UU Pemasyarakatan Direvisi, Perbaikan Manajemen Lapas Jadi Tantangan
A
A
A
JAKARTA - Pakar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Jakarta, Suparji Achmad menilai kedua Undang-Undang Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pas) sesuai dengan filosofi pemasyarakatan, yakni memulihkan harkat dan martabat orang yang tersangkut masalah hukum dengan cara dipenjara.
“Diharapkan undang-undang ini bisa membuat mereka kembali ke masyarakat dengan baik setelah dipenjara,” kata Suparji kepada SINDOnews, di Jakarta, Rabu (17/9/2019).
Suparji memaparkan, konsekuensi dari perubahan UU adalah kembali berlakunya PP 32/1999. Dengan demikian tidak ada lagi disikriminasi terhadap tindak pidana tertentu.
Karena selama ini, kata dia, ada diskriminasi untuk tindak pidana korupsi, terorisme dan kejahatan narkoba untuk mendapatkan remisi. Sebenarnya dikatakan dia, itu bertentangan dengan konsep bahwa setiap narapidana mendapatkan hak yang sama. (Baca Juga: UU Pemasyarakatan Direvisi, Syarat Remisi Koruptor dan Teroris Dipermudah)
Masalahnya, lanjut Suparji, bagaimana caranya agar dengan peluang remisi itu bisa memberikan efek jera atau membuat mereka enggan kembali melakukan kejahatan.
Menurut dia, pembuat undang-undang harus memikirkan bagaimana cara membuat narapidana ini menjadi orang yang jauh lebih baik.
Dia menjelaskan, revisi UU membuat pergeseran paradigma dari pemidanaan dengan konsep pemenjaraan menjadi konsep pemulihan. Tidak semata-mata orang dijatuhi sanksi dengan pemidanaan. Terlebih, ada fakta lapas sudah overcapasity yang membuat beban negara menjadi tinggi dan banyak konsekuensi ekonomi lain.
“Kalau semua dipenjara dalam waktu yang lama, tanpa adanya remisi akan menjadi masalah serius," tuturnya,
Meski demikian, kata dia, pemberian revisi harus selektif. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan aparat di bawahnya dituntut untuk memberikan penilaian yang obyektif.
Tujuannya, kata dia, agar remisi tidak diobral. “Tetapi kemudian, pendekatannya bahwa mereka sudah berubah baik, mereka sudah bisa turun ke masyarakat, dan lain sebagainya,” tuturnya.
“Diharapkan undang-undang ini bisa membuat mereka kembali ke masyarakat dengan baik setelah dipenjara,” kata Suparji kepada SINDOnews, di Jakarta, Rabu (17/9/2019).
Suparji memaparkan, konsekuensi dari perubahan UU adalah kembali berlakunya PP 32/1999. Dengan demikian tidak ada lagi disikriminasi terhadap tindak pidana tertentu.
Karena selama ini, kata dia, ada diskriminasi untuk tindak pidana korupsi, terorisme dan kejahatan narkoba untuk mendapatkan remisi. Sebenarnya dikatakan dia, itu bertentangan dengan konsep bahwa setiap narapidana mendapatkan hak yang sama. (Baca Juga: UU Pemasyarakatan Direvisi, Syarat Remisi Koruptor dan Teroris Dipermudah)
Masalahnya, lanjut Suparji, bagaimana caranya agar dengan peluang remisi itu bisa memberikan efek jera atau membuat mereka enggan kembali melakukan kejahatan.
Menurut dia, pembuat undang-undang harus memikirkan bagaimana cara membuat narapidana ini menjadi orang yang jauh lebih baik.
Dia menjelaskan, revisi UU membuat pergeseran paradigma dari pemidanaan dengan konsep pemenjaraan menjadi konsep pemulihan. Tidak semata-mata orang dijatuhi sanksi dengan pemidanaan. Terlebih, ada fakta lapas sudah overcapasity yang membuat beban negara menjadi tinggi dan banyak konsekuensi ekonomi lain.
“Kalau semua dipenjara dalam waktu yang lama, tanpa adanya remisi akan menjadi masalah serius," tuturnya,
Meski demikian, kata dia, pemberian revisi harus selektif. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan aparat di bawahnya dituntut untuk memberikan penilaian yang obyektif.
Tujuannya, kata dia, agar remisi tidak diobral. “Tetapi kemudian, pendekatannya bahwa mereka sudah berubah baik, mereka sudah bisa turun ke masyarakat, dan lain sebagainya,” tuturnya.
(dam)