Direktur SAS Institute Sayangkan Keberatan Pemerintah Arab Saudi
A
A
A
JAKARTA - Ramai dalam ruang publik perdebatan akan lantunan Ya Lal Wathon dalam rangkaian ibadah umrah. Sebelumnya pembacaan teks Pancasila juga dilakukan oleh jamaah umrah dari Indonesia di Masy'a.
Hal ini diprotes oleh pemerintah Arab Saudi. Duta Besar Indonesia untuk Saudi Arabia merespons nota keberatan itu dengan merilis pernyataan pers yang menjadi viral di medsos.
Dubes Agus Maftuh Abegebriel mengatakan, KBRI melindungi seluruh ekspatriat Indonesia di Saudi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. "Jika ada ekspatriat Indonesia di Arab Saudi yang melakukan tindakan di luar kepatutan dan norma-norma yang berlaku, maka akan diprotes pertama kali oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa 27 Februari 2018 lalu.
Dubes RI untuk Saudi mengimbau, kepada seluruh ekspatriat Indonesia yang sedang atau akan berkunjung ke Arab Saudi mematuhi peraturan, kepatutan dan norma-norma yang berlaku di Arab Saudi. Statemen itu mengundang beragam reaksi dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU).
Direktur Said Aqil Siradj (SAS) Institute, M Imdadun Rahmat menyayangkan atas keberatan Pemerintah Saudi. Dirinya menilai lantunan Syiir dan Nasyid serta pembacaan teks Pancasila tidak membatalkan sya'i.
Menurutnya, isi Syair Ya Lal Wathon adalah kecintaan pada Tanah Air karangan Kiai Wahab Chasbullah. Sejauh bacaan utama berupa dzikir telah dilakukan selingan seperti itu tidak bertentangan dengan Fiqih.
"Ini karena tidak lazim saja. Jamaah lain yang sambil ngobrol juga tidak dipersoalkan," ujar dia lewat rilisnya, Kamis (3/2/2018).
Imdadun Rahmat yang juga tokoh muda NU, enggan membangun polemik terkait pembacaan Pancasila dan Syiir Ya Lal Wathon. Namun, dirinya merujuk kepada ketentuan mayoritas ulama yang tidak melarang akan hal tersebut.
"Sebagai warga Muslim Indonesia, kita tidak perlu memperkeruh masalah. Hal ini tidak perlu dipolemikkan. Saya menilai lantunan tersebut adalah reaksi perlawanan Muslim Indonesia terkait maraknya pemahaman agama yang dipertentangkan dengan paham kebangsaan serta politisasi agama demi merebut kekuasaan," papar Imdadun.
Lebih jauh, Imdadun mendukung penuh sikap Dubes Agus untuk menjaga hubungan diplomatik Indonesia-Saudi Arabia. Bahwa terjadi reaksi atas Pemerintah Saudi Arabia itu adalah satu hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
"Lantunan Ya Lal Wathon tidak melanggar koridor hukum positif Saudi Arabia. Kita yang di dalam negeri tidak perlu ikut-ikutan membangun polemik. Agar hubungan diplomatik kembali kondusif. Lagi pula, Ya Lal Wathon adalah salah satu simbol Islam Nusantara. Yakni Islam yang cocok dengan Indonesia kita," tutup Imdadun Rahmat.
Hal ini diprotes oleh pemerintah Arab Saudi. Duta Besar Indonesia untuk Saudi Arabia merespons nota keberatan itu dengan merilis pernyataan pers yang menjadi viral di medsos.
Dubes Agus Maftuh Abegebriel mengatakan, KBRI melindungi seluruh ekspatriat Indonesia di Saudi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. "Jika ada ekspatriat Indonesia di Arab Saudi yang melakukan tindakan di luar kepatutan dan norma-norma yang berlaku, maka akan diprotes pertama kali oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa 27 Februari 2018 lalu.
Dubes RI untuk Saudi mengimbau, kepada seluruh ekspatriat Indonesia yang sedang atau akan berkunjung ke Arab Saudi mematuhi peraturan, kepatutan dan norma-norma yang berlaku di Arab Saudi. Statemen itu mengundang beragam reaksi dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU).
Direktur Said Aqil Siradj (SAS) Institute, M Imdadun Rahmat menyayangkan atas keberatan Pemerintah Saudi. Dirinya menilai lantunan Syiir dan Nasyid serta pembacaan teks Pancasila tidak membatalkan sya'i.
Menurutnya, isi Syair Ya Lal Wathon adalah kecintaan pada Tanah Air karangan Kiai Wahab Chasbullah. Sejauh bacaan utama berupa dzikir telah dilakukan selingan seperti itu tidak bertentangan dengan Fiqih.
"Ini karena tidak lazim saja. Jamaah lain yang sambil ngobrol juga tidak dipersoalkan," ujar dia lewat rilisnya, Kamis (3/2/2018).
Imdadun Rahmat yang juga tokoh muda NU, enggan membangun polemik terkait pembacaan Pancasila dan Syiir Ya Lal Wathon. Namun, dirinya merujuk kepada ketentuan mayoritas ulama yang tidak melarang akan hal tersebut.
"Sebagai warga Muslim Indonesia, kita tidak perlu memperkeruh masalah. Hal ini tidak perlu dipolemikkan. Saya menilai lantunan tersebut adalah reaksi perlawanan Muslim Indonesia terkait maraknya pemahaman agama yang dipertentangkan dengan paham kebangsaan serta politisasi agama demi merebut kekuasaan," papar Imdadun.
Lebih jauh, Imdadun mendukung penuh sikap Dubes Agus untuk menjaga hubungan diplomatik Indonesia-Saudi Arabia. Bahwa terjadi reaksi atas Pemerintah Saudi Arabia itu adalah satu hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
"Lantunan Ya Lal Wathon tidak melanggar koridor hukum positif Saudi Arabia. Kita yang di dalam negeri tidak perlu ikut-ikutan membangun polemik. Agar hubungan diplomatik kembali kondusif. Lagi pula, Ya Lal Wathon adalah salah satu simbol Islam Nusantara. Yakni Islam yang cocok dengan Indonesia kita," tutup Imdadun Rahmat.
(kri)