AIHCR Soroti Kasus Perdagangan Orang di NTT
A
A
A
JAKARTA - Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) adalah masalah serius di Indonesia. Dalam waktu kurang dari 10 tahun, Indonesia tidak hanya menjadi negara pengirim korban dan tempat transit, tetapi juga menjadi negara tujuan bagi pelaku perdagangan orang untuk memperdagangkan para korban dari luar Indonesia.
Meskipun perekonomian di Indonesia dinyatakan terus meningkat, namun peningkatannya dinilai hanya pada sektor-sektor tertentu dan belum dirasakan secara langsung manfaatnya oleh pekerja migran.
Proses migrasi masih saja ada yang non-prosedural, bahkan tetap subur saat diberlakukan moratorium pengiriman tenaga kerja, bahkan yang berangkat prosedural pun bisa pulang sebagai non-prosedural.
Akibatnya pekerja migran Indonesia mengalami eksploitasi, dianiaya, bahkan banyak diantara mereka dilacurkan dan dieksploitasi secara seksual, dan di antaranya berakhir kehilangan nyawa dan mengalami kelumpuhan permanen.
Polda NTT mencatat sejak Januari-Juli 2018 telah menangani 25 kasus TPPO dengan korban 37 orang. Sementara itu data yang masuk kepada Wakil Indonesia untuk AICHR dari LSM PADMA sejak 1 Januari 2018 hingga 6 Oktober 2018 ada 86 jenazah pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur dan tidak menutup kemungkinan mereka juga adalah korban TPPO.
Untuk pertama kali dalam sejarah, Wakil Indonesia untuk AICHR (Komisi Hak Asasi Manusia Antar Pemerintah ASEAN), Dinna Wisnu mendorong secara konkret pemberantasan TPPO hingga ke level daerah.
Ini merupakan tahun ketiga Dinna secara aktif memantau situasi di lapangan dan berupaya membangun kerja sama di level daerah, nasional dan regional dan akhirnya mengambil jalan untuk secara khusus memberi perhatian pada Nusa Tenggara Timur sebagai daerah percontohan pemberantasan TPPO.
“Memang ada wilayah lain juga di Indonesia yang bermasalah dalam hal perdagangan orang, seperti di Jawa Barat, Batam, dan Kalimantan, tetapi sebagai awal, memberi perhatian pada NTT akan mengungkap banyak hal dan membangun pemahaman yang lebih baik tentang cara penanganan masalah secara nasional maupun regional," tutur Dinna dalam keterangan persnya kepada SINDOnews, Rabu (10/10/2018).
Dia memaparkan, di NTT hampir selalu ada korban meninggal dunia atau disiksa. Padahal sejumlah program pelayanan satu atap ada di sana demi memotong jalur-jalur non-prosedural untuk berangkat bekerja ke luar negeri.
Demikian pula masyarakat sipil dan para tokoh agama, kata dia, kabarnya sudah sangat aktif bergerak melawan tindakan kejahatan ini. Dia yakin pasti ada yang luput dari perhatian. Ada sistem yang tidak jalan. Buktinya ada yang tetap bisa menjual orang meskipun kabarnya pemda di sana “galak”.
"Laporan yang masuk ke AICHR Indonesia sangat memprihatinkan. Melalui NTT saya sedang mengupayakan jalur komunikasi penyelesaian masalah perdagangan orang yang lebih efektif dengan Malaysia dan negara-negara ASEAN yang lain,” tutur Dinna Wisnu.
AICHR adalah Komisi Hak Asasi Manusia Antar Pemerintah ASEAN yang dibentuk pada tahun 2009. Tiap negara ASEAN punya satu orang wakil yang bertugas mengembangkan program untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia di ASEAN. Para wakil itu berkumpul secara rutin untuk menegosiasikan bentuk-bentuk pemajuan dan perlindungan HAM yang berjalan atau perlu dikembangkan.
“Isu pemberantasan TPPO berbasis hak asasi manusia adalah salah satu program prioritas AICHR sejak tahun 2016 dan inisiatornya adalah Wakil Indonesia di AICHR," tandasnya.
Dia memaparkan sejak November 2015 dilahirkan Konvensi ASEAN Anti Perdagangan Orang Khususnya Perempuan dan Anak (ACTIP/ASEAN Convention Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children).
Berkat kegigihan AICHR, kata dia, sudah sembilan negara ASEAN, kecuali Brunei Darussalam yang meratifikasi konvensi tersebut.
Menurut dia, dengan ratifikasi Konvensi maka dasar hukum untuk menjamin penegakan hukum yang adil dan efektif bagi pelaku, melindungi dan membantu korban berdasarkan penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan memajukan kerja sama antarnegara pihak di ASEAN telah kuat.
