Perang Candu dan Peredaran Narkoba di Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Darurat narkoba! Ungkapan itu kiranya cocok dengan kondisi terkini peredaran dan penyalahgunaan narkoba di Indonesia.
Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat, jumlah penyalahgunaan narkoba di Indonesia diperkirakan mencapai 3,5 juta orang pada 2017. Sekitar 1,4 juta di antaranya adalah pengguna biasa dan hampir 1 juta orang telah menjadi pecandu narkoba.
Tidak hanya menjangkau kota-kota besar, barang haram itu kini juga telah merambah kota-kota kecil hingga desa-desa. Narkoba juga menjangkiti semua lapisan masyarakat, mulai dari pekerja, siswa, pria-wanita, sampai anak-anak.
"Ancaman peredaran narkoba di Indonesia menjadi tantangan yang serius," kata Deputi Rehabilitasi BNN, Diah Setia Utami di Jakarta, Selasa (26/6/2018).
Tingginya angka penyalahgunaan narkoba lantas menjadikan Indonesia sebagai incaran para bandar narkoba internasional. Negara kepulauan berpenduduk sekitar 262 juta jiwa ini dianggap sebagai pasar potensial.
Ada sejumlah fakta menguatkan pernyataan di atas. Berdasarkan penelusuran SINDOnews hingga satu tahun ke belakang menyebutkan sejumlah pengiriman narkoba dalam jumlah besar dari luar negeri ke Indonesia berhasil digagalkan.
Salah satunya, tempat penyimpanan 1 ton sabu digerebek di Banten pada pertengahan 2017. Barang haram dari Taiwan itu dikirim menggunakan Yacht menyusuri Selat Malaka. Tak berapa lama, 300 kg sabu diungkap di Pluit, Jakarta Utara.
Setelah itu, sabu masuk ke Indonesia seperti air bah. Hampir tiap minggu media massa diwarnai berita-berita penggerebekan sabu dalam jumlah besar oleh aparat penegak hukum di penjuru Indonesia.
Yang terbaru, kita masih ingat bagaimana BNN bekerja sama dengan TNI AL dan pihak terkait berhasil menangkap kapal Sunrise Glory bermuatan 1,3 ton sabu di selat Philips, perbatasan antara Singapura dan Batam pada Rabu malam, 7 Februari 2018.
Indonesia segi tiga emas perdagangan narkoba Data United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), organisasi PBB untuk urusan narkoba dan kejahatan, menyebutkan Indonesia masuk dalam segitiga emas perdagangan metafetamin atau sabu.
Country Manager UNODC, Collie Brown, dalam peringatan Hari Antinarkoba Internasional tahun 2018 yang digelar BNN di Jakarta, mengatakan wilayah Asia Tenggara menjadi salah satu pasar terbesar sabu.
Menurut dia, besarnya perdagangan sabu itu menimbulkan berbagai masalah di negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
"Australia, Jepang, Selandia Baru, Malaysia dan Indonesia masuk segitiga emas untuk metafetamin," kata Brown.
Tidak hanya di kawasan Asia Tenggara, Brown menyebut peredaran narkotika di dunia juga telah meluas. Hal itu terjadi karena sistem jual beli melalui internet tumbuh dan berkembang sangat cepat.
"Sebuah situs jual beli bernama Alphabay memiliki dampak luas. Di situ menunjukkan lebih dari 200 dan 50 ribu daftar obat-obatan ilegal dan bahan kimia. Situs itu diblokir oleh operasi kepolisian dunia tahun lalu," kata Brown.
Belajar dari sejarah perang candu di China
Dampak negatif peredaran narkoba bagi suatu negara bangsa telah terbukti sejak ratusan tahun lalu. China misalnya, negara tirai bambu itu harus menggadaikan kedaulatannya kepada Inggris, Amerika, dan Perancis karena kalah dalam perang candu yang terjadi pada kurun 1839 hingga 1860.
Bangsa China sendiri sebenarnya telah mengenal candu sejak abad ke-15. Namun dinasti Qing melarang penghisapan candu pada tahun 1729 karena efeknya yang merusak.
Perang candu muncul dari usaha China menekan perdagangan opium. Pedagang Inggris secara ilegal mengekspor opium terutama dari India ke China sejak abad ke-18. Perdagangan tersebut meningkat secara dramatis sekitar tahun 1820. Kecanduan yang meluas di China menimbulkan gangguan sosial dan ekonomi yang serius di sana.
Kekalahan dalam perang candu mengakibatkan kedaulatan China digerogoti Dari luar. Berdasarkan perjanjian Nanjing yang dibuat pascaperang candu, China terpaksa menggadaikan Hong Kong kepada Inggris, serta membuka pasarnya terhadap serbuan produk-produk dari Barat.
