Menuju Panglima GAM Aceh Timur, Mata Sandera Ditutup
A
A
A
INI cerita Fery Santoro, juru kamera RCTI yang ikut disandera GAM. Dalam bukunya berjudul Pengalaman Fery Santoro, Antara Hidup dan Mati Selama 325 Hari Bersama GAM’. Meski Fery disandera bersama Ersa Siregar reporter senior RCTI, Rahmatsyah sopir rental mobil yang disewa kru bersama Safrida dan Soraya, kakak beradik istri TNI. Tapi, mereka dipisah satu sama lain hingga hari pembebasan mereka.
Saya bergabung RCTI 1993, setelah mendalami jurnalistik pertelevisian di Yogyajakarta. Semula Fery bertugas sebagai juru kamera di studio. Mendorong-dorong kamera, sesekali memanggul kamera guna mendapatkan sudut pengambilan yang bagus. Jadi, setiap hari tugas saya menangani kamera di studio, baik siaran berita maupun lainnya. Baik langsung maupun taping di studio.
Karena sudah dianggap matang, maka Pemred RCTI saat itu Pak Yanto Sugiarto memberi kesempatan Fery bergabung dengan tim ENG (Elektronic News Gathering) yang bertugas di lapangan. Setelah bergabung ENG setahun, Fery pun ditugaskan meliput konflik di Aceh.
RCTI sendiri mengirim tim lengkap ke Aceh. Beberapa repoter, teknisi, dan juru kamera. Juga peralatan siaran berton-ton diangkut dari Jakarta menuju Bandara Malikul Saleh, Lhokseumawe, Aceh Utara yang menjadi home base kru RCTI selama meliput konflik Aceh.
Fery sendiri meliput ke Aceh sebagai kru pengganti juru kamera yang secara bergantian bertugas di Aceh. Fery dkk tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda, 27 Juni 2003. Menginap sehari di Banda Aceh. Bersama juru kamera RCTI yang sudah lebih dulu bertugas di Aceh, kami mengobrol dan bertukar informasi demi kelancaran tugas.
Saya mendapatkan briefing dari juru kamera yang akan saya gantikan. Esoknya, baru melanjutkan perjalanan darat ke Lhokseumawe selepas Subuh. Sepanjang perjalanan Banda Aceh-Lhokseumawe sekitar enam jam jalan-jalan yang dilalui sepi. Tiba, di Lhokseumawe, saya langsung melapor Ersa Siregar, reporter senior RCTI.
Esoknya, 29 Juni 2003 langsung diajak Ersa meliput. “Kita berangkat Fer,” ajak Ersa. “Kemana,Pak,” tanya saya. “Ke Bayeun,” terang Ersa. Selain saya, Pak Ersa, dan sopir rental Rahmatsyah. Masih ada dua wanita yang ikut. Yakni, kakak beradik Safrida dan Soraya, anak pemilik rumah yang disewa kru RCTI selama bertugas di Aceh Utara.
Safrida istri Letkol TNI AU Ashari, sedangkan Soraya bersuamikan Lettu TNI AU Agung Budi. Mereka ke Aceh menjenguk ibunya yang sakit. Meski keikutsertaan dua perempuan itu untuk memberi bantuan pakaian ke para pengungsi tapi hati saya kurang sreg. Saya khawatir kalau terjadi apa-apa, bukan saja mereka yang susah, kami juga akan repot.
Benar saja, sehabis pulang liputan di lokasi pengungsian Bayeun, mobil kami dicegat milisi GAM. Kami pun langsung disandera. (Soal kronologis penyanderaan sudah ditulis di awal tulisan ini)
Sejak itu, kami rombongan sandera dibawa dengan todongan senjata GAM diajak berkelana dari satu wilayah ke wilayah lain. Masuk perkampungan, hutan belantara, rawa-rawa, masuk hutan lebat, hutan bakau, naik turun bukit. Kadang dibonceng sepeda motor, naik perahu tapi lebih banyak jalan kaki.
Semua untuk menghindari kejaran TNI. Sehari bisa berjalan belasan kilometer dengan medan berat bahkan bisa 35 kilometer. Tak peduli siang, pagi maupun malam hari. Apalagi, kalau sedang diburu TNI, kami dipaksa berjalan siang malam. Bentakan, cacian bahkan ancaman anggota GAM terus mengiringi langkah para sandera.
Mereka terus memaksa jalan meski kadang dua hari tidak makan. Hanya minum dan makan roti keras secukupnya karena tiadanya kosumsi. Ada perilaku orang-orang GAM yang tidak saya pahami. Kalau mau istirahat dan makan barangkali lebih enak di kampung karena ada warung, ada orang yang dimintai tolong kalau perlu apa-apa. Tapi, mereka justru berhenti di tengah jalan yang jauh dari kampung sekadar makan dan salat.
Ada kesan GAM takut sama penduduk setempat atau warga Aceh sendiri. Bertambah kuatlah dugaan saya bahwa perjuangan GAM tidak sepenuhnya didukung rakyat Aceh.
