Romantisme Kejayaan Masa Lalu Berpotensi Picu Konflik Sosial
A
A
A
JAKARTA - Munculnya romantisme sejarah kejayaan masa lalu berupa seperti Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire, Kesultanan Selacau, dan lain-lain, terkesan seperti dagelan.
Kendati deikian, fenomena ini dinilai harus tetap diwaspadai. Bukan tidak mungkin munculnya klaim-klaim kekuasaan itu bisa memicu terjadinya konflik sosial di masyarakat.
“Walaupun bentuknya adalah sistem pemerintahan alternatif dan kelihatannya seperti dagelan, tapi fenomena ini bisa menjadi alat baca bahwa barangkali tak sedikit masyarakat yang muak dengan politik pemerintahan hari ini. Apalagi diperparah dengan situasi sosial dan ekonomi yang mereka hadapi,” tutur pengamat komunikasi politik, Hendri Satrio di Jakarta, Senin (27/1/2020).
Menurut Hendri, hal-hal seperti itu sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya juga pernah muncul kerajaan-kerajaan imajinatif dan tak sedikit masyarakat yang percaya dengan imajinasi kejayaan masa lalu. Seperti SwissIndo, yang bisa melunasi hutang Indonesia dan masyarakat, atau harta karun peninggalan masa lalu.
(Baca Juga: Marak Kerajaan Baru di Indonesia, Ini Pandangan Pengamat Sosial UI)
Pada tahun 2002, kata dia, Menteri Agama Republik Indonesia bahkan menggali Istana Batu Tulis untuk mendapatkan harta karun. Lalu Kerajaan Ubur-Ubur, Gafatar, bahkan Kerajaan Lia Eden yang sempat gempar dengan membawa isu agama.
“Saya pikir ada dua hal yang memang menjadi pemicu maraknya narasi semacam ini. Pertama, kondisi ekonomi dan sosial yang makin rumit bagi masyarakat, mereka butuh alternatif. Kedua literasi sains kita begitu rendah,” ungkap Founder lembaga survei KedaiKOPI ini.
Selain itu, lanjut Hendri, gejala kerinduan kejayaan masa lalu dengan kembali ke identitas promordial seperti suku, kerajaan yang pernah jaya, bahkan agama serta ras seperti white supremacy di Amerika, supremasi Hindu di India, dan gerakan Neo Nazi di Eropas, merupakan reaksi atas kekecewaan masyarakat. Mereka proses terhadap modernisasi dan globalisasi yang tak kunjung menyejahterakan.
Dia juga mengungkapkan, perlu digarisbawahi terkait literasi sains dan nalar kritis masyarakat. Beberapa tahun lalu misalnya atau bahkan hingga sekarang, masih banyak orang percaya flat earth atau teori konspirasi lain. Ini fenomena yang landasannya mirip, yaitu memanfaatkan ketidakmampuan masyarakat mengkonfirmasi suatu narasi dengan landasan sains.
“Bila flat earth terkait fisika dan astronomi, maka kesultanan dan segala kerajaan itu terkait dengan disiplin ilmu sejarah. Sejarawan-sejarawan kita mesti berbicara dan mengkonfirmasi dagelan ini,” tutur Hendri.
Dia menguraikan, mental atau psikologisme masyarakat itu hanya sebentuk gejala. Justru hal yang perlu dilihat adalah situasi dan kondisi macam apa yang membuat masyarakat bisa mempercayai itu.
Dalam pandangannya, jawabannya bisa terkait fatalisme yang berkombinasi dengan nostalgia. Menurut dia, bisa jadi mereka benar-benar muak dengan situasi yang mereka hadapi hari ini seperti kondisi sosial, ekonomi, dan seterusnya.
Bisa juga, sambung Hendri, mereka butuh alternatif lain, untuk mengubah situasi hidup mereka, yang mana sayangnya tidak perlu ada jawaban atau penjelasan ilmiah atas hal tersebut.
“Ada alasan kenapa masyarakat kita tak sedikit yang terjebak pada penipuan dengan bentuk MLM atau penipuan cara cepat untuk menjadi kaya yang lain. Apa yang ditawarkan inisiator kerajaan imajinatif itu juga mirip pada pengikutnya yaitu kekuasaan dan kekayaan dengan cara cepat,” tutur akademisi di Universitas Paramadina ini.
Mengenai peran media sosial dalam kasus ini, Hendri menilai sangat kecil. Menurut dia, media sosial memantik masyarakat di Jakarta tahu tentang apa yang terjadi di daerah, bahwa di sana ada orang-orang yang percaya terhadap kerajaan atau kesultanan dari masa lalu. Tapi bukan, sebagai sarana utama mereka mendulang pengikut.
Diaa mengungkapkan, kaum revivalis adalah mereka yang membenci hari ini, mereka bernostalgia pada masa lalu dan membutuhkan penyelamat yang bisa mengantarkan pada kejayaan pada masa lalu tersebut.
