Jalur Rempah Bisa Pengaruhi Kejayaan Maritim Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Sejak lama Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Bahkan di dalam relief peninggalan sejarah seperti di Candi Borobudur terpahat kapal yang mencerminkan budaya maritim. Hal ini juga memunculkan pendapat bahwa Wangsa Sailendra dari Kerajaan Mataram Kuno telah menjadi seorang pelaut.
Profesor di Departemen Sosiologi & Antropologi Universitas Ohio Gene Ammarel mengatakan, Indonesia sebagai negara maritim bisa dibuktikan dengan ilustrasi peninggalan sejarahnya. Menurut dia, banyak pelayaran yang tergambar dalam berbagai relief candi, peninggalan peta kuno, maupun alat-alat pada masa lampau yang menunjang pemanfaatan rempah atau sebagai alat pertukaran dalam perdagangan.
“Berbagai peta kuno juga mencantumkan ilustrasi rempah di dalamnya,” ungkap Gene dalam Forum International Forum on Spice Route (IFSR) di Museum Nasional, Jakarta, kemarin. Bahkan, Gene telah melakukan penelitian dalam ekologi politik dan antropologi maritim di antara orang Bugis di Sulawesi Selatan. Dia menceritakan bahwa Suku Bugis merupakan suku berbasis maritim yang memahami tentang laut.
Mereka, ungkapnya, bahkan menciptakan sistem navigasi khusus yang kompleks dengan acuan pada rasi bintang, bulan, hingga angin muson. “Sistem navigasi ini amat berguna dalam pelayaran dan perdagangan. Teknik pelayaran ini mulai dipelajari di 1900-an,” ungkapnya.
Untuk menelusuri jejak sejarah ini, Gene bahkan pergi menyusuri Bima menuju Makassar dengan menaiki Perahu Lambo Bugis yang sudah dilengkapi dengan mesin moderen. Studinya di Balobaloang menunjukkan bahwa mereka mengolah kembali pengetahuan tradisional yang mereka dapat sebelumnya di bidang navigasi dan astronomi menjadi pelaut yang tidak terkalahkan. Dia pun menceritakan mengenai Nusantara sebagai tempat pertemuan secara global di tahun 1500-1650.
Semua ini bermula dari bangsa Austronesia dan keturunannya yang bermigrasi lalu mendiami berbagai wilayah di berbagai kawasan termasuk Nusantara. “Secara umum, kita dapat menelusuri Jalur Rempah Nusantara melalui berbagai peninggalan masa lampau. Penelitian mengenai Jalur Rempah masih terus berlanjut hingga sekarang dengan berpegang pada bukti-bukti otentik sejarah,” paparnya.
Peneliti Arkeologi Maritim, Studi Asia Tenggara, dan Studi Asia Timur dari Jerman Horst Liebner mengungkapkan, Indonesia punya Pinisi sebagai jejak maritim yang tidak boleh terlupakan. “Kita hanya mengenal Pinisi sebagai nama dari perahu tradisional Indonesia. Pinisi sendiri muncul dalam berbagai penamaan, seperti phinisi. Kata ‘phi’ sebenarnya sudah mengindikasikan bahwa Pinisi pernah digunakan untuk berlayar ke luar negeri, lebih tepatnya ke Vancouver pada 1986,” ungkapnya.
Bahkan, menurut dia, koran di Singapura mencatat nama tersebut dua tahun setelahnya. Liebner mengatakan, Pinisi sebenarnya lebih mengacu pada nama layar ataupun berasal pada proses penarikan layar ke arah belakang, tidak seperti kapal dari negara-negara Eropa. Bahkan pada 1970 yang merupakan tahun terakhir penggunaan perahu besar di Indonesia karena sudah tergantikan dengan mesin.
Kata Palari-lah yang justru muncul di koran Indonesia terbitan 2 Februari 1918 yang fisiknya cenderung mirip dengan kapal padewakang. “Tidak dikenal kata Pinisi berdasarkan penelusuran terhadap catatan-catatan Belanda. Kapal ini memiliki square sail yang bersudut 90 derajat terhadap haluan perahu. Awalnya dikenal dengan perahu Pajala yang berevolusi nama menjadi Palari,” jelasnya.
