Revisi UU Terorisme Harus Akomodasi Nilai dan Hukum Internasional
A
A
A
JAKARTA - Pengamat militer Susaningtyas Kertopati mendorong agar revisi Undang-Undang (UU) Terorisme mengakomodasi nilai dan norma universal dalam hukum internasional. Hal itu dilakukan untuk mencegah perebutan kewenangan antara TNI dan Polri dalam memberantas teror.
Nuning mengatakan, implikasi pemberantasan atau penanggulangan terorisme oleh militer dan polisi berbeda perspektif hukumnya karena terorisme bisa menjadi kejahatan terhadap negara atau kejahatan terhadap publik.
Penanganan terorisme di Indonesia misalnya, selama ini cenderung masih dalam klasifikasi kejahatan terhadap publik sehingga cenderung ditangani Polri semata.
Jika terorisme mengancam keselamatan Presiden atau pejabat negara lainnya sebagai simbol negara, maka terorisme tersebut menjadi kejahatan terhadap negara dan harus ditanggulangi oleh TNI.
Berikutnya, terkait dengan jenis senjata dan bom yang digunakan oleh teroris masih tergolong konvensional, maka masuk kewenangan Polri. Tetapi jika senjata dan bom yang digunakan oleh teroris tergolong senjata pemusnah massal (Weapon of Mass Deatruction), seperti senjata nuklir, senjata biologi, senjata kimia dan senjata radiasi, maka yang menangani adalah TNI.
Selain subyek ancaman teror dan jenis senjata, maka rejim kedaulatan suatu negara juga berimplikasi kepada kewenangan penegakan hukum. Jika kejahatan teror dilakukan di wilayah kedaulatan penuh Indonesia, maka Polri dan TNI bisa bersama-sama menanggulangi. Tetapi jika rejimnya adalah hak berdaulat, maka TNI yang melakukan aksi penanggulangan.
"Contohnya jika kejahatan teror terjadi di kapal yang berlayar di Zone Economic Exclusive (ZEE) Indonesia atau menyerang kilang pengeboran minyak PT. Pertamina 15 mil dari pantai, maka teroris harus dilumpuhkan oleh Pasukan Khusus TNI," kata Nuning kepada SINDOnews, Kamis (17/5/2018).
Selanjutnya adalah platform sebagai Tempat Kejadian Perkara (TKP), apakah kendaraan air (kapal) dan kendaraan udara (pesawat) yang terregistrasi dan berbendera suatu negara.
"Contohnya pesawat Qantas milik Australia dibajak teroris dan mendarat di Bandara Ngurah Rai, maka sesuai hukum internasional yang harus menangani hanya 2 pilihan, apakah TNI atau tentara Australia," kata Nuning.
Dari keempat kriteria tersebut, maka Undang Undang Terorirme di Indonesia juga patut mengakomodasi hukum-hukum internasional yang juga berlaku.
Namun yang lebih penting, kata Nuning, adalah bagaimana TNI menjabarkan kewenangan sesuai 4 kriteria tersebut ke dalam suatu peraturan yang dapat diterima oleh Polri dan instansi pemerintah lainnya.
"Yang penting ada kesadaran kita semua untuk menerima nilai dan norma universal dalam hukum internasional untuk menanggulangi terorisme sehingga tidak ada rebutan kewenangan. Overlapping kewenangan bukan untuk dipertentangkan tetapi seharusnya sebagai modal untuk semakin sinergi," kata Nuning.
Nuning mengatakan, implikasi pemberantasan atau penanggulangan terorisme oleh militer dan polisi berbeda perspektif hukumnya karena terorisme bisa menjadi kejahatan terhadap negara atau kejahatan terhadap publik.
Penanganan terorisme di Indonesia misalnya, selama ini cenderung masih dalam klasifikasi kejahatan terhadap publik sehingga cenderung ditangani Polri semata.
Jika terorisme mengancam keselamatan Presiden atau pejabat negara lainnya sebagai simbol negara, maka terorisme tersebut menjadi kejahatan terhadap negara dan harus ditanggulangi oleh TNI.
Berikutnya, terkait dengan jenis senjata dan bom yang digunakan oleh teroris masih tergolong konvensional, maka masuk kewenangan Polri. Tetapi jika senjata dan bom yang digunakan oleh teroris tergolong senjata pemusnah massal (Weapon of Mass Deatruction), seperti senjata nuklir, senjata biologi, senjata kimia dan senjata radiasi, maka yang menangani adalah TNI.
Selain subyek ancaman teror dan jenis senjata, maka rejim kedaulatan suatu negara juga berimplikasi kepada kewenangan penegakan hukum. Jika kejahatan teror dilakukan di wilayah kedaulatan penuh Indonesia, maka Polri dan TNI bisa bersama-sama menanggulangi. Tetapi jika rejimnya adalah hak berdaulat, maka TNI yang melakukan aksi penanggulangan.
"Contohnya jika kejahatan teror terjadi di kapal yang berlayar di Zone Economic Exclusive (ZEE) Indonesia atau menyerang kilang pengeboran minyak PT. Pertamina 15 mil dari pantai, maka teroris harus dilumpuhkan oleh Pasukan Khusus TNI," kata Nuning kepada SINDOnews, Kamis (17/5/2018).
Selanjutnya adalah platform sebagai Tempat Kejadian Perkara (TKP), apakah kendaraan air (kapal) dan kendaraan udara (pesawat) yang terregistrasi dan berbendera suatu negara.
"Contohnya pesawat Qantas milik Australia dibajak teroris dan mendarat di Bandara Ngurah Rai, maka sesuai hukum internasional yang harus menangani hanya 2 pilihan, apakah TNI atau tentara Australia," kata Nuning.
Dari keempat kriteria tersebut, maka Undang Undang Terorirme di Indonesia juga patut mengakomodasi hukum-hukum internasional yang juga berlaku.
Namun yang lebih penting, kata Nuning, adalah bagaimana TNI menjabarkan kewenangan sesuai 4 kriteria tersebut ke dalam suatu peraturan yang dapat diterima oleh Polri dan instansi pemerintah lainnya.
"Yang penting ada kesadaran kita semua untuk menerima nilai dan norma universal dalam hukum internasional untuk menanggulangi terorisme sehingga tidak ada rebutan kewenangan. Overlapping kewenangan bukan untuk dipertentangkan tetapi seharusnya sebagai modal untuk semakin sinergi," kata Nuning.
(maf)