Hasilnya mulai terlihat. ACTIP resmi diterapkan per Maret 2017 dengan dikawal oleh AICHR bersama jajaran penegak hukum ASEAN yang tergabung dalam SOMTC (Senior Official Meeting on Transnational Crime).
"Di ASEAN sudah ada kesepakatan pendekatan berbasis hak asasi manusia dalam pemberantasan TPPO. Tahun 2018 ini kita masuk ke implementasi program di tataran daerah, agar di tahun-tahun selanjutnya kegiatan regionalnya pun melibatkan dan mempertimbangkan situasi pemangku kepentingan di level daerah,” tutur Dinna.
Bekerja sama dengan International Organization on Migration (IOM), Kedutaan Switzerland di Jakarta, DPD Provinsi NTT dan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, AICHR Indonesia melakukan penyiapan pemangku kepentingan di NTT untuk kegiatan implementasi pendekatan berbasis HAM dalam penanganan perdagangan orang di ASEAN.
Pada 14 Oktober 2018 akan diadakan dialog publik yang melibatkan kementerian/lembaga daerah, tokoh masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat serta insan pers untuk memperkenalkan pendekatan berbasis HAM dalam memberantas tindak pidana perdagangan orang.
Acara itu akan dibuka oleh Gubernur NTT Viktor Laiskodat. Pada 15 Oktober 2018 akan diadakan pelatihan bagi aparat penegak hukum dari polres dan polda dari wilayah-wilayah NTT
"IOM berkomitmen terus mendukung upaya Pemerintah NTT dan kepolisian dalam memberantas TPPO. Kami memandang perlunya pelibatan dan penguatan kerjasama dengan berbagai pihak untuk memerangi TPPO, dan dukungan dari pemerintah Provinsi NTT merupakan modalitas penting dalam penuntasan kasus-kasus TPPO di NTT,” tutur Among Pundhi Resi dari IOM.
Sekadar informasi, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 21/2007 tentang TPPO. Implementasi UU tersebut dikuatkan dengan ratifikasi ACTIP yang dituangkan dalam Undang Undang Nomor 12/2017.
Definisi TPPO adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immaterial.
“AICHR Indonesia mengupayakan agar Indonesia berhasil memberantas perdagangan manusia dan NTT menjadi daerah percontohan yang dibanggakan, dengan kerja sama, baik antar kelompok dan juga dengan negara-negara ASEAN dalam memerangi kejahatan keji ini,” tutur Dinna.
Meskipun perekonomian di Indonesia dinyatakan terus meningkat, namun peningkatannya dinilai hanya pada sektor-sektor tertentu dan belum dirasakan secara langsung manfaatnya oleh pekerja migran.
Proses migrasi masih saja ada yang non-prosedural, bahkan tetap subur saat diberlakukan moratorium pengiriman tenaga kerja, bahkan yang berangkat prosedural pun bisa pulang sebagai non-prosedural.
Akibatnya pekerja migran Indonesia mengalami eksploitasi, dianiaya, bahkan banyak diantara mereka dilacurkan dan dieksploitasi secara seksual, dan di antaranya berakhir kehilangan nyawa dan mengalami kelumpuhan permanen.
Polda NTT mencatat sejak Januari-Juli 2018 telah menangani 25 kasus TPPO dengan korban 37 orang. Sementara itu data yang masuk kepada Wakil Indonesia untuk AICHR dari LSM PADMA sejak 1 Januari 2018 hingga 6 Oktober 2018 ada 86 jenazah pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur dan tidak menutup kemungkinan mereka juga adalah korban TPPO.
Untuk pertama kali dalam sejarah, Wakil Indonesia untuk AICHR (Komisi Hak Asasi Manusia Antar Pemerintah ASEAN), Dinna Wisnu mendorong secara konkret pemberantasan TPPO hingga ke level daerah.
Ini merupakan tahun ketiga Dinna secara aktif memantau situasi di lapangan dan berupaya membangun kerja sama di level daerah, nasional dan regional dan akhirnya mengambil jalan untuk secara khusus memberi perhatian pada Nusa Tenggara Timur sebagai daerah percontohan pemberantasan TPPO.
“Memang ada wilayah lain juga di Indonesia yang bermasalah dalam hal perdagangan orang, seperti di Jawa Barat, Batam, dan Kalimantan, tetapi sebagai awal, memberi perhatian pada NTT akan mengungkap banyak hal dan membangun pemahaman yang lebih baik tentang cara penanganan masalah secara nasional maupun regional," tutur Dinna dalam keterangan persnya kepada SINDOnews, Rabu (10/10/2018).