Liebner juga mengaku sudah melakukan penelitian ke Tana Beru, Sulawesi Selatan dan mendapatkan berbagai fakta menarik mengenai kehebatan jejak maritim Indonesia. Terutama kehebatan Indonesia dalam memikirkan bentuk perahu dalam imajinasi mereka sebelum membuat perahu.
Perahu itu terdiri dari berbagai bagian yang kompleks dan memiliki hitungan yang eksak serta amat penting dan memiliki nama per masing-masing elemen. “Perancangan perahu menjadi esensial karena membawa banyak barang berharga, termasuk orang yang akan naik ke atasnya. Pinisi sesungguhnya menjadi seni pembuatan perahu di sana,” ujarnya.
Sementara profesor desain dari Institut Teknologi Bandung Imam Buchori mengatakan, peradaban bangsa Indonesia dipengaruhi Jalur Rempah. Sejak lama, sejak sebelum Nusantara terbentuk, bangsa Indonesia sebenarnya telah memiliki konsep tentang desain, material, dan geologi. Seperti contohnya pada masa pembangunan Borobudur.
“Bangsa yang banyak bersinggungan dengan bangsa lainnya cenderung lebih kreatif daripada yang terisolir. Tak heran bila peradaban makin maju sejak Jalur Rempah memasuki Indonesia,” tandasnya. Jalur Rempah, lanjut Imam, membawa perkembangan pikiran bangsa Nusantara menjadi kreatif.
“Yang menjadikan kita menjadi kreatif dipicu oleh interaksi intersubjektif dan lingkungan. Ada teori pula bahwa masyarakat yang menekankan nilai peninggalan dan pelestarian relatif menunjukkan tingkat kesejahteraan subjektif yang rendah,” paparnya.
Orang Indonesia, menurut dia, dari yang hanya sekadar menjadi objek pada suatu masa akhirnya dididik dengan benar. Artefak-artefak yang dihasilkan Indonesia memiliki nilai seni tinggi namun secara teknologi rendah. “Sifatnya vernakular dan tidak menggunakan olah ilmiah,” ungkapnya.
Profesor di Departemen Sosiologi & Antropologi Universitas Ohio Gene Ammarel mengatakan, Indonesia sebagai negara maritim bisa dibuktikan dengan ilustrasi peninggalan sejarahnya. Menurut dia, banyak pelayaran yang tergambar dalam berbagai relief candi, peninggalan peta kuno, maupun alat-alat pada masa lampau yang menunjang pemanfaatan rempah atau sebagai alat pertukaran dalam perdagangan.
“Berbagai peta kuno juga mencantumkan ilustrasi rempah di dalamnya,” ungkap Gene dalam Forum International Forum on Spice Route (IFSR) di Museum Nasional, Jakarta, kemarin. Bahkan, Gene telah melakukan penelitian dalam ekologi politik dan antropologi maritim di antara orang Bugis di Sulawesi Selatan. Dia menceritakan bahwa Suku Bugis merupakan suku berbasis maritim yang memahami tentang laut.
Mereka, ungkapnya, bahkan menciptakan sistem navigasi khusus yang kompleks dengan acuan pada rasi bintang, bulan, hingga angin muson. “Sistem navigasi ini amat berguna dalam pelayaran dan perdagangan. Teknik pelayaran ini mulai dipelajari di 1900-an,” ungkapnya.
Untuk menelusuri jejak sejarah ini, Gene bahkan pergi menyusuri Bima menuju Makassar dengan menaiki Perahu Lambo Bugis yang sudah dilengkapi dengan mesin moderen. Studinya di Balobaloang menunjukkan bahwa mereka mengolah kembali pengetahuan tradisional yang mereka dapat sebelumnya di bidang navigasi dan astronomi menjadi pelaut yang tidak terkalahkan. Dia pun menceritakan mengenai Nusantara sebagai tempat pertemuan secara global di tahun 1500-1650.
