ICJR: Tak Ada Solusi Jitu Pemerintah Atasi Masalah Lapas

Minggu, 07 Mei 2017 - 13:16 WIB
ICJR: Tak Ada Solusi...
ICJR: Tak Ada Solusi Jitu Pemerintah Atasi Masalah Lapas
A A A
JAKARTA - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai pemerintah selama ini tidak memberikan solusi jitu dan komprehensif atas masalah kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan (Lapas) atau rumah tahanan (Rutan). ICJR melihat pembenahan yang dilakukan pemerintah selama ini hanya tambal sulam.

"Sampai dengan saat ini tidak ada solusi pemerintah yang jitu dan komprehensif atas hal tersebut karena selama ini pembenahan atas kondisi ini tambal sulam," ujar Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono kepada SINDOnews, Minggu (7/5/2017).

Berdasarkan temuan ICJR, dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) hanya ada 59 tindak pidana yang secara otomatis dapat dijatuhi pidana kerja sosial sebagai alternatif pidana penjara. Sedangkan 1.154 perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara, ada 249 perbuatan pidana yang diancam dengan pidana minimum dari satu tahun sampai empat tahun penjara.

ICJR prihatin atas terjadi kasus berulang yang selalu dialami oleh Lapas-lapas di Indonesia tersebut. Walaupun kejadian di Lapas Pekanbaru, Riau, adalah kasus kaburnya penghuni Rutan atau Lapas terbesar di Indonesia.

Pihaknya melihat bahwa masalah di Lapas-lapas maupun Rutan-rutan Indonesia, sudah dalam situasi yang mengkhawatirkan. Kata dia, masalah utama terkait kelebihan penghuni yang dialami sebagian besar Lapas Indonesia sudah dalam kondisi akut.

"Ini akan menimbulkan krisis akibat kepadatan atau dikenal sebagai overcrowding," paparnya.

ICJR melihat walaupun beberapa kebijakan kriminal telah berupaya mengurangi jumlah asupan narapidana ke penjara, seperti dalam kebijakan Mahkamah Agung melalui Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2/2012 yang menaikkan batas minimal tindak pidana ringan dari Rp250 ribu menjadi Rp2.500.000 dengan tujuan utama dari PERMA ini adalah untuk mengurangi jumlah tahanan yang dirasakan berlebih.

Maupun kebijakan rehabilitasi dalam korban pengguna narkotika. Namun, ujar dia, kebijakan tersebut belum memberikan kontribusi bagi masalah Lapas. Dia berpendapat, masalah terbesar tetap berada pada tujuan pemidanaan di Indonesia yang masih kental dengan penjeraan dengan menggunakan pidana penjara.

"Misalnya melihat Rancangan KUHP yang sering disebut-sebut oleh Pemerintah, meskipun ada ketentuan kerja sosial sebagai hukuman alternatif lain di luar pidana penjara, dalam hal jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari enam bulan," ungkapnya.
Dia menambahkan, yang menjadi soal adalah karena ancaman pidana penjara dalam RKUHP tergolong tinggi dan ketentuan ini sangat bergantung pada keputusan hakim untuk menjatuhkan pidana dibawah enam bulan, yang juga bergantung pada tuntutan dari Jaksa.

Secara teknis dan praktik, hakim akan susah menjatuhkan pidana rendah di bawah enam bulan, apabila Jaksa menuntut pidana penjara tinggi, yang juga bergantung pada ancaman pidana dalam undang-undang. Atas situasi ini ICJR mendorong pemerintah melakukan evaluasi yang serius atas kebijakan pemidanaan di Indonesia, khususnya mengantisipasi overkapasitas untuk meminimalisir overcrowding dalam Lapas.

"Tindakan untuk situasi yang cepat juga dibutuhkan untuk memprioritas penanganan pada sejumlah lapas-lapas besar yang mengalami kelebihan penghuni," imbuhnya.

Diketahui, sepanjang tahun ini, kerusuhan di dalam LP terjadi beruntun sejak Januari 2017 dan memuncak pada kasus kerusuhan serta kaburnya sejumlah tahanan dari LP Sialang Bungkuk, Pekanbaru, Riau, Jumat 5 Mei 2017 kemarin.

Sehari sebelumnya, atau pada Kamis 4 Mei 2017 sekitar pukul 15.30 WIB, LP Bentiring di Bengkulu juga dilanda kerusuhan, ketika ratusan narapidana terlibat bentrok fisik di dalam blok tindak pidana narkoba. Pada Kamis 2 Maret 2017, LP Jambi juga dilanda kerusuhan.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1699 seconds (0.1#10.140)