Indonesia Belum Miliki Peta yang Akurat Tentang Pengelolaan Lahan Gambut
A
A
A
TANGERANG - Pembina Yayasan Dr. Sjahrir, Kartini Sjahrir menyatakan tentang pentingnya sebuah peta dengan akurasi tinggi untuk restorasi dan konservasi lahan gambut.
"Salah satu instrument penting dalam mendukung pengelolaan gambut adalah tersedianya peta gambut yang akurat," kata Kartini, kepada SINDOnews, di Tangerang, Selasa (31/10/2017).
Dijelaskan dia, Indonesia memiliki lahan gambut tropis yang luas. Lahan gambut tersebut dapat menyusut atau bahkan hilang. Karena itu, pemantauan lahan gambut secara periodik sangat penting.
"Penyebab umum penyusutan lahan gambut di Indonesia, adalah pemanfaatan lahan gambut yang dikelola secara intensif tanpa mempertimbangan kaidah konservasi tanah dan air," ungkapnya.
Mengenai peta gambut di Indonesia, menurut catatan Kazuyo Hirose dari Japan Space System, sudah ada sejak tahun 1970- 2011, dibuat oleh para ahli dari pemerintah, swasta, dan kampus.
"Sudah ada peta gambut skala lokal dan national. Namun laporan hasilnya menunjukkan perbedaan, dengan rentang selisih antara 13,5-26,5 juta hektare lahan gambut yang ada," sambung Kartini.
Deputi I bidang Perencanaan dan Kerjasama Badan Restorasi Gambut (BRG) Budi Satyawan Wardjama menimpali, sedikitnya ada 14 peta yang telah dibuat dan saling berbeda satu sama lain.
"Untungnya ada wali data peta tanah dan peta lahan gambut Balitbangtang Kementan. Tapi sayangnya data terakhir tahun 2011, dan belum terupdate sampai sekarang," timpal Budi Satyawan.
Dari peta indikatif yang ada dari KLHK (skala 1:250.000), BRG melakukan inventarisasi dan pemetaan ekosistem gambut, kemudian melakukan pemetaan skala besar dan melakukan identifikasi.
Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial (BIG), Nurwadjedi menambahkan, saat ini BIG sudah menyelesaikan integrasi 63 peta di Kalimantan.
"Target kerja BIG hingga akhir 2017 ini adalah integrasi data 82 peta di Pulau Sumatera, 81 peta di Pulau Sulawesi, dan 79 peta tematik di Pulau Bali, dan Nusa Tenggara," pungkas Nurwadjedi.
"Salah satu instrument penting dalam mendukung pengelolaan gambut adalah tersedianya peta gambut yang akurat," kata Kartini, kepada SINDOnews, di Tangerang, Selasa (31/10/2017).
Dijelaskan dia, Indonesia memiliki lahan gambut tropis yang luas. Lahan gambut tersebut dapat menyusut atau bahkan hilang. Karena itu, pemantauan lahan gambut secara periodik sangat penting.
"Penyebab umum penyusutan lahan gambut di Indonesia, adalah pemanfaatan lahan gambut yang dikelola secara intensif tanpa mempertimbangan kaidah konservasi tanah dan air," ungkapnya.
Mengenai peta gambut di Indonesia, menurut catatan Kazuyo Hirose dari Japan Space System, sudah ada sejak tahun 1970- 2011, dibuat oleh para ahli dari pemerintah, swasta, dan kampus.
"Sudah ada peta gambut skala lokal dan national. Namun laporan hasilnya menunjukkan perbedaan, dengan rentang selisih antara 13,5-26,5 juta hektare lahan gambut yang ada," sambung Kartini.
Deputi I bidang Perencanaan dan Kerjasama Badan Restorasi Gambut (BRG) Budi Satyawan Wardjama menimpali, sedikitnya ada 14 peta yang telah dibuat dan saling berbeda satu sama lain.
"Untungnya ada wali data peta tanah dan peta lahan gambut Balitbangtang Kementan. Tapi sayangnya data terakhir tahun 2011, dan belum terupdate sampai sekarang," timpal Budi Satyawan.
Dari peta indikatif yang ada dari KLHK (skala 1:250.000), BRG melakukan inventarisasi dan pemetaan ekosistem gambut, kemudian melakukan pemetaan skala besar dan melakukan identifikasi.
Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial (BIG), Nurwadjedi menambahkan, saat ini BIG sudah menyelesaikan integrasi 63 peta di Kalimantan.
"Target kerja BIG hingga akhir 2017 ini adalah integrasi data 82 peta di Pulau Sumatera, 81 peta di Pulau Sulawesi, dan 79 peta tematik di Pulau Bali, dan Nusa Tenggara," pungkas Nurwadjedi.
(pur)