"Sayangnya mereka bernostalgia pada imajinasi, yang bahkan di masa lalunya bukan hanya tidak relevan, tetapi memang tidak ada," katanya.
Kendati deikian, fenomena ini dinilai harus tetap diwaspadai. Bukan tidak mungkin munculnya klaim-klaim kekuasaan itu bisa memicu terjadinya konflik sosial di masyarakat.
“Walaupun bentuknya adalah sistem pemerintahan alternatif dan kelihatannya seperti dagelan, tapi fenomena ini bisa menjadi alat baca bahwa barangkali tak sedikit masyarakat yang muak dengan politik pemerintahan hari ini. Apalagi diperparah dengan situasi sosial dan ekonomi yang mereka hadapi,” tutur pengamat komunikasi politik, Hendri Satrio di Jakarta, Senin (27/1/2020).
Menurut Hendri, hal-hal seperti itu sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya juga pernah muncul kerajaan-kerajaan imajinatif dan tak sedikit masyarakat yang percaya dengan imajinasi kejayaan masa lalu. Seperti SwissIndo, yang bisa melunasi hutang Indonesia dan masyarakat, atau harta karun peninggalan masa lalu.
(Baca Juga: Marak Kerajaan Baru di Indonesia, Ini Pandangan Pengamat Sosial UI)
Pada tahun 2002, kata dia, Menteri Agama Republik Indonesia bahkan menggali Istana Batu Tulis untuk mendapatkan harta karun. Lalu Kerajaan Ubur-Ubur, Gafatar, bahkan Kerajaan Lia Eden yang sempat gempar dengan membawa isu agama.
“Saya pikir ada dua hal yang memang menjadi pemicu maraknya narasi semacam ini. Pertama, kondisi ekonomi dan sosial yang makin rumit bagi masyarakat, mereka butuh alternatif. Kedua literasi sains kita begitu rendah,” ungkap Founder lembaga survei KedaiKOPI ini.
Selain itu, lanjut Hendri, gejala kerinduan kejayaan masa lalu dengan kembali ke identitas promordial seperti suku, kerajaan yang pernah jaya, bahkan agama serta ras seperti white supremacy di Amerika, supremasi Hindu di India, dan gerakan Neo Nazi di Eropas, merupakan reaksi atas kekecewaan masyarakat. Mereka proses terhadap modernisasi dan globalisasi yang tak kunjung menyejahterakan.
Dia juga mengungkapkan, perlu digarisbawahi terkait literasi sains dan nalar kritis masyarakat. Beberapa tahun lalu misalnya atau bahkan hingga sekarang, masih banyak orang percaya flat earth atau teori konspirasi lain. Ini fenomena yang landasannya mirip, yaitu memanfaatkan ketidakmampuan masyarakat mengkonfirmasi suatu narasi dengan landasan sains.
“Bila flat earth terkait fisika dan astronomi, maka kesultanan dan segala kerajaan itu terkait dengan disiplin ilmu sejarah. Sejarawan-sejarawan kita mesti berbicara dan mengkonfirmasi dagelan ini,” tutur Hendri.
Dia menguraikan, mental atau psikologisme masyarakat itu hanya sebentuk gejala. Justru hal yang perlu dilihat adalah situasi dan kondisi macam apa yang membuat masyarakat bisa mempercayai itu.
Dalam pandangannya, jawabannya bisa terkait fatalisme yang berkombinasi dengan nostalgia. Menurut dia, bisa jadi mereka benar-benar muak dengan situasi yang mereka hadapi hari ini seperti kondisi sosial, ekonomi, dan seterusnya.
Bisa juga, sambung Hendri, mereka butuh alternatif lain, untuk mengubah situasi hidup mereka, yang mana sayangnya tidak perlu ada jawaban atau penjelasan ilmiah atas hal tersebut.
“Ada alasan kenapa masyarakat kita tak sedikit yang terjebak pada penipuan dengan bentuk MLM atau penipuan cara cepat untuk menjadi kaya yang lain. Apa yang ditawarkan inisiator kerajaan imajinatif itu juga mirip pada pengikutnya yaitu kekuasaan dan kekayaan dengan cara cepat,” tutur akademisi di Universitas Paramadina ini.
Mengenai peran media sosial dalam kasus ini, Hendri menilai sangat kecil. Menurut dia, media sosial memantik masyarakat di Jakarta tahu tentang apa yang terjadi di daerah, bahwa di sana ada orang-orang yang percaya terhadap kerajaan atau kesultanan dari masa lalu. Tapi bukan, sebagai sarana utama mereka mendulang pengikut.
Diaa mengungkapkan, kaum revivalis adalah mereka yang membenci hari ini, mereka bernostalgia pada masa lalu dan membutuhkan penyelamat yang bisa mengantarkan pada kejayaan pada masa lalu tersebut.
"Sayangnya mereka bernostalgia pada imajinasi, yang bahkan di masa lalunya bukan hanya tidak relevan, tetapi memang tidak ada," katanya.
(dam)