Kisruh E-Ticketing Harus Jadi Peringatan bagi Transportasi Nasional

Jum'at, 27 Juli 2018 - 05:39 WIB
Kisruh E-Ticketing Harus...
Kisruh E-Ticketing Harus Jadi Peringatan bagi Transportasi Nasional
A A A
JAKARTA - Beberapa waktu lalu PT KRL Commuter Indonesia (KCI) melakukan pembaharuan dan pemeliharaan sistem sejak Sabtu (21/7) dan baru Selesai Senin (23/7). Akibatnya, antrean penumpang membludak pada Senin pagi karena terpaksa menggunakan tiket kertas untuk sementara waktu. Lalu bagaimana apabila hal tersebut terjadi pada sistem kartu ATM GPN.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, pemeliharaan sistem pembayaran tersebut tentunya merepotkan dan memakan waktu masyarakat lebih lama.

Apalagi kalau sistem kartu ATM berloga gerbang pembayaran nasional (GPN) yang mengalami shutdown pemeliharaan, diyakini akan banyak nasabah menggruduk Bank.

"Inefiensi waktu dan biaya kalau terpaksa harus antri ke Bank lagi. Padahal anak milenial sekarang sudah jarang ke Bank," ujar Bhima di Jakarta, Rabu (25/7).

Chairman Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha mengatakan, sistem GPN belum ada perkembangan yang signifikan. Bank Indonesia (BI) hingga saat ini belum menjalin kerja sama dengan BSSN untuk pengamanan GPN.

Apabila infrastrutur belum siap tapi dipaksakan, efeknya akan fatal. Contoh sederhana adalah gagalnya sistem pembayaran elektronik KRL.

"Kalau ada serangan yang membahayakan, bisa mengganggu proses transaksi yang dilewatkan GPN. AKibatnya nasabah atau user yang mengalami kerugian. Bahkan untuk ancaman yang lebih dalam, kalai sistem keamanan IT-nya belum kuat, bisa terjadi fraud yang mengakibatkan hilangnya uang nasabah," tegas Pratama.

Menurutnya, keuntungan nasabah hanya transaksi 'lokal' yang lebih murah. Pemerintah juga sudah mengambil fee dari transaksi. Pajak bisa diambil dari bunga rekening nasabah bank.

"Kalau tidak melanggar hukum, pemerintah seharusnya tidak bisa melihat data rekening kita, harus ada mekanisme hukum. Tidak asal saja," pungkasnya.

Untuk diketahui dalam beberapa pembahasan di twiiter juga ramai didiskusikan soal beberapa kekurangan GPN. Beberapa hastag yang ramai seperti #RevisiGPN dan #GPNUntukSiapa. Salah satu diskusi yakni terkait beban administrasi bagi pemilik mesin EDC/Gesek.

Hal tersebut lantaran Peraturan Bank Indonesia No.19/PBI/2017 tentang gerbang pembayaran nasional menekankan biaya layanan mesin Electronic Data Capture (EDC) alias merchant discount rate (MDR) merupakan tanggung jawab pedagang kepada bank pemilik EDC.

Kebijakan itu pun langsung direspon Bank. Salah satunya PT Bank Central Asia Tbk (BCA) merespons kebijakan tersebut dengan memberikan surat edaran kepada merchant. Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa efektif per Rabu 6 Januari 2018 setiap transaksi Debit BCA yang semula tidak dikenakan biaya, menjadi dikenakan biaya MDR 0,15% (on us) dari nilai transaksi.

Berdasarkan keterangan resmi BCA, Rabu (6/12), MDR hanya dikenakan oleh bank kepada merchant/pedagang/pemilik toko.

"Bagi nasabah yang melakukan transaksi menggunakan kartu Debit di mesin EDC, tidak dikenakan biaya," tulis BCA.

Sedangkan kartu Debit bank lain termasuk prima Debit yang menggunakan EDC BCA bakal dikenakan biaya 1% per transaksi. Apabila kartu debit BCA ditransaksikan di bank lain, juga akan terkena biaya off us 1%.

Sementara efek yang ditimbulkan yakni para pedagang kini menambahkan beban biaya tambahan ke pembeli jika ingin membayar dengan cara menggesek kartu di mesin EDC atau meminta pembeli untuk membayar dengan uang tunai. Hal tersebut terpaksa dilakukan lantaran para pedagang tentu tidak mau merugi.

"kmrn mau beli laptop dell, pake debet kena surcharge 1 persen, kalo ga mau, dsruh ambil atm depan mall," begitu cuitan @Fahrulian (@iseku101205)
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.3158 seconds (0.1#10.140)