkan masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan”, urai Irman Gusman.
Irman Gusman menyatakan bahwa perlu adanya perhatian agar konflik seperti di Bima tidak meluas. ”DPD RI harus segera mendorong pemerintah mengkaji ulang kontrak karya pengelolaan tambang,” katanya.
()