Berpikir Perubahan
A
A
A
Sindonews.com-Kita, kini sudah berada di 2012, di mana saatnya untuk membuat perubahan yang lebih baik. Perubahan cara berpikir yang positif, optimistis, prioritas dan spirit untuk mendorong kemakmuran rakyat Indonesia.
Cara berpikir lama, yang masih terkotak-kotak, negative thinking, jalan pintas, lamban dan tidak punya prioritas, sudah saatnya ditanggalkan. Cara berpikir kita seharusnya dalam konteks keindonesiaan, bukan dalam konteks pribadi, kelompok, dan kepentingan jangka pendek.
Kita mencatat peristiwa yang mencoreng muka bangsa di 2011, di mana cara berpikir yang tidak sehat ternyata masih sangat dominan. Bahkan ada kesan cara berpikir tidak sehat itu menjadi sebuah strategi.
Lihat saja,bangsa Indonesia yang sudah merdeka 67 tahun, ternyata masyarakatnya masih labil dan mudah digerakkan oleh provokasi negatif. Ada kasus pembakaran pesantren di Sampang, ada kasus Mesuji, dan banyak konflik kasus tanah dengan aparat.
Masyarakat yang labil ini bukan karena sebab. Ada gerakan berpikir yang memengaruhi mereka yang didesain oleh kepentingan. Dalam teori berpikir ada tesa, sudah pasti ada antitesa.
Kita melihat terkontaminasinya masyarakat dalam gerakan komunal yang negatif karena masih kuatnya cara berpikir politik yang literal, pragmatis.Kondisi ini sangat membahayakan bagi masyarakat dan masa depan bangsa.
Apa pun, masyarakat yang akan menjadi korban, sementara arsiteknya yang di benaknya penuh kepentingan politik yang akan mengambil keuntungan. Yang kita lihat, pihak-pihak yang penuh kepentingan ini, dalam teori konspirasi memang tidak terlihat. Namun, tiba-tiba pihakpihak ini muncul sebagai hero, sebagai aku yang seolah-olah berguna dan memberikan perlindungan.
Bagi kita, cara berpikir yang ingin mengambil keuntungan dengan mendesain gejolak yang bersifat komunal, adalah sebuah kejahatan.Yang kita lihat sekarang sebenarnya bukan saja sebuah desain konflik komunal yang diterapkan, melainkan juga ada target personal.
Bagaimana akal sehat kita bisa menerima, dengan tradisi character assassinationyang membudaya dan melembaga. Tidak peduli itu kawan dekat, teman politik, bahkan pimpinannya sendiri di partai politik harus dihancurkan dengan berbagai cara agar kepentingan politiknya bisa cepat terpenuhi.
Jujur melihat tradisi berpikir yang kotor ini, miris. Apakah bangsa ini siap menatap perubahan yang lebih baik. Padahal, perangkat-perangkat kita untuk menuju tahapan yang lebih baik sudah cukup kuat, tetapi elemen-elemen penting dari bangsa ini masih terlalu sulit menjauhkan cara berpikir jorok yang lebih berorientasi kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Di tengah banyaknya berita buruk di 2011, bukankah kita masih ada kabar positif, di mana Indonesia masuk investment grade, indeks pembangunan manusia membaik, indeks daya saing Indonesia ikut membaik. Namun, cerita-cerita positif ini, seperti kabur dan tenggelam tatkala kita melihat gejolak komunal dan tradisi character assassination di Indonesia masih sangat dominan.
Alangkah idiotnya bangsa ini, ketika semua elemen bangsa tidak bisa memanfaatkan momentum Indonesia yang lebih baik.Kita harus belajar banyak dari Afrika Selatan, Korea Selatan, bahkan Malaysia dan Singapura yang memiliki cara berpikir positif yang lebih baik.
Cara berpikir lama, yang masih terkotak-kotak, negative thinking, jalan pintas, lamban dan tidak punya prioritas, sudah saatnya ditanggalkan. Cara berpikir kita seharusnya dalam konteks keindonesiaan, bukan dalam konteks pribadi, kelompok, dan kepentingan jangka pendek.
Kita mencatat peristiwa yang mencoreng muka bangsa di 2011, di mana cara berpikir yang tidak sehat ternyata masih sangat dominan. Bahkan ada kesan cara berpikir tidak sehat itu menjadi sebuah strategi.
Lihat saja,bangsa Indonesia yang sudah merdeka 67 tahun, ternyata masyarakatnya masih labil dan mudah digerakkan oleh provokasi negatif. Ada kasus pembakaran pesantren di Sampang, ada kasus Mesuji, dan banyak konflik kasus tanah dengan aparat.
Masyarakat yang labil ini bukan karena sebab. Ada gerakan berpikir yang memengaruhi mereka yang didesain oleh kepentingan. Dalam teori berpikir ada tesa, sudah pasti ada antitesa.
Kita melihat terkontaminasinya masyarakat dalam gerakan komunal yang negatif karena masih kuatnya cara berpikir politik yang literal, pragmatis.Kondisi ini sangat membahayakan bagi masyarakat dan masa depan bangsa.
Apa pun, masyarakat yang akan menjadi korban, sementara arsiteknya yang di benaknya penuh kepentingan politik yang akan mengambil keuntungan. Yang kita lihat, pihak-pihak yang penuh kepentingan ini, dalam teori konspirasi memang tidak terlihat. Namun, tiba-tiba pihakpihak ini muncul sebagai hero, sebagai aku yang seolah-olah berguna dan memberikan perlindungan.
Bagi kita, cara berpikir yang ingin mengambil keuntungan dengan mendesain gejolak yang bersifat komunal, adalah sebuah kejahatan.Yang kita lihat sekarang sebenarnya bukan saja sebuah desain konflik komunal yang diterapkan, melainkan juga ada target personal.
Bagaimana akal sehat kita bisa menerima, dengan tradisi character assassinationyang membudaya dan melembaga. Tidak peduli itu kawan dekat, teman politik, bahkan pimpinannya sendiri di partai politik harus dihancurkan dengan berbagai cara agar kepentingan politiknya bisa cepat terpenuhi.
Jujur melihat tradisi berpikir yang kotor ini, miris. Apakah bangsa ini siap menatap perubahan yang lebih baik. Padahal, perangkat-perangkat kita untuk menuju tahapan yang lebih baik sudah cukup kuat, tetapi elemen-elemen penting dari bangsa ini masih terlalu sulit menjauhkan cara berpikir jorok yang lebih berorientasi kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Di tengah banyaknya berita buruk di 2011, bukankah kita masih ada kabar positif, di mana Indonesia masuk investment grade, indeks pembangunan manusia membaik, indeks daya saing Indonesia ikut membaik. Namun, cerita-cerita positif ini, seperti kabur dan tenggelam tatkala kita melihat gejolak komunal dan tradisi character assassination di Indonesia masih sangat dominan.
Alangkah idiotnya bangsa ini, ketika semua elemen bangsa tidak bisa memanfaatkan momentum Indonesia yang lebih baik.Kita harus belajar banyak dari Afrika Selatan, Korea Selatan, bahkan Malaysia dan Singapura yang memiliki cara berpikir positif yang lebih baik.
()