Jaga Kedamaian, Masyarakat Diimbau Bijak Gunakan Medsos

Kamis, 20 September 2018 - 17:13 WIB
Jaga Kedamaian, Masyarakat Diimbau Bijak Gunakan Medsos
Jaga Kedamaian, Masyarakat Diimbau Bijak Gunakan Medsos
A A A
JAKARTA - Bangsa Indonesia menyambut datangnya pesta demokrasi, yaitu Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Kegaduhan di tengah masyarakat pun mulai terasa. Kondisi tersebut dipicu propaganda yang dilakukan masing-masing pendukung calon. Alhasil, fitnah, hoaks, ujaran kebencian beredar di media sosial (medsos).

Kegaduhan juga muncul melalui perang tanda pagar (tagar) yang dinilai bisa memicu perpecahan, tidak hanya di masyarakat, tapi perpecahan bangsa Indonesia.

Kondisi ini dinilai tidak perlu terjadi jika masing-masing kubu lebih fokus mempromosikan kebaikan calonnya, bukan saling serang keburukan lawan politiknya.

Pakar komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio mengajak masyarakat agar bijaksana dalam "berselancar" di dunia maya.

Menurut dia, masyarakat harus bertanggung jawab dalam mengelola medsos. Salah satunya menyebarkan informasi yang benar dan menyejukkan supaya dunia maya dan para penggiatnya damai.

“Sampaikan hal positif, hindari menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian, apalagi fitnah. Jangan sampai kita tergabung dengan kelompok yang menginginkan Indonesia tidak damai dengan menyampaikan berita yang mengarah pada kekerasan dan perpecahan bangsa. Baik buruknya dan masa depan Indonesia tergantung dari kita semua,” tutur Hendri, di Jakarta, Rabu (19/9/2018).

Seperti diketahui, menjelang masa kampanye Pilpres 2019, kedua kubu telah saling melancarkan "serangan". Suasana gaduh pun mulai terjadi di masyarakat.Hendri menilai, kondisi ini sebenarnya lumrah dan positif karena bagian dari pesta demokrasi. Selain itu juga menunjukkan kegairahan masyarakat menyambut pesta demokrasi lima tahunan ini.
Namun, tentu saja ada hal yang harus disiapkan menuju ke pesta tersebut. Dia mengibaratkan Pilpres 2019 seperti arenna pertandingan sepakbola. Di sana ada fans, kubu, pendukung, dan pemain.

“Intinya boleh ramai saat mendukung pemain bertanding di lapangan, tapi nanti kalau pertandingan sudah selesai, kedua kubu pun juga harus akur lagi dan damai. Itu yang harus kita siapkan. Artinya bagaimana mengondisikan masyarakat kita bisa siap menang dan siap kalah dan menyikapi secara dewasa sebagai hasil dari pertarungan demokrasi yang fair,” tutur Hendri.

Dia mengakui tantangan dengan keberadaan medsos luar biasa, apalagi dengan "gorengan-gorengan" berbagai isu. Kondisi ini diperkirakan hampir sama seperti Pilpres 2014 lalu, juga Pilkada DKI Jakarta 2017.

Karena itu, lanjut dia, kedewasaan masyarakat sebagai pemilik suara menjadi sangat penting, jangan sampai terlalu jauh saling sindir, saling colek yang ujung-ujungnya bisa saling adu otot.

Founder lembaga survei KedaiKopi ini berharap hal itu tidak terjadi. Jika itu terjadi, ancaman yang lebih besar, yaitu perpecahan bangsa bisa berada di depan mata bangsa Indonesia.

Apalagi pada Pilpres 2019 nanti, lanjut dia, kedua calon presiden sama dengan 2014 lalu. Fakta itulah yang menurut dia akan sulit mencegah residu yang terjadi pada 2014 dan 2017 tidak terbawa lagi pada 2019.

Hendri justru menyarankan kedua kubu bersikap bijak saat berkampanye, baik secara konvensional maupun di dunia maya. Artinya, kalau mau mempromosikan masing-masing calon, tidak perlu menjelekkan calon yang lain.

Menurut dia, jadi cukup mempromosikan kebaikan, kelebihan, dan kedigdayaan, calon yang didukung sehingga masyarakat pasti akan senang mendengarnya dan lebih penting tidak akan menimbulkan kebencian dan perpecahan.

Sekarang ini, ungkap Hendri, tantangannya ada medsos, hitungannya one man one media. Jadi setiap orang bisa mengekspresikan lewat medsos. Apalagi sekarang ada tantangan terkait keberagaman, toleransi, dan pilihan politik, sehingga kalau ada pilihan politik berbeda bukan dihargai, tapi dicaci dan di-bully.

Padahal dengan perbedaan itu harusnya saling menghormati dan tidak tidak perlu mengeluarkan kebencian dan umpatan dengan kata-kata.

“Saya percaya kalau bicara politik hanya sampai dagu, enggak sampai hati, kalau sampai dagu itu selesai, asal otaknya dingin. Kalau sampai hati susah, karena di sana ada cinta dan benci,” tukas Hendri.

Hendri mengajak seluruh pihak untuk belajar dan melihat sejarah Indonesia. Dahulu di Indonesia ada tiga kerajaan besar Sriwijaya, Majapahit, dan Singosari.Tiga kerajaan itu memiliki wilayah yang hampir sama dengan luas Indonesia saat ini. Namun, tiga kerajaan akhirnya runtuh karena tidak mampu memelihara perdamaian dan persatuan.
“Ada bukti sejarah yang mengajarkan ke kita bahwa Nusantara ini kalau tidak dijaga bersama bisa pecah,” tutur Hendri.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.3907 seconds (0.1#10.140)