Lantas bagaimana dengan Indonesia, akankah kedaulatan tergadai karena narkoba?
Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat, jumlah penyalahgunaan narkoba di Indonesia diperkirakan mencapai 3,5 juta orang pada 2017. Sekitar 1,4 juta di antaranya adalah pengguna biasa dan hampir 1 juta orang telah menjadi pecandu narkoba.
Tidak hanya menjangkau kota-kota besar, barang haram itu kini juga telah merambah kota-kota kecil hingga desa-desa. Narkoba juga menjangkiti semua lapisan masyarakat, mulai dari pekerja, siswa, pria-wanita, sampai anak-anak.
"Ancaman peredaran narkoba di Indonesia menjadi tantangan yang serius," kata Deputi Rehabilitasi BNN, Diah Setia Utami di Jakarta, Selasa (26/6/2018).
Tingginya angka penyalahgunaan narkoba lantas menjadikan Indonesia sebagai incaran para bandar narkoba internasional. Negara kepulauan berpenduduk sekitar 262 juta jiwa ini dianggap sebagai pasar potensial.
Ada sejumlah fakta menguatkan pernyataan di atas. Berdasarkan penelusuran SINDOnews hingga satu tahun ke belakang menyebutkan sejumlah pengiriman narkoba dalam jumlah besar dari luar negeri ke Indonesia berhasil digagalkan.
Salah satunya, tempat penyimpanan 1 ton sabu digerebek di Banten pada pertengahan 2017. Barang haram dari Taiwan itu dikirim menggunakan Yacht menyusuri Selat Malaka. Tak berapa lama, 300 kg sabu diungkap di Pluit, Jakarta Utara.
Setelah itu, sabu masuk ke Indonesia seperti air bah. Hampir tiap minggu media massa diwarnai berita-berita penggerebekan sabu dalam jumlah besar oleh aparat penegak hukum di penjuru Indonesia.
Yang terbaru, kita masih ingat bagaimana BNN bekerja sama dengan TNI AL dan pihak terkait berhasil menangkap kapal Sunrise Glory bermuatan 1,3 ton sabu di selat Philips, perbatasan antara Singapura dan Batam pada Rabu malam, 7 Februari 2018.
Indonesia segi tiga emas perdagangan narkoba Data United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), organisasi PBB untuk urusan narkoba dan kejahatan, menyebutkan Indonesia masuk dalam segitiga emas perdagangan metafetamin atau sabu.
Country Manager UNODC, Collie Brown, dalam peringatan Hari Antinarkoba Internasional tahun 2018 yang digelar BNN di Jakarta, mengatakan wilayah Asia Tenggara menjadi salah satu pasar terbesar sabu.
Menurut dia, besarnya perdagangan sabu itu menimbulkan berbagai masalah di negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
"Australia, Jepang, Selandia Baru, Malaysia dan Indonesia masuk segitiga emas untuk metafetamin," kata Brown.
Tidak hanya di kawasan Asia Tenggara, Brown menyebut peredaran narkotika di dunia juga telah meluas. Hal itu terjadi karena sistem jual beli melalui internet tumbuh dan berkembang sangat cepat.
"Sebuah situs jual beli bernama Alphabay memiliki dampak luas. Di situ menunjukkan lebih dari 200 dan 50 ribu daftar obat-obatan ilegal dan bahan kimia. Situs itu diblokir oleh operasi kepolisian dunia tahun lalu," kata Brown.
Belajar dari sejarah perang candu di China
Dampak negatif peredaran narkoba bagi suatu negara bangsa telah terbukti sejak ratusan tahun lalu. China misalnya, negara tirai bambu itu harus menggadaikan kedaulatannya kepada Inggris, Amerika, dan Perancis karena kalah dalam perang candu yang terjadi pada kurun 1839 hingga 1860.
Bangsa China sendiri sebenarnya telah mengenal candu sejak abad ke-15. Namun dinasti Qing melarang penghisapan candu pada tahun 1729 karena efeknya yang merusak.
Perang candu muncul dari usaha China menekan perdagangan opium. Pedagang Inggris secara ilegal mengekspor opium terutama dari India ke China sejak abad ke-18. Perdagangan tersebut meningkat secara dramatis sekitar tahun 1820. Kecanduan yang meluas di China menimbulkan gangguan sosial dan ekonomi yang serius di sana.
Kekalahan dalam perang candu mengakibatkan kedaulatan China digerogoti Dari luar. Berdasarkan perjanjian Nanjing yang dibuat pascaperang candu, China terpaksa menggadaikan Hong Kong kepada Inggris, serta membuka pasarnya terhadap serbuan produk-produk dari Barat.
Lantas bagaimana dengan Indonesia, akankah kedaulatan tergadai karena narkoba?
(dam)