Pengamat Nilai Kawasan Tanpa Rokok di Sekolah Belum Maksimal

Rabu, 19 Februari 2020 - 07:45 WIB
Pengamat Nilai Kawasan Tanpa Rokok di Sekolah Belum Maksimal
Pengamat Nilai Kawasan Tanpa Rokok di Sekolah Belum Maksimal
A A A
JAKARTA - Implementasi kawasan tanpa rokok (KTR) di sekolah dinilai belum berjalan maksimal. Karena itu, penerapan KTR dinilai perlu masuk ke indikator kinerja.

Peneliti Senior Pusat Kajian Gizi Regional Universitas Indonesia/Southeast Asian Minister of Education Regional Center for Food and Nutrition (PKGR UI/SEAMEO-RECFON) Grace Wangge mengatakan, saat ini upaya pengendalian tembakau dan penerapan KTR diatur oleh PP Nomor 109/2012 dan Permendikbud Nomor 64/2015.

Namun, dia menilai pelaksanaan kedua peraturan tersebut di sekolah masih belum optimal. Hal ini juga terjadi karena belum ada evaluasi dari penerapan KTR dan pengendalian tembakau itu. “Ya, sebenarnya belum kelihatan di sekolah. Cuma kaya pasang plang di sekolah, tapi belum ada pendidikan khusus untuk mengajari anak,” ungkap Grace pada publikasi policy brief bertajuk “Pembangunan SDM Unggul melalui Pengendalian Tembakau dan Penerapan KTR di Lingkungan Sekolah dan Percepatan Penanganan Stunting dengan Pemanfaatan Pajak dan Cukai Rokok” di Jakarta kemarin.

Grace berharap rekomendasi kebijakan yang dilakukan ini bisa menjadi dasar kebijakan bagi kementerian terkait. Grace menjelaskan, data Global Tobacco Survey menyebutkan jumlah perokok pemula dari tahun ke tahun semakin lama semakin naik. Bahkan, yang memprihatinkan adalah ada anak di Indonesia yang kurang dari tujuh tahun sudah merokok.

Melalui penelitian yang dilakukan ini, pihaknya memberikan rekomendasi agar upaya pengendalian tembakau dan penerapan KTR di sekolah dijadikan salah satu indikator kinerja dinas terkait, guru, kepala sekolah, dan ada evaluasi secara periodik. Menurut Grace, di dalam permendikbud sudah ada poin penerapan KTR di sekolah, dari pendidikan hingga pelarangan iklan.

Dia menilai poin kriteria ini bisa dimasukkan ke dalam indeks kinerja tersebut. Indeks kinerja sekolah ini bisa diterapkan sama halnya dengan sistem akreditasi di rumah sakit, di mana jika ditemukan satu puntung rokok saja, akreditasinya bisa berkurang. “Itu kan sebenarnya bisa juga diterapkan ke sekolah. Itu saran dari kami. Indikatornya seperti apa? Merujuk saja ke peraturan yang sudah ada di permendikbud,” paparnya.

Rekomendasi kedua untuk pengendalian tembakau dan penerapan KTR di sekolah yaitu mengintegrasikan materi mengenai bahaya tembakau dan rokok bagi kesehatan dan gizi ke dalam kurikulum pendidikan anak sekolah sedini mungkin. Selanjutnya upaya perbaikan gizi anak sekolah, terutama di daerah yang memiliki angka prevalensi keluarga dengan perokok yang tinggi. Rekomendasi terakhir adalah membuat kebijakan mengenai pendidikan orang tua mengenai akibat rokok terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak.

Deputi Koordinasi Peningkatan Kesehatan Kemenko PMK Agus Suprapto sepakat jika pelaksanaan kawasan tanpa rokok di sekolah harus ditingkatkan. Namun, tidak hanya dengan membangun kawasan, tetapi semua orang di dalam sekolah harus bisa menunjukkan perilaku tidak merokok. “Kawasan tanpa rokok tadi memang harus dimulai dari pendidikan. Karena tempat pendidikan itulah paling banyak anak kita, masa depan ada di situ,” katanya.

Direktur SEAMEO RECFON Muchtaruddin Mansyur mengatakan, kebiasaan orang tua merokok di rumah juga mendorong anak untuk merokok setiap hari. Perilaku merokok dalam keluarga terbukti memengaruhi kesehatan dan status gizi anak. Tidak hanya pada anak usia sekolah, namun juga balita. (Neneng Zubaidah)
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6363 seconds (0.1#10.140)