Aparat Jangan Gunakan Pasal Karet UU ITE untuk Kepentingan Sesaat
A
A
A
JAKARTA - Upaya kriminalisasi terhadap Ketua Umum (Ketum) Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo (HT), menuai kecaman berbagai pihak.
Ahli IT Pratama Persada menilai, dari bunyi SMS yang dikirm HT kepada Jaksa Yulianto, sulit untuk menemukan bentuk ancaman, karena bunyi SMS ditujukan secara umum kepada pihak kejaksaan.
"Aparat harus melihat hal ini secara menyeluruh. Jangan sampai ke depan Pasal 29 UU ITE ini hanya menjadi pasal karet yang bisa digunakan kapan saja untuk apa saja dan kepentingan siapa saja," kata Pratama dalam siaran pers, Minggu (2/7/2017).
Kata Pratama, dengan proses hukum yang terjadi pada Hary Tanoe menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Karena SMS semacam ini merupakan hal biasa dalam kondisi masyarakat.
"Seorang pimpinan perusahaan misalnya melakukan pernyataan akan memecat dan memutasi pegawai yang tidak berkinerja baik, bisa dilaporkan ke polisi. Apalagi pernyataan-pernyataan politik dalam kampanye yang menjanjikan pembersihan di sektor-sektoe yang dianggap korupsi," tuturnya.
Dia menjelaskan, untuk unsur ancaman dan menakut-nakuti juga harus benar-benar dilihat. Terkait unsur ancaman misalnya, apakah ada bentuk ancaman kekerasan secara langsung, bila dilihat isi SMS dan Whatsapp jelas tidak ada.
"Lalu menakut-nakuti, juga sulit untuk membaca SMS dan Whatsapp tersebut sebagai bentuk menakut-nakuti. Apakah pesan yang ditujukan ke Kejaksaan secara umum itu bisa dianggap menakut-nakuti Yulianto sebagai Jaksa, seharusnya tidak," ungkapnya.
"Harus ada bentuk ancaman tertulis, semisal 'bila kamu masih jualan di depan toko saya, akan saya sewa preman untuk menghancurkan tokomu'. Ini adalah contoh ancaman yang nyata, karena ada dan akan ada kerugian baik fisik, psikis dan materiil sesuai penjelasan pasal 45B UU ITE 2016, apalagi bila ancaman tersebut benar-benar dilaksanakan," tandasnya.
Ahli IT Pratama Persada menilai, dari bunyi SMS yang dikirm HT kepada Jaksa Yulianto, sulit untuk menemukan bentuk ancaman, karena bunyi SMS ditujukan secara umum kepada pihak kejaksaan.
"Aparat harus melihat hal ini secara menyeluruh. Jangan sampai ke depan Pasal 29 UU ITE ini hanya menjadi pasal karet yang bisa digunakan kapan saja untuk apa saja dan kepentingan siapa saja," kata Pratama dalam siaran pers, Minggu (2/7/2017).
Kata Pratama, dengan proses hukum yang terjadi pada Hary Tanoe menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Karena SMS semacam ini merupakan hal biasa dalam kondisi masyarakat.
"Seorang pimpinan perusahaan misalnya melakukan pernyataan akan memecat dan memutasi pegawai yang tidak berkinerja baik, bisa dilaporkan ke polisi. Apalagi pernyataan-pernyataan politik dalam kampanye yang menjanjikan pembersihan di sektor-sektoe yang dianggap korupsi," tuturnya.
Dia menjelaskan, untuk unsur ancaman dan menakut-nakuti juga harus benar-benar dilihat. Terkait unsur ancaman misalnya, apakah ada bentuk ancaman kekerasan secara langsung, bila dilihat isi SMS dan Whatsapp jelas tidak ada.
"Lalu menakut-nakuti, juga sulit untuk membaca SMS dan Whatsapp tersebut sebagai bentuk menakut-nakuti. Apakah pesan yang ditujukan ke Kejaksaan secara umum itu bisa dianggap menakut-nakuti Yulianto sebagai Jaksa, seharusnya tidak," ungkapnya.
"Harus ada bentuk ancaman tertulis, semisal 'bila kamu masih jualan di depan toko saya, akan saya sewa preman untuk menghancurkan tokomu'. Ini adalah contoh ancaman yang nyata, karena ada dan akan ada kerugian baik fisik, psikis dan materiil sesuai penjelasan pasal 45B UU ITE 2016, apalagi bila ancaman tersebut benar-benar dilaksanakan," tandasnya.
(maf)