Bahas Kemiskinan, Asosiasi Pemerintah Provinsi Kritisi Efektivitas Dana Desa
A
A
A
MEDAN - Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) menggelar workshop Pengentasan Kemiskinan. Dalam kesempatan itu, APPSI mengkritisi efektivitas dana desa yang dinilai belum maksimal dalam pengentasan kemiskinan.
Ketua APPSI Syahrul Yasin Limpo mempertanyakan pemanfaatan dana desa yang lebih banyak dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur, sementara untuk pengentasan kemiskinan masih minim.
Padahal, kata Syahrul, dana desa yang nilai totalnya mencapai Rp61 triliun lebih itu dapat menjadi solusi dalam mengatasi kemiskinan yang masih dihadapi seluruh daerah di Indonesia.
"Saya pikir, dana Rp61 triliun lebih itu gak boleh kita biarkan seperti sekarang. Saya liat ada (pembangunan) pedestrian di pinggir pantai. Memang betul pertanggungjawabannya, tapi manfaatnya apa? (untuk pengentasan kemiskinan)," ungkap Syahrul saat membuka Workshop APPSI Pengentasan Kemiskinan di Tingkat Provinsi di Hotel Shantika Premiere Dyandra, Jalan Kapten Maulana Lubis, Medan, Rabu (20/9/2017).
Menurut Syahrul, dari dana desa yang nilainya Rp1 miliar per desa itu, 20-30%-nya seharusnya digunakan untuk pengentasan kemiskinan melalui program-program pemberdayaan masyarakat.
Sehingga, selain diperoleh pembangunan fisik, dana desa yang nilainya Rp1 miliar per desa tersebut juga menghasilkan pendapatan untuk meningkatkan taraf perekonomian masyarakat setempat.
"Jadi, Rp61 triliun itu bisa dirumuskan 20-30%-nya menjadi hal-hal yang produktif di desa. Dari Rp1 miliar, ada Rp200-300 juta, gubernur bisa mengarahkan," katanya.
Syahrul yang juga Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) itu mencontohkan, di Sulsel, pihaknya mengalokasikan dana sebesar Rp78 miliar untuk bibit jagung. Dari modal tersebut, diperoleh hasil hingga Rp3,4 triliun.
Contoh lain, pihaknya juga mengalokasikan dana Rp100 miliar untuk pengadaan bibit rumput laut. Setelah bibit rumput laut itu ditanam selama 45 hari, hasilnya mencapai Rp4,2 triliun. "Selama ini, kita dapat Rp44 triliun dari sektor pertanian," ungkap Syahrul.
Contoh pemanfaatan dana desa untuk program pemberdayaan masyarakat desa tersebut, lanjutnya, sangat berdampak terhadap pengentasan kemiskinan di daerahnya. Perekonomian masyarakat desa akhirnya meningkat seiring usaha-usaha yang dikembangkan oleh masyarakat desa itu sendiri.
Meski begitu, tambah Syahrul, pemanfaatan dana desa untuk pemberdayaan masyarakat perlu disertai peningkatan peran dan tanggung jawab kelembagaan. Apakah pengelolaannya menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, atau bahkan pemerintah desa sendiri.
Selain itu, diperlukan juga pemetaan sektor apa saja yang bisa dikembangkan melalui program pemberdayaan tersebut. Syahrul menyarankan untuk menyasar sektor yang memang sudah menjadi ciri khas masyarakat setempat.
"Harus yang akrab dengan masyarakat, seperti (pengembangan) pisang, ayam kampung, rumput laut, ikan laut, dan lain sebagainya," tandasnya.
Ketua APPSI Syahrul Yasin Limpo mempertanyakan pemanfaatan dana desa yang lebih banyak dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur, sementara untuk pengentasan kemiskinan masih minim.
Padahal, kata Syahrul, dana desa yang nilai totalnya mencapai Rp61 triliun lebih itu dapat menjadi solusi dalam mengatasi kemiskinan yang masih dihadapi seluruh daerah di Indonesia.
"Saya pikir, dana Rp61 triliun lebih itu gak boleh kita biarkan seperti sekarang. Saya liat ada (pembangunan) pedestrian di pinggir pantai. Memang betul pertanggungjawabannya, tapi manfaatnya apa? (untuk pengentasan kemiskinan)," ungkap Syahrul saat membuka Workshop APPSI Pengentasan Kemiskinan di Tingkat Provinsi di Hotel Shantika Premiere Dyandra, Jalan Kapten Maulana Lubis, Medan, Rabu (20/9/2017).
Menurut Syahrul, dari dana desa yang nilainya Rp1 miliar per desa itu, 20-30%-nya seharusnya digunakan untuk pengentasan kemiskinan melalui program-program pemberdayaan masyarakat.
Sehingga, selain diperoleh pembangunan fisik, dana desa yang nilainya Rp1 miliar per desa tersebut juga menghasilkan pendapatan untuk meningkatkan taraf perekonomian masyarakat setempat.
"Jadi, Rp61 triliun itu bisa dirumuskan 20-30%-nya menjadi hal-hal yang produktif di desa. Dari Rp1 miliar, ada Rp200-300 juta, gubernur bisa mengarahkan," katanya.
Syahrul yang juga Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) itu mencontohkan, di Sulsel, pihaknya mengalokasikan dana sebesar Rp78 miliar untuk bibit jagung. Dari modal tersebut, diperoleh hasil hingga Rp3,4 triliun.
Contoh lain, pihaknya juga mengalokasikan dana Rp100 miliar untuk pengadaan bibit rumput laut. Setelah bibit rumput laut itu ditanam selama 45 hari, hasilnya mencapai Rp4,2 triliun. "Selama ini, kita dapat Rp44 triliun dari sektor pertanian," ungkap Syahrul.
Contoh pemanfaatan dana desa untuk program pemberdayaan masyarakat desa tersebut, lanjutnya, sangat berdampak terhadap pengentasan kemiskinan di daerahnya. Perekonomian masyarakat desa akhirnya meningkat seiring usaha-usaha yang dikembangkan oleh masyarakat desa itu sendiri.
Meski begitu, tambah Syahrul, pemanfaatan dana desa untuk pemberdayaan masyarakat perlu disertai peningkatan peran dan tanggung jawab kelembagaan. Apakah pengelolaannya menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, atau bahkan pemerintah desa sendiri.
Selain itu, diperlukan juga pemetaan sektor apa saja yang bisa dikembangkan melalui program pemberdayaan tersebut. Syahrul menyarankan untuk menyasar sektor yang memang sudah menjadi ciri khas masyarakat setempat.
"Harus yang akrab dengan masyarakat, seperti (pengembangan) pisang, ayam kampung, rumput laut, ikan laut, dan lain sebagainya," tandasnya.
(pur)