Menangkal Suap dan Pemerasan

Jum'at, 23 Desember 2011 - 08:42 WIB
Menangkal Suap dan Pemerasan
Menangkal Suap dan Pemerasan
A A A
Boleh juga cara yang digunakan Rommy Hartono Theos, seorang saksi kasus korupsi di Takalar, Sulawesi Selatan, saat bertemu Kepala Kejaksaan Negeri Rakhmat Harianto.

Dalam pertemuan itu,Rommy merekam pembicaraan dengan telepon seluler.Terbongkarlah aib, di mana sang jaksa mencoba memeras Rommy uang senilai Rp500 juta. Hasil rekaman itu dimasukkan ke dalam cakram DVD sebagai barang bukti saat melaporkan tindakan Rakhmat.

Cara-cara seperti dilakukan Rommy memang perlu untuk memupus praktik-praktik korupsi yang tidak kunjung habis.Sejak reformasi 13 tahun lalu, boleh dibilang korupsi justru makin berkembang.

Korupsi makin bervariasi dengan cara-cara makin rumit. Kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, korupsi sekarang bahkan makin marak di daerah. Satu bentuk korupsi yang paling sering dilakukan adalah suap. Model lain adalah pemerasan oleh penegak hukum. Berbagai kasus suap dan pemerasan di banyak lembaga berhasil diungkap KPK.

Misalnya di Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kejaksaan Agung (Kejagung), Komisi Yudisial (KY), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta banyak lembaga lainnya. Di KPK, penyidik AKP Suparman bahkan pernah divonis karena suap.

Meskipun sudah banyak yang tertangkap dan terungkap, kasus suap dan pemerasan tak juga berhenti.Setiap saat datang silih berganti. Maka itu, cara-cara seperti yang dilakukan Rommy merekam pembicaraannya dengan jaksa bisa dicoba sebagai salah satu kiat menjebak pelaku korupsi.

Di luar itu, butuh cara-cara lain yang di luar akal agar budaya korupsi, terutama suap dan pemerasan, sedikit demi sedikit makin terkikis. Sebuah lembaga swadaya masyarakat di India, Fifth Pillar, misalnya,punya cara cerdas untuk mengampanyekan pemberantasan suap.

Mereka menerbitkan uang rupee palsu dalam jumlah jutaan lembar bernilai nol rupee.Ada gambar Mahatma Gandhi dalam uang palsu itu serta tulisan, saya berjanji tidak memberi atau menerima suap.

Masih dari India, penasihat ekonomi utama Kementerian Keuangan India Kaushik Basu pernah mengusulkan agar pemberi suap bebas dari tuntutan hukum.Usulan muncul karena di India, hukum memperlakukan pemberi dan penerima suap sebagai tindak kejahatan.Basu menilai,hal ini mempersulit pembasmian para pejabat yang korup karena pemberi suap juga melanggar hukum.

Jika mengeluh,pemberi suap terkena risiko penuntutan. Nah,apabila pemberi suap dilegalkan,kepentingan pemberi dan penerima bertabrakan, dan sangat mungkin si pemberi akan melaporkan dan penerima suap akan tertangkap. China juga punya cara-cara yang mengandalkan teknologi untuk menjerat koruptor.

Pemerintah China menyusun situs internet di setiap provinsi yang memungkinkan publik menyampaikan laporan tentang hakim-hakim nakal. Laporan itu secara otomatis akan terkirim ke situs pusat. Ketika sebuah laporan masuk, hakim diminta merespons laporan dalam kurun 10 hari.

Pengawas hakim lantas diwajibkan mengabarkan penanganan terhadap keluhan publik di situs tersebut.Dengan cara ini,pelapor akan mendapatkan jawaban apakah laporannya diurus atau diabaikan. Segala macam cara memang perlu dilakukan untuk memupus korupsi yang berakar kuat dan tumbuh subur.Peran masyarakat akan sangat membantu pengungkapan kasus-kasus korupsi tersembunyi.

Lebih penting lagi, untuk membersihkan lantai korupsi yang kotor,sapunya harus bersih,dan pembersihan harus dimulai dari atas.
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7978 seconds (0.1#10.140)