Arab Saudi Diyakini Butuh Peran RI dalam Perangi Terorisme
A
A
A
JAKARTA - Arab Saudi diyakini membutuhkan peran Indonesia dalam memerangi terorisme. Pasalnya, Arab Saudi menjadikan Polri sebagai mitra dalam memerangi terorisme dan radikalisme, sebagaimana kesepakatan yang ditandatangani langsung Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Kepala Kepolisian Kerajaan Arab Saudi Usman al Mughrij, di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu 1 Maret 2017.
Dengan kesepakatan yang dilakukan pada momen kunjungan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud, Arab Saudi diyakini secara tidak langsung mengingatkan Indonesia tentang betapa seriusnya ancaman terorisme masa kini.
Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengatakan, sebelum kesepakatan itu ditandatangani, Raja Salman juga telah mengutus Usman al Mughrij menemui Jenderal Tito di Jakarta pada Selasa 28 Februari 2017.
"Keduanya membahas strategi menangkal potensi ancaman terorisme," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Senin (6/3/2017).
Dari pertemuan itu, Indonesia dan Arab Saudi sepakat memerangi kejahatan lintas negara. Kata dia, ada belasan poin kesepakatan, tetapi prioritasnya adalah merespons terorisme masa kini. Seperti dikemukakan Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Osama Mohammad Abdullah Alshuaibi, yang terpenting adalah kesepakatan memerangi ISIS.
Karena itu, Polri dan Kepolisian Kerajaan Arab Saudi merumuskan strategi memerangi terorisme dan pendanaannya. "Pilihan Arab Saudi untuk menjadikan Polri sebagai mitra mencerminkan kepercayaan dan pengakuan akan kompetensi dan kualifikasi Polri memerangi terorisme," katanya.
Dia mengatakan, kerja sama Polri dengan Kepolisian Kerajaan Arab Saudi tampak jelas masuk dalam prioritas Raja Salman, karena dokumen nota kesepahamann kepolisian kedua negara itu termasuk dalam 11 nota kesepahaman yang sudah disiapkan untuk ditantangani para pejabat kedua negara.
Apalagi, momen penandatanganannya disaksikan langsung oleh Raja Salman dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dia menambahkan, ketika berpidato di DPR pada Kamis 4 Maret 2017 pun Raja Salman menekankan pentingnya kerjasama menghadapi terorisme.
"Kesepakatan itu sangat penting dan strategis bagi kedua negara," tuturnya.
Sebab, Indonesia terus dibayangi ancaman terorisme. Sedangkan Arab Saudi juga pernah menjadi target serangan teroris, sebagaimana tercermin dari peristiwa tiga serangan bom bunuh diri pada Juli 2016, salah satunya terjadi di dekat Masjid Nabawi, Madinah.
Dia berharap, alasan serta pertimbangan dibalik Kesepakatan Polri dan Kepolisian Kerajaan Arab Saudi ini bisa menginsipirasi DPR dalam merevisi Undang-undang (UU) Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sebab, Arab Saudi telah mengingatkan betapa seriusnya ancaman terorisme masa kini.
"Selain itu, dengan menjadikan Polri sebagai mitra, Arab Saudi juga ingin menegaskan bahwa komunitas internasional sangat mengharapkan peran signifikan Indonesia dalam merespons jaringan ISIS, karena Polri memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk pekerjaan itu," kata politikus Partai Golkar ini.
Dengan begitu kata dia, cukup alasan jika revisi UU pemberantasan terorisme memberi akses bagi perluasan wewenang dan keleluasaan negara menindak siapa saja yang terindikasi sebagai teroris. Kata dia, negara butuh wewenang besar dan keleluasaan, karena ancaman terorisme akan selalu ada untuk rentang waktu yang sulit diprediksi.
Lagi pula lanjut dia, teroris masa kini terus mengembangkan kemampuan sejalan dengan perkembangan teknologi modern, serta mampu membentuk sindikasi melalui bentang jaringan di berbagai negara.
