BPH JPH Dianggap Belum Maksimal Beri Jaminan Produk Halal
A
A
A
JAKARTA - Langkah pemerintah dalam hal ini melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPH JPH) dianggap belum maksimal dalam memberikan kepastian produk halal terhadap kalangan industri kecil maupun besar di Indonesia. Padahal Undang-undang nomor 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal sudah memasuki usia ke-4.
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW), Ikhsan Abdullah menganggap sejak 17 Oktober 2014 UU JPH diundangkan sampai saat ini belum dirasakan kehadirannya bagi masyarakat serta belum memiliki pengaruh yang signifikan terhadap dunia usaha dan percepatan industri halal di tanah air.
"Kita tertinggal dari Malaysia, Singapura bahkan Thailand," ungkap Ikhsan dalam sambutannya pada Seminar 'Mandatory Sertifikasi Halal oleh BPH JPH di Hotel Green Alia, Cikini, Jakarta, Senin (16/4/2018).
Dilanjutkan dia, kondisi seperti ini dianggapnya menunjukkan kurang seriusnya perhatian pemerintah terhadap industri halal, dan ketersediaan produk hala sesuai harapan masyarakat. Di sisi lain, pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama terlihat gamang untuk melaksanakan sistem jaminan halal sesuai perintah undang-undang.
Selain itu, kata Ikhsan, Peraturan Pemerintah (PP) jaminan produk halal sebagai peraturan pelaksana undang-undang yang tak kunjung terbit menjadikan tidak berfungsinya BPH JPH.
Sementara Ihksan melihat, sampai saat ini belum lahir satu pun lembaga pemeriksa halal (LPH) yang mendapatkan akreditasi dari BPH JPH dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), karena syarat terbentuknya LPH terlebih dahulu memiliki auditor halal yang telah disertifikasi oleh MUI.
Ikhsan menyebut dari 1.700-an auditor yang ada saat ini adalah dimiliki Lembaga Pengkajian Pangan, obatan-obatan dan Pangan MUI (LPPOM) yang dihasilkan selama 29 tahun.
Menurutnya, BPH JPH dan MUI hingga kini belum rampung merumuskan standar akreditasi bagi LPH dan sertifikasi bagi auditor halal pasca diundangkannnya UU JPH. "Keadaan ini teramat serius guna menjawab apakah mandatori sertifikasi halal dapat dijalankan sesuai amanat UU JPH," pungkasnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW), Ikhsan Abdullah menganggap sejak 17 Oktober 2014 UU JPH diundangkan sampai saat ini belum dirasakan kehadirannya bagi masyarakat serta belum memiliki pengaruh yang signifikan terhadap dunia usaha dan percepatan industri halal di tanah air.
"Kita tertinggal dari Malaysia, Singapura bahkan Thailand," ungkap Ikhsan dalam sambutannya pada Seminar 'Mandatory Sertifikasi Halal oleh BPH JPH di Hotel Green Alia, Cikini, Jakarta, Senin (16/4/2018).
Dilanjutkan dia, kondisi seperti ini dianggapnya menunjukkan kurang seriusnya perhatian pemerintah terhadap industri halal, dan ketersediaan produk hala sesuai harapan masyarakat. Di sisi lain, pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama terlihat gamang untuk melaksanakan sistem jaminan halal sesuai perintah undang-undang.
Selain itu, kata Ikhsan, Peraturan Pemerintah (PP) jaminan produk halal sebagai peraturan pelaksana undang-undang yang tak kunjung terbit menjadikan tidak berfungsinya BPH JPH.
Sementara Ihksan melihat, sampai saat ini belum lahir satu pun lembaga pemeriksa halal (LPH) yang mendapatkan akreditasi dari BPH JPH dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), karena syarat terbentuknya LPH terlebih dahulu memiliki auditor halal yang telah disertifikasi oleh MUI.
Ikhsan menyebut dari 1.700-an auditor yang ada saat ini adalah dimiliki Lembaga Pengkajian Pangan, obatan-obatan dan Pangan MUI (LPPOM) yang dihasilkan selama 29 tahun.
Menurutnya, BPH JPH dan MUI hingga kini belum rampung merumuskan standar akreditasi bagi LPH dan sertifikasi bagi auditor halal pasca diundangkannnya UU JPH. "Keadaan ini teramat serius guna menjawab apakah mandatori sertifikasi halal dapat dijalankan sesuai amanat UU JPH," pungkasnya.
(maf)