Korupsi Bandara Sula, KPK Usut Korupsi Lain dan TPPU Cagub Malut
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bergerak cepat melakukan pengusutan dugaan korupsi lain dan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) tersangka Ahmad Hidayat Mus, Bupati Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara dua periode sekaligus calon Gubernur Malut di Pilkada 2018.
Wakil Ketua KPK Thony Saut Situmorang menyatakan, penetapan tersangka Ahmad Hidayat Mus selaku Bupati Kepulauan Sula 2005-2010 bersama Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Sula yang kini Bupati Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah periode 2017-2022 Zainal Mus bukanlah akhir dari pengusutan terhadap dugaan tindak pidana lain yang dilakukan Ahmad.
Ahmad dan Zainal yang juga kakak beradik ini memang baru ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan pembebasan lahan Bandara Bobong pada APBD 2009 di Kabupaten Kepulauan Sula dengan kerugian negara Rp3,4 miliar.
Saut membeberkan, pihaknya akan melihat dan menelusuri lebih lanjut apakah ada dugaan korupsi lain yang pernah dilakukan Ahmad termasuk misalnya delik penerimaan suap atau gratifikasi selama menjabat sebagai bupati maupun dugaan Ahmad selaku penyelenggara negara bertindak sebagai pemborong dalam proyek pemkab.
Kemudian, akan dikembangkan juga apakah ada dugaan TPPU yang dilakukan Ahmad. Dugaan TPPU tersebut akan dibandingkan dengan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang melonjak drastis.
"Kemungkinan pengembangan ke arah yang lain (dugaan korupsi lain) ya sudah pasti. Biasanya kalau predicate crime (tindak pidana asal) dia harus bisa buktikan dari mana (harta kekayaan), kemudian KPK bisa membuktikan itu dari hasil predicate crime ya berikutnya TPPU-nya," tegas Saut saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (16/3/2018) malam.
Berdasarkan data yang diperoleh dan hasil penelusuran SINDO, Ahmad Hidayat Mus pernah menjadi Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Sula periode 2004-2005. Ahmad juga merupakan Bupati Kepulauan Sula dua periode, 2005-2010 dan 2010-2015. Dia juga merupakan mantan Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Maluku Utara dan mantan Ketua DPP Partai Golkar Bidang Pemenangan Pemilu Indonesia II Wilayah Timur.
Ahmad Hidayat Mus pernah maju menjadi calon Gubernur Maluku Utara 2013-2018 pada Pilkada 2013. Pada November 2013, KPU Provinsi Maluku Utara pernah menetapkan Ahmad sebagai gubernur terpilih.
Tapi kemudian sengketa pilkada Malut 2013 masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK memutuskan melakukan pemungutan suara ulang. Berdasarkan hasil PSU Pilgub Malut 2014, pasangan Abdul Gani Kasuba-M Nashir Thaib keluar sebagai pemenang.
Saut melanjutkan, untuk Ahmad memang pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Malut dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Masjid Raya Sanana 2006-2010 dengan nilai proyek Rp23,5 miliar dan kerugian negara lebih Rp5,521 miliar. Setelah perkaranya dibawa JPU pada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Malut ke Pengadilan Tipikor Ternate kemudian majelis hakim memvonis bebas Ahmad pada Juni 2017.
"Kalau dikaitkan dengan kasus lain, masjid itu kan memang dari awal KPK konsen. Bahkan pimpinan ada tiga yang ke sana, saya, pak Laode (Laode Muhamad Syarif), dan bu Basaria (Basaria Panjaitan). Kasus yang sebelumnya menyangkut rumah ibadah itu tadinya mau kita ambil alih. Kemudian tidak jadi, diputus seperti apa (di Pengadilan Tipikor Ternate) kalian sudah tahu," tandasnya.
Wakil Ketua KPK Thony Saut Situmorang menyatakan, penetapan tersangka Ahmad Hidayat Mus selaku Bupati Kepulauan Sula 2005-2010 bersama Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Sula yang kini Bupati Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah periode 2017-2022 Zainal Mus bukanlah akhir dari pengusutan terhadap dugaan tindak pidana lain yang dilakukan Ahmad.
Ahmad dan Zainal yang juga kakak beradik ini memang baru ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan pembebasan lahan Bandara Bobong pada APBD 2009 di Kabupaten Kepulauan Sula dengan kerugian negara Rp3,4 miliar.
Saut membeberkan, pihaknya akan melihat dan menelusuri lebih lanjut apakah ada dugaan korupsi lain yang pernah dilakukan Ahmad termasuk misalnya delik penerimaan suap atau gratifikasi selama menjabat sebagai bupati maupun dugaan Ahmad selaku penyelenggara negara bertindak sebagai pemborong dalam proyek pemkab.
Kemudian, akan dikembangkan juga apakah ada dugaan TPPU yang dilakukan Ahmad. Dugaan TPPU tersebut akan dibandingkan dengan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang melonjak drastis.
"Kemungkinan pengembangan ke arah yang lain (dugaan korupsi lain) ya sudah pasti. Biasanya kalau predicate crime (tindak pidana asal) dia harus bisa buktikan dari mana (harta kekayaan), kemudian KPK bisa membuktikan itu dari hasil predicate crime ya berikutnya TPPU-nya," tegas Saut saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (16/3/2018) malam.
Berdasarkan data yang diperoleh dan hasil penelusuran SINDO, Ahmad Hidayat Mus pernah menjadi Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Sula periode 2004-2005. Ahmad juga merupakan Bupati Kepulauan Sula dua periode, 2005-2010 dan 2010-2015. Dia juga merupakan mantan Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Maluku Utara dan mantan Ketua DPP Partai Golkar Bidang Pemenangan Pemilu Indonesia II Wilayah Timur.
Ahmad Hidayat Mus pernah maju menjadi calon Gubernur Maluku Utara 2013-2018 pada Pilkada 2013. Pada November 2013, KPU Provinsi Maluku Utara pernah menetapkan Ahmad sebagai gubernur terpilih.
Tapi kemudian sengketa pilkada Malut 2013 masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK memutuskan melakukan pemungutan suara ulang. Berdasarkan hasil PSU Pilgub Malut 2014, pasangan Abdul Gani Kasuba-M Nashir Thaib keluar sebagai pemenang.
Saut melanjutkan, untuk Ahmad memang pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Malut dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Masjid Raya Sanana 2006-2010 dengan nilai proyek Rp23,5 miliar dan kerugian negara lebih Rp5,521 miliar. Setelah perkaranya dibawa JPU pada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Malut ke Pengadilan Tipikor Ternate kemudian majelis hakim memvonis bebas Ahmad pada Juni 2017.
"Kalau dikaitkan dengan kasus lain, masjid itu kan memang dari awal KPK konsen. Bahkan pimpinan ada tiga yang ke sana, saya, pak Laode (Laode Muhamad Syarif), dan bu Basaria (Basaria Panjaitan). Kasus yang sebelumnya menyangkut rumah ibadah itu tadinya mau kita ambil alih. Kemudian tidak jadi, diputus seperti apa (di Pengadilan Tipikor Ternate) kalian sudah tahu," tandasnya.
(kri)