Semua ini bermula dari bangsa Austronesia dan keturunannya yang bermigrasi lalu mendiami berbagai wilayah di berbagai kawasan termasuk Nusantara. “Secara umum, kita dapat menelusuri Jalur Rempah Nusantara melalui berbagai peninggalan masa lampau. Penelitian mengenai Jalur Rempah masih terus berlanjut hingga sekarang dengan berpegang pada bukti-bukti otentik sejarah,” paparnya.
Peneliti Arkeologi Maritim, Studi Asia Tenggara, dan Studi Asia Timur dari Jerman Horst Liebner mengungkapkan, Indonesia punya Pinisi sebagai jejak maritim yang tidak boleh terlupakan. “Kita hanya mengenal Pinisi sebagai nama dari perahu tradisional Indonesia. Pinisi sendiri muncul dalam berbagai penamaan, seperti phinisi. Kata ‘phi’ sebenarnya sudah mengindikasikan bahwa Pinisi pernah digunakan untuk berlayar ke luar negeri, lebih tepatnya ke Vancouver pada 1986,” ungkapnya.
Bahkan, menurut dia, koran di Singapura mencatat nama tersebut dua tahun setelahnya. Liebner mengatakan, Pinisi sebenarnya lebih mengacu pada nama layar ataupun berasal pada proses penarikan layar ke arah belakang, tidak seperti kapal dari negara-negara Eropa. Bahkan pada 1970 yang merupakan tahun terakhir penggunaan perahu besar di Indonesia karena sudah tergantikan dengan mesin.
Kata Palari-lah yang justru muncul di koran Indonesia terbitan 2 Februari 1918 yang fisiknya cenderung mirip dengan kapal padewakang. “Tidak dikenal kata Pinisi berdasarkan penelusuran terhadap catatan-catatan Belanda. Kapal ini memiliki square sail yang bersudut 90 derajat terhadap haluan perahu. Awalnya dikenal dengan perahu Pajala yang berevolusi nama menjadi Palari,” jelasnya.
Liebner juga mengaku sudah melakukan penelitian ke Tana Beru, Sulawesi Selatan dan mendapatkan berbagai fakta menarik mengenai kehebatan jejak maritim Indonesia. Terutama kehebatan Indonesia dalam memikirkan bentuk perahu dalam imajinasi mereka sebelum membuat perahu.
Perahu itu terdiri dari berbagai bagian yang kompleks dan memiliki hitungan yang eksak serta amat penting dan memiliki nama per masing-masing elemen. “Perancangan perahu menjadi esensial karena membawa banyak barang berharga, termasuk orang yang akan naik ke atasnya. Pinisi sesungguhnya menjadi seni pembuatan perahu di sana,” ujarnya.
Sementara profesor desain dari Institut Teknologi Bandung Imam Buchori mengatakan, peradaban bangsa Indonesia dipengaruhi Jalur Rempah. Sejak lama, sejak sebelum Nusantara terbentuk, bangsa Indonesia sebenarnya telah memiliki konsep tentang desain, material, dan geologi. Seperti contohnya pada masa pembangunan Borobudur.
“Bangsa yang banyak bersinggungan dengan bangsa lainnya cenderung lebih kreatif daripada yang terisolir. Tak heran bila peradaban makin maju sejak Jalur Rempah memasuki Indonesia,” tandasnya. Jalur Rempah, lanjut Imam, membawa perkembangan pikiran bangsa Nusantara menjadi kreatif.
“Yang menjadikan kita menjadi kreatif dipicu oleh interaksi intersubjektif dan lingkungan. Ada teori pula bahwa masyarakat yang menekankan nilai peninggalan dan pelestarian relatif menunjukkan tingkat kesejahteraan subjektif yang rendah,” paparnya.
Orang Indonesia, menurut dia, dari yang hanya sekadar menjadi objek pada suatu masa akhirnya dididik dengan benar. Artefak-artefak yang dihasilkan Indonesia memiliki nilai seni tinggi namun secara teknologi rendah. “Sifatnya vernakular dan tidak menggunakan olah ilmiah,” ungkapnya.
(don)