Bupati Nganjuk Taufiqurrahman Pakai Sandi 1 Meter untuk Uang Suap
Kamis, 26 Oktober 2017 - 21:14 WIB

Bupati Nganjuk Taufiqurrahman Pakai Sandi 1 Meter untuk Uang Suap
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengantongi alat bukti petunjuk berupa sadapan percakapan via telepon seluler (ponsel) tersangka Bupati Nganjuk, Jawa Timur Taufiqurrahman dkk berisi penggunaan sandi '1 meter' untuk mengaburkan uang suap.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengungkapkan, tim KPK menemukan dalam proses pengurusan jual beli jabatan dan transaksional suap terjadi rupanya sebelum-sebelumnya sudah ada pemberian-pemberian lain kepada Bupati Taufiqurrahman.
Saat KPK kalah dalam praperadilan, tutur Basaria, hakikatnya sudah dilakukan penyelidikan tertutup terkait dengan suap yang berujung tangkap tangan. Dalam proses penyelidikan tersebut, KPK melakukan dua hal.
Pertama, intensitas penyadapan terhadap Taufiqurrahman dan para pihak termasuk dengan dua tersangka penerima suap dan dua tersangka pemberi suap Rp298,020 sebelum tangkap tangan.
Dua tersangka penerima suap tersebut adalah Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Nganjuk Ibnu Hajar dan Kepala SMP Negeri 3 Ngronggot Kabupaten Nganjuk Suwandi. Sementara dua tersangka pemberi suap yakni Kepala Bagian Umum RSUD Kertosono Nganjuk Mokhammad Bisri dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Nganjuk Harjanto.
Kedua, Basaria memaparkan, tim KPK melakukan pun pemantauan lapangan (surveillance) terutama di Kabupaten Nganjuk. Bahkan, tim KPK beberapa kali berada di Nganjuk untuk beberapa lama.
Dalam dua proses tersebut, KPK memastikan terpenuhinya unsur pidana sogok-menyogok. Kemudian akhirnya dilakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (25/10/2010). Basaria tidak membantah ada sandi atau kode khusus yang dipergunakan Taufiqurrahman dkk.
"Isi dan bagaimana KPK melakukan penyadapan, saya tidak bisa jelaskan secara taktis. Terlalu spesifik. Yang pasti tim paling banyak tim turun ke lapangan memantau orang-orang, siapa yang melakukan jual beli jabatan. Enggak mungkin kita duduk manis. Dua hal itu saling mendukung," ujar Basaria saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (26/10/2017).
Informasi yang berhasil diterima KORAN SINDO, sebelum terjadi serah terima pada Rabu (25/10), Taufiqurrahman bersama Ibnu dan/atau Suwandi serta beberapa pihak melakukan beberapa kali komunikasi via telepon seluler (ponsel). Dari komunikasi yang tersadap KPK mereka termasuk Taufiqurrahman menggunakan sandi '1 meter' sebagai perujuk untuk angka uang sebesar Rp100 juta.
"Kode 1 meter ini pernah digunakan dalam kasus lain. Maknanya memang beda-beda. Di kasus ini artinya Rp100 juta. Intinya kita memahami itu uang. Dan, kita pantau ternyata benar ada penyerahan uang langsung kita bungkus," tegas sumber internal kepada KORAN SINDO.
Basaria melanjutkan, Taufiqurrahman menjadikan Ibnu dan Suwandi sebagai orang kepercayaan Taufiqurrahman sebagai pengepul dan pengumpul uang hasil jual beli jabatan. Dari informasi yang berhasil diperoleh tim KPK, untuk menjadi Kepala SD maka sang calon harus membayar Rp25 juta ke Taufiqurrahman.
Bahkan untuk menjadi kepala SD ada juga yang hanya dipatok Rp10 juta. Untuk tingkatan SMP dan SMA ditarifkan sekitar Rp50 juta.
"Menjadi kepala dinas lebih besar lagi. Tetapi tidak ada suatu harga yang tetap di sini. Kalau untuk tarif, kepala sekolah itu ini tidak selalu seperti ada harga teh botol berapa. Tidak. Mungkin wilayahnya berbeda-beda, kepala sekolah di tempat satu di tempat lain. Tidak selalu sama," imbuhnya.
Mantan staf ahli kapolri bidang sosial politik ini menggariskan, seluruh pengumpulan uang setoran ini dilakukan oleh Suwandi dan Ibnu. Untuk proses pengumpulan, biasanya Taufiqurrahman menyampaikan ke dua orang tersebut misalnya si bupati butuh berapa dan kapan tenggat waktunya.