"Untuk mengantisipasi masa depan ancaman terorisme itu, Indonesia harus terus memperkuat unit-unit antiteror seperti Densus 88," pungkasnya.
Dengan kesepakatan yang dilakukan pada momen kunjungan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud, Arab Saudi diyakini secara tidak langsung mengingatkan Indonesia tentang betapa seriusnya ancaman terorisme masa kini.
Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengatakan, sebelum kesepakatan itu ditandatangani, Raja Salman juga telah mengutus Usman al Mughrij menemui Jenderal Tito di Jakarta pada Selasa 28 Februari 2017.
"Keduanya membahas strategi menangkal potensi ancaman terorisme," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Senin (6/3/2017).
Dari pertemuan itu, Indonesia dan Arab Saudi sepakat memerangi kejahatan lintas negara. Kata dia, ada belasan poin kesepakatan, tetapi prioritasnya adalah merespons terorisme masa kini. Seperti dikemukakan Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Osama Mohammad Abdullah Alshuaibi, yang terpenting adalah kesepakatan memerangi ISIS.
Karena itu, Polri dan Kepolisian Kerajaan Arab Saudi merumuskan strategi memerangi terorisme dan pendanaannya. "Pilihan Arab Saudi untuk menjadikan Polri sebagai mitra mencerminkan kepercayaan dan pengakuan akan kompetensi dan kualifikasi Polri memerangi terorisme," katanya.
Dia mengatakan, kerja sama Polri dengan Kepolisian Kerajaan Arab Saudi tampak jelas masuk dalam prioritas Raja Salman, karena dokumen nota kesepahamann kepolisian kedua negara itu termasuk dalam 11 nota kesepahaman yang sudah disiapkan untuk ditantangani para pejabat kedua negara.
Apalagi, momen penandatanganannya disaksikan langsung oleh Raja Salman dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dia menambahkan, ketika berpidato di DPR pada Kamis 4 Maret 2017 pun Raja Salman menekankan pentingnya kerjasama menghadapi terorisme.
"Kesepakatan itu sangat penting dan strategis bagi kedua negara," tuturnya.
Sebab, Indonesia terus dibayangi ancaman terorisme. Sedangkan Arab Saudi juga pernah menjadi target serangan teroris, sebagaimana tercermin dari peristiwa tiga serangan bom bunuh diri pada Juli 2016, salah satunya terjadi di dekat Masjid Nabawi, Madinah.
Dia berharap, alasan serta pertimbangan dibalik Kesepakatan Polri dan Kepolisian Kerajaan Arab Saudi ini bisa menginsipirasi DPR dalam merevisi Undang-undang (UU) Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sebab, Arab Saudi telah mengingatkan betapa seriusnya ancaman terorisme masa kini.
"Selain itu, dengan menjadikan Polri sebagai mitra, Arab Saudi juga ingin menegaskan bahwa komunitas internasional sangat mengharapkan peran signifikan Indonesia dalam merespons jaringan ISIS, karena Polri memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk pekerjaan itu," kata politikus Partai Golkar ini.
Dengan begitu kata dia, cukup alasan jika revisi UU pemberantasan terorisme memberi akses bagi perluasan wewenang dan keleluasaan negara menindak siapa saja yang terindikasi sebagai teroris. Kata dia, negara butuh wewenang besar dan keleluasaan, karena ancaman terorisme akan selalu ada untuk rentang waktu yang sulit diprediksi.
Lagi pula lanjut dia, teroris masa kini terus mengembangkan kemampuan sejalan dengan perkembangan teknologi modern, serta mampu membentuk sindikasi melalui bentang jaringan di berbagai negara.
"Untuk mengantisipasi masa depan ancaman terorisme itu, Indonesia harus terus memperkuat unit-unit antiteror seperti Densus 88," pungkasnya.
(maf)