Firli Bahuri Rangkap Jabatan, KPK Perlu Bentuk Komite Etik
A
A
A
JAKARTA - Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto menilai, perlu dibentuk Komite Etik untuk melakukan pemeriksaan atas tindakan Ketua KPK Firli Bahuri yang merangkap jabatan.
Bambang Widjojanto yang karib disapa BW menyatakan, status Firli Bahuri sebagai Ketua KPK periode 2019-2023 tidaklah dibenarkan merangkapkan jabatan tersebut dengan jabatan Analisis Kebijakan Utama Badan Pemilihara Keamanan (Baharkam) Mabes Polri.
Menurut BW, sudah saatnya dibentuk Komite Etik dan Komite Etik bekerja untuk pemeriksaan dugaan pelanggaran tersebut.
"Komite Etik KPK sudah saatnya bekerja untuk menegakan kehormatan KPK. Perangkapan jabatan secara sengaja adalah pelanggaran atas prasyarat menjadi Pimpinan KPK. Penyidik saja diberhentikan sementara, maka tidaklah pantas pimpinan KPK masih punya jabatan lain," ujar BW kepada KORAN SINDO, Jumat (3/1/2020).
Pembentukan dan bekerjanya Komite Etik, ujar BW, dapat diselenggarakan melalui Dewan Pengawas. Hal ini dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 19/2019 tentang KPK yang telah berlaku. Menurut dia, kalau tidak bisa dilaksanakan pemeriksaan etik tersebut oleh Dewan Pengawas maka dapat dibentuk Komite Etik independen.
"Sebaiknya didorong Komite Etik yang independen. Jika tidak maka pemeriksaan etik jadi tertutup," bebernya.
BW berpandangan, Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri sebagai Ketua KPK jelas telah mulai menabuh gendang berirama gonjang-ganjing yang potensial dapat menghancurkan kredebilitas lembaga KPK. Musababnya meski Firli telah resmi menjabat sebagai Ketua KPK tapi tetap merangkap jabatan sebagai Analisis Kebijakan Utama Baharkam Mabes Polri.
"Itu (Analisis Kebijakan Utama Baharkam) adalah jabatan walau bukan jabatan struktural. Tindakan Firli Bahuri punya indikasi konflik kepentingan sehingga pilihannya harus mundur," ungkapnya.
Pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW) ini memaparkan, sikap dan tindakan Firli Bahuri sangat bertentangan dengan sikap yang sebelumnya telah diambil oleh Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolanggo. Pasalnya sebelum dilantik menjadi pimpinan KPK, Nawawi justru telah mundur dan mengajukan surat pengunduran diri.
"Tindakan Ketua KPK itu juga bertentangan dengan pernyataan Staf khusus Presiden Bidang Hukum Dini Shanti yang menyatakan pimpinan KPK harus melepaskan semua jabatannya selama memimpin KPK," imbuhnya.
BW menambahkan, Firli Bahuri sebagai Ketua KPK jiyga punya indikasi telah secara sengaja menghina dirinya sendiri dan lembaga KPK. Alasannya menurut BW, penyelidik, penyidik, dan penuntut umun KPK saja harus diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama bekerja di KPK. Hal ini sesuai Pasal 39 ayat (3) UU Nomor 30/2002 tentang KPK yang tidak diubah dalam UU Nomor 19/2019.
Bambang Widjojanto yang karib disapa BW menyatakan, status Firli Bahuri sebagai Ketua KPK periode 2019-2023 tidaklah dibenarkan merangkapkan jabatan tersebut dengan jabatan Analisis Kebijakan Utama Badan Pemilihara Keamanan (Baharkam) Mabes Polri.
Menurut BW, sudah saatnya dibentuk Komite Etik dan Komite Etik bekerja untuk pemeriksaan dugaan pelanggaran tersebut.
"Komite Etik KPK sudah saatnya bekerja untuk menegakan kehormatan KPK. Perangkapan jabatan secara sengaja adalah pelanggaran atas prasyarat menjadi Pimpinan KPK. Penyidik saja diberhentikan sementara, maka tidaklah pantas pimpinan KPK masih punya jabatan lain," ujar BW kepada KORAN SINDO, Jumat (3/1/2020).
Pembentukan dan bekerjanya Komite Etik, ujar BW, dapat diselenggarakan melalui Dewan Pengawas. Hal ini dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 19/2019 tentang KPK yang telah berlaku. Menurut dia, kalau tidak bisa dilaksanakan pemeriksaan etik tersebut oleh Dewan Pengawas maka dapat dibentuk Komite Etik independen.
"Sebaiknya didorong Komite Etik yang independen. Jika tidak maka pemeriksaan etik jadi tertutup," bebernya.
BW berpandangan, Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri sebagai Ketua KPK jelas telah mulai menabuh gendang berirama gonjang-ganjing yang potensial dapat menghancurkan kredebilitas lembaga KPK. Musababnya meski Firli telah resmi menjabat sebagai Ketua KPK tapi tetap merangkap jabatan sebagai Analisis Kebijakan Utama Baharkam Mabes Polri.
"Itu (Analisis Kebijakan Utama Baharkam) adalah jabatan walau bukan jabatan struktural. Tindakan Firli Bahuri punya indikasi konflik kepentingan sehingga pilihannya harus mundur," ungkapnya.
Pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW) ini memaparkan, sikap dan tindakan Firli Bahuri sangat bertentangan dengan sikap yang sebelumnya telah diambil oleh Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolanggo. Pasalnya sebelum dilantik menjadi pimpinan KPK, Nawawi justru telah mundur dan mengajukan surat pengunduran diri.
"Tindakan Ketua KPK itu juga bertentangan dengan pernyataan Staf khusus Presiden Bidang Hukum Dini Shanti yang menyatakan pimpinan KPK harus melepaskan semua jabatannya selama memimpin KPK," imbuhnya.
BW menambahkan, Firli Bahuri sebagai Ketua KPK jiyga punya indikasi telah secara sengaja menghina dirinya sendiri dan lembaga KPK. Alasannya menurut BW, penyelidik, penyidik, dan penuntut umun KPK saja harus diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama bekerja di KPK. Hal ini sesuai Pasal 39 ayat (3) UU Nomor 30/2002 tentang KPK yang tidak diubah dalam UU Nomor 19/2019.
(maf)