Pansus RUU Antiterorisme Pelajari Insiden Mako Brimob
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-Undang Nomor 15/2003 tentang Tindak Pidana Terorisme (RUU Anti-Terorisme) Supiadin Aries Saputra mengatakan, pansus tidak membahas dimana napi ditahan, tapi bagaimana mengantisipasi terorisme, bagaimana penindakan terorisme dan rehabilitasi pascaterorisme.
Pasal Guantanamo (penjara khusus teroris) usulan pemerintah pun sudah dihapus. “Jadi penempatan tahanan atau narapidana harus sesuai dengan KUHAP,” kata Supiadin.
Namun demikian, menurut dia, dalam kasus kerusuhan dan penyanderaan di Mako Brimob ada banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran. Antara lain, napi terorisme merupakan napi khusus dan bukan pelaku kriminal biasa, maka penempatannya harus diatur sedemikian rupa agar memudahkan aparat dalam pengawasan dan sudah harus diantisipasi dari kemungkinan terjadinya krisis seperti kemarin.
“Sehingga, jika terjadi seperti itu lagi bisa langsung diantisipasi, bagaimana Polri bisa mengantisipasi masuknya mereka ke gudang senjata dan membunuh petugas,” ujarnya.
Anggota Komisi I DPR ini mengungkapkan di sel penahanan seharusnya dibuat brikade atau pagar berlapis sehingga jika terjadi kerusuhan para napiter tidak bisa menerobos. Namun, Supiadin mengaku heran kenapa di rutan Mako Brimob terdapat penahanan napiter dan jumlahnya mencapai 155 orang.
Padahal sesuai ketentuan perundang-undangan, napi itu tidak bisa dimasukkan ke rutan. Dia kaget karena dengan mudahnya para napiter merampas senjata dan membobol gudang senjata. Napi teroris itu memang luar biasa berbahaya, pengamanan harus berlapis karena begitu ada peluang mereka berubah perilakunya selayaknya teroris.
“Dan napi teroris tidak boleh ditempatkan lama di satu tempat, harus dirolling. Jika lama di satu tempat dengan pasti akan mempelajari situasi di situ, bagaimana kondisi teralis, ruang tahanan, pintu-pintu keluar masuk, dinding. Namanya ditahan ada keinginan bebas kan,” tuturnya.
Karena itu, kata Supiadin, Pansus RUU Anti-Terorisme akan mencoba membahas mengenai insiden di Mako Brimob meskipun, pembahasan RUU sudah hampir selesai. “Kita akan coba, kita akan angkat dan bahas,” tandasnya.
Sementara itu, napiter dari Mako Brimob Depok telah menempati tiga Lapas di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah yakni Lapas Pasir, Lapas Batu dan Lapas Besi. Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Ade Kusmanto menjelaskan, narapidana kasus terorisme dari Mako Brimob sudah masuk daftar untuk dipindahkan.
"Masih mempertimbangkan hasil assessment risiko dan kebutuhan, mana yang harus ditempatkan di Lapas high risk dan siapa saja yang bisa ditempatkan di lapas-lapas lainnya," katanya.
Ade mengungkapkan bahwa narapidana kasus terorisme tidak hanya menempati Rutan Mako Brimob Depok, tetapi tersebar di 108 Lapas dan satu Rutan dan jumlahnya 270 orang.
"Ternyata selama di dalam Lapas, mereka yang merupakan tokoh atau otak teroris selalu memengaruhi beberapa napi umum untuk bergabung dengan kelompoknya atau mengendalikan, membuat permufakatan sesama napi teroris tanpa sepengetahuan petugas. Hal ini berbahaya karena bisa menyebarkan faham radikal," paparnya.
Guna mencegah penyebaraan faham radikal di dalam Lapas, pemerintah membangun lembaga pemasyarakatan khusus untuk narapidana kasus terorisme yang masuk kategori berisiko tinggi di Nusakambangan.
"Ini biasanya berlaku untuk para tokohnya. Tapi ada juga yang sudah kembali ke NKRI, seperti Umar Patek di Lapas porong Jatim. Sudah mau mengibarkan Bendera Merah Putih, serta aktif dalam pembinaan kepribadian dan kemandirian di dalam Lapas Porong," ungkapnya.
Ade mengatakan mayoritas narapidana perkara terorisme yang masih kuat fahamnya cenderung mengasingkan diri, menutup diri, dan tidak mau menyatu dengan narapidana lainnya.