Dia memaparkan, di NTT hampir selalu ada korban meninggal dunia atau disiksa. Padahal sejumlah program pelayanan satu atap ada di sana demi memotong jalur-jalur non-prosedural untuk berangkat bekerja ke luar negeri.
Demikian pula masyarakat sipil dan para tokoh agama, kata dia, kabarnya sudah sangat aktif bergerak melawan tindakan kejahatan ini. Dia yakin pasti ada yang luput dari perhatian. Ada sistem yang tidak jalan. Buktinya ada yang tetap bisa menjual orang meskipun kabarnya pemda di sana “galak”.
"Laporan yang masuk ke AICHR Indonesia sangat memprihatinkan. Melalui NTT saya sedang mengupayakan jalur komunikasi penyelesaian masalah perdagangan orang yang lebih efektif dengan Malaysia dan negara-negara ASEAN yang lain,” tutur Dinna Wisnu.
AICHR adalah Komisi Hak Asasi Manusia Antar Pemerintah ASEAN yang dibentuk pada tahun 2009. Tiap negara ASEAN punya satu orang wakil yang bertugas mengembangkan program untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia di ASEAN. Para wakil itu berkumpul secara rutin untuk menegosiasikan bentuk-bentuk pemajuan dan perlindungan HAM yang berjalan atau perlu dikembangkan.
“Isu pemberantasan TPPO berbasis hak asasi manusia adalah salah satu program prioritas AICHR sejak tahun 2016 dan inisiatornya adalah Wakil Indonesia di AICHR," tandasnya.
Dia memaparkan sejak November 2015 dilahirkan Konvensi ASEAN Anti Perdagangan Orang Khususnya Perempuan dan Anak (ACTIP/ASEAN Convention Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children).
Berkat kegigihan AICHR, kata dia, sudah sembilan negara ASEAN, kecuali Brunei Darussalam yang meratifikasi konvensi tersebut.
Menurut dia, dengan ratifikasi Konvensi maka dasar hukum untuk menjamin penegakan hukum yang adil dan efektif bagi pelaku, melindungi dan membantu korban berdasarkan penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan memajukan kerja sama antarnegara pihak di ASEAN telah kuat.
Hasilnya mulai terlihat. ACTIP resmi diterapkan per Maret 2017 dengan dikawal oleh AICHR bersama jajaran penegak hukum ASEAN yang tergabung dalam SOMTC (Senior Official Meeting on Transnational Crime).
"Di ASEAN sudah ada kesepakatan pendekatan berbasis hak asasi manusia dalam pemberantasan TPPO. Tahun 2018 ini kita masuk ke implementasi program di tataran daerah, agar di tahun-tahun selanjutnya kegiatan regionalnya pun melibatkan dan mempertimbangkan situasi pemangku kepentingan di level daerah,” tutur Dinna.
Bekerja sama dengan International Organization on Migration (IOM), Kedutaan Switzerland di Jakarta, DPD Provinsi NTT dan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, AICHR Indonesia melakukan penyiapan pemangku kepentingan di NTT untuk kegiatan implementasi pendekatan berbasis HAM dalam penanganan perdagangan orang di ASEAN.
Pada 14 Oktober 2018 akan diadakan dialog publik yang melibatkan kementerian/lembaga daerah, tokoh masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat serta insan pers untuk memperkenalkan pendekatan berbasis HAM dalam memberantas tindak pidana perdagangan orang.
Acara itu akan dibuka oleh Gubernur NTT Viktor Laiskodat. Pada 15 Oktober 2018 akan diadakan pelatihan bagi aparat penegak hukum dari polres dan polda dari wilayah-wilayah NTT
"IOM berkomitmen terus mendukung upaya Pemerintah NTT dan kepolisian dalam memberantas TPPO. Kami memandang perlunya pelibatan dan penguatan kerjasama dengan berbagai pihak untuk memerangi TPPO, dan dukungan dari pemerintah Provinsi NTT merupakan modalitas penting dalam penuntasan kasus-kasus TPPO di NTT,” tutur Among Pundhi Resi dari IOM.
Sekadar informasi, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 21/2007 tentang TPPO. Implementasi UU tersebut dikuatkan dengan ratifikasi ACTIP yang dituangkan dalam Undang Undang Nomor 12/2017.
Definisi TPPO adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immaterial.
“AICHR Indonesia mengupayakan agar Indonesia berhasil memberantas perdagangan manusia dan NTT menjadi daerah percontohan yang dibanggakan, dengan kerja sama, baik antar kelompok dan juga dengan negara-negara ASEAN dalam memerangi kejahatan keji ini,” tutur Dinna.
(dam)