Dari situ Suwandi dan Ibnu bergerilya. Proses ini berlaku juga untuk keperluan Taufiqurrahman di Jakarta saat terjadi OTT. "KPK sangat prihatin dengan masih terjadinya tindak pidana korupsi yang diduga melibatkan kepala daerah. KPK mengimbau praktik-praktik korupsi seperti ini di lingkungan pemerintah daerah dihentikan. Karena menduga modus seperti ini juga terjadi di banyak daerah," ucap Basaria.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengungkapkan, tim KPK menemukan dalam proses pengurusan jual beli jabatan dan transaksional suap terjadi rupanya sebelum-sebelumnya sudah ada pemberian-pemberian lain kepada Bupati Taufiqurrahman.
Saat KPK kalah dalam praperadilan, tutur Basaria, hakikatnya sudah dilakukan penyelidikan tertutup terkait dengan suap yang berujung tangkap tangan. Dalam proses penyelidikan tersebut, KPK melakukan dua hal.
Pertama, intensitas penyadapan terhadap Taufiqurrahman dan para pihak termasuk dengan dua tersangka penerima suap dan dua tersangka pemberi suap Rp298,020 sebelum tangkap tangan.
Dua tersangka penerima suap tersebut adalah Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Nganjuk Ibnu Hajar dan Kepala SMP Negeri 3 Ngronggot Kabupaten Nganjuk Suwandi. Sementara dua tersangka pemberi suap yakni Kepala Bagian Umum RSUD Kertosono Nganjuk Mokhammad Bisri dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Nganjuk Harjanto.
Kedua, Basaria memaparkan, tim KPK melakukan pun pemantauan lapangan (surveillance) terutama di Kabupaten Nganjuk. Bahkan, tim KPK beberapa kali berada di Nganjuk untuk beberapa lama.
Dalam dua proses tersebut, KPK memastikan terpenuhinya unsur pidana sogok-menyogok. Kemudian akhirnya dilakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (25/10/2010). Basaria tidak membantah ada sandi atau kode khusus yang dipergunakan Taufiqurrahman dkk.
"Isi dan bagaimana KPK melakukan penyadapan, saya tidak bisa jelaskan secara taktis. Terlalu spesifik. Yang pasti tim paling banyak tim turun ke lapangan memantau orang-orang, siapa yang melakukan jual beli jabatan. Enggak mungkin kita duduk manis. Dua hal itu saling mendukung," ujar Basaria saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (26/10/2017).
Informasi yang berhasil diterima KORAN SINDO, sebelum terjadi serah terima pada Rabu (25/10), Taufiqurrahman bersama Ibnu dan/atau Suwandi serta beberapa pihak melakukan beberapa kali komunikasi via telepon seluler (ponsel). Dari komunikasi yang tersadap KPK mereka termasuk Taufiqurrahman menggunakan sandi '1 meter' sebagai perujuk untuk angka uang sebesar Rp100 juta.
"Kode 1 meter ini pernah digunakan dalam kasus lain. Maknanya memang beda-beda. Di kasus ini artinya Rp100 juta. Intinya kita memahami itu uang. Dan, kita pantau ternyata benar ada penyerahan uang langsung kita bungkus," tegas sumber internal kepada KORAN SINDO.
Basaria melanjutkan, Taufiqurrahman menjadikan Ibnu dan Suwandi sebagai orang kepercayaan Taufiqurrahman sebagai pengepul dan pengumpul uang hasil jual beli jabatan. Dari informasi yang berhasil diperoleh tim KPK, untuk menjadi Kepala SD maka sang calon harus membayar Rp25 juta ke Taufiqurrahman.
Bahkan untuk menjadi kepala SD ada juga yang hanya dipatok Rp10 juta. Untuk tingkatan SMP dan SMA ditarifkan sekitar Rp50 juta.
"Menjadi kepala dinas lebih besar lagi. Tetapi tidak ada suatu harga yang tetap di sini. Kalau untuk tarif, kepala sekolah itu ini tidak selalu seperti ada harga teh botol berapa. Tidak. Mungkin wilayahnya berbeda-beda, kepala sekolah di tempat satu di tempat lain. Tidak selalu sama," imbuhnya.
Mantan staf ahli kapolri bidang sosial politik ini menggariskan, seluruh pengumpulan uang setoran ini dilakukan oleh Suwandi dan Ibnu. Untuk proses pengumpulan, biasanya Taufiqurrahman menyampaikan ke dua orang tersebut misalnya si bupati butuh berapa dan kapan tenggat waktunya.
Dari situ Suwandi dan Ibnu bergerilya. Proses ini berlaku juga untuk keperluan Taufiqurrahman di Jakarta saat terjadi OTT. "KPK sangat prihatin dengan masih terjadinya tindak pidana korupsi yang diduga melibatkan kepala daerah. KPK mengimbau praktik-praktik korupsi seperti ini di lingkungan pemerintah daerah dihentikan. Karena menduga modus seperti ini juga terjadi di banyak daerah," ucap Basaria.
(kri)