Beribadah kata dia tidak mau bergabung dengan orang lain yang bukan kelompoknya. Mereka menganggap orang lain (menyembah) thogut (sembahan selain Allah SWT), sehingga memberikan pembinaan kepada kelompok radikal tidak mudah. (Kiswondari/ant)
Pasal Guantanamo (penjara khusus teroris) usulan pemerintah pun sudah dihapus. “Jadi penempatan tahanan atau narapidana harus sesuai dengan KUHAP,” kata Supiadin.
Namun demikian, menurut dia, dalam kasus kerusuhan dan penyanderaan di Mako Brimob ada banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran. Antara lain, napi terorisme merupakan napi khusus dan bukan pelaku kriminal biasa, maka penempatannya harus diatur sedemikian rupa agar memudahkan aparat dalam pengawasan dan sudah harus diantisipasi dari kemungkinan terjadinya krisis seperti kemarin.
“Sehingga, jika terjadi seperti itu lagi bisa langsung diantisipasi, bagaimana Polri bisa mengantisipasi masuknya mereka ke gudang senjata dan membunuh petugas,” ujarnya.
Anggota Komisi I DPR ini mengungkapkan di sel penahanan seharusnya dibuat brikade atau pagar berlapis sehingga jika terjadi kerusuhan para napiter tidak bisa menerobos. Namun, Supiadin mengaku heran kenapa di rutan Mako Brimob terdapat penahanan napiter dan jumlahnya mencapai 155 orang.
Padahal sesuai ketentuan perundang-undangan, napi itu tidak bisa dimasukkan ke rutan. Dia kaget karena dengan mudahnya para napiter merampas senjata dan membobol gudang senjata. Napi teroris itu memang luar biasa berbahaya, pengamanan harus berlapis karena begitu ada peluang mereka berubah perilakunya selayaknya teroris.
“Dan napi teroris tidak boleh ditempatkan lama di satu tempat, harus dirolling. Jika lama di satu tempat dengan pasti akan mempelajari situasi di situ, bagaimana kondisi teralis, ruang tahanan, pintu-pintu keluar masuk, dinding. Namanya ditahan ada keinginan bebas kan,” tuturnya.
Karena itu, kata Supiadin, Pansus RUU Anti-Terorisme akan mencoba membahas mengenai insiden di Mako Brimob meskipun, pembahasan RUU sudah hampir selesai. “Kita akan coba, kita akan angkat dan bahas,” tandasnya.
Sementara itu, napiter dari Mako Brimob Depok telah menempati tiga Lapas di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah yakni Lapas Pasir, Lapas Batu dan Lapas Besi. Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Ade Kusmanto menjelaskan, narapidana kasus terorisme dari Mako Brimob sudah masuk daftar untuk dipindahkan.
"Masih mempertimbangkan hasil assessment risiko dan kebutuhan, mana yang harus ditempatkan di Lapas high risk dan siapa saja yang bisa ditempatkan di lapas-lapas lainnya," katanya.
Ade mengungkapkan bahwa narapidana kasus terorisme tidak hanya menempati Rutan Mako Brimob Depok, tetapi tersebar di 108 Lapas dan satu Rutan dan jumlahnya 270 orang.
"Ternyata selama di dalam Lapas, mereka yang merupakan tokoh atau otak teroris selalu memengaruhi beberapa napi umum untuk bergabung dengan kelompoknya atau mengendalikan, membuat permufakatan sesama napi teroris tanpa sepengetahuan petugas. Hal ini berbahaya karena bisa menyebarkan faham radikal," paparnya.
Guna mencegah penyebaraan faham radikal di dalam Lapas, pemerintah membangun lembaga pemasyarakatan khusus untuk narapidana kasus terorisme yang masuk kategori berisiko tinggi di Nusakambangan.
"Ini biasanya berlaku untuk para tokohnya. Tapi ada juga yang sudah kembali ke NKRI, seperti Umar Patek di Lapas porong Jatim. Sudah mau mengibarkan Bendera Merah Putih, serta aktif dalam pembinaan kepribadian dan kemandirian di dalam Lapas Porong," ungkapnya.
Ade mengatakan mayoritas narapidana perkara terorisme yang masih kuat fahamnya cenderung mengasingkan diri, menutup diri, dan tidak mau menyatu dengan narapidana lainnya.
Beribadah kata dia tidak mau bergabung dengan orang lain yang bukan kelompoknya. Mereka menganggap orang lain (menyembah) thogut (sembahan selain Allah SWT), sehingga memberikan pembinaan kepada kelompok radikal tidak mudah. (Kiswondari/ant)
(nfl)