Anak anak muda itu betul-betul terbius “angin surga” yang ditiupkan kelompok elite GAM untuk memenuhi ambisinya. Saat istirahat itulah komandan wilayah GAM yang bersama kami membolehkan sandera menelepon keluarganya. Rupanya ada anggota GAM yang khusus membawa telepon satelit. Sebab, HP biasa tidak bisa digunakan karena masuk areal blank spot.
Para sandera juga diwajibkan mengisi buku semacam biodata lengkap. Dari situlah para sandera diinterogasi satu-satu. Tujuannya, untuk memastikan apakah mereka mata-mata TNI atau tidak.
3 Juli 2003, rombongan sandera dibawa menuju markas Ishak Daud, Panglima GAM Aceh Timur yang membawahi sandera. Jalan kurang lebih 30 kilometer dengan medan berat.
Jangan ditanya capeknya. Menjelang tiba di markas Ishak Daud atau biasa disapa Abu Ci beberapa kilometer lagi, mata sandera ditutup lalu dibonceng motor.
Ini cukup berbahaya karena motor lari kencang, tapi yang dibonceng tidak bisa menyesuaikan laju motor guna menjaga keseimbangan karena mata ditutup.
Sampai di markas Ishak Daud hari sudah menjelang malam. Banyak anggota GAM anggota TNA (Tentara Nasional Aceh atau tentaranya GAM). Karena malam gelap, wajah mereka tidak kelihatan karena penerangan seadanya.
Para sandera pun diinterogasi lagi. Bahkan saya sempat juga ditanya-tanya anggota GAM lainnya, tentang nama, asal. Merinding buluk kuduk saya. Perasaan takut dan was-was menghantui saya. Dalam pikiran saya pasti mau “dikerjai” lagi. Apalagi, saya sandera satu-satunya orang Jawa. Mati aku! Bakal dicap sebagai penjajah.
Pertanyaan yang meluncur dari seorang interogator mengulang pertanyaan sebelumnya. Selesai dicatat, kami digiring menuju gubuk. Sandera dikawal anggota GAM bersenjata. Di situ kami ditanya nama, asal daerah dan suku. Rasisme, benar-benar telah tertanam dalam diri orang-orang GAM.
Tentu saja saya tidak berkomentar atas penilaian anggota GAM. Sebab, mereka bersenjata bisa menembak para sandera. Kesan arogan menjadi biasa, sebagai dampak psikologis mereka yang berkuasa apalagi memegang senjata. Ada yang bertanya dengan nada mengancam karena tahu saya berasal dari suku Jawa.
Rumor yang selama ini saya dengar bahwa orang Aceh sangat membenci dengan orang Jawa, bisa saya rasakan selama menjadi tawanan GAM.
Kesan pertama, setelah beberapa hari ditawan GAM,TNA belum bisa dikatakan organisasi tentara yang solid. Lebih disebut gerombolan orang-orang bersenjata.
Semua menjadi komandan, semua ingin jadi pemimpin. Rasanya, sulit dikembangkan menjadi tentara profesional karena umumnya anggotanya berpendidikan rendah bahkan tidak sekolah, atau hanya belajar mengaji.
Mereka tidak lebih sebagai pion pemimpin GAM di Swedia sana. Kasihan juga anak-anak muda usia produktif tersesat, menderita di atas kesenangan orang lain.
Pemimpin GAM di Swedia menikmati kehidupan mewah,karena menerima kucuran dana charity, sedangkan tentara GAM yang umumnya masih muda kehilangan masa depan, menjadi petualang di tengah hutan.
Maka, tidak heran sebagain di antara mereka stres berat itu melampiaskan kemarahan pada orang lain, atau suku lain. Sebuah gerakan rasisme dari balik hutan belantara Aceh. Sangat muda menyulut kecemburuan sosial untuk menanamkan kebencian terhadap orang Jawa. Setidaknya itu terlihat dari perlakuan mereka kepada saya sebagai sandera.
Hal itu mungkin tidak terlihat di kalangan elite GAM karena dibungkus masalah HAM, kemiskinan dan seterusnya. Mendadak ada anggota muda GAM mendekati dan mengancam. “Kamu tidak bisa hidup lagi hai..orang Jawa! Takut mati enggak,” bentaknya seraya memepet saya. Dengan tenang saya jawab, “Takut”.
Dia makin menjadi-jadi ngomongnya, sementara saya hanya bisa diam dan pucat. Saya pasrah pada Yang Kuasa. Kebencian anggota GAM terhadap orang Jawa demikian jelasnya, karena di antara tawanan, saya sendiri yang berasal dari etnis Jawa.
Beda perlakuan mereka terhadap Ersa (Batak), Safrida-Soraya maupun Rahmatsyah yang asal Aceh. Tokoh yang ditunggu akhirnya muncul. Ishak Daud atau Abu Ci, Panglima Operasi GAM Wilayah Aceh Timur. Tutur katanya sopan, penampilannya bersih, berbeda dengan anggota GAM lainnya. Sepertinya, ada kearifan dalam dirinya. Mungkin karena itu dia disegani anak buahnya.
“Besok pagi kalian akan saya bebaskan,” kata Ishak Daud. Saya senang mendengarnya. “Mudah-mudahan, antara kata dan perbuatan sama,” batin saya. Malam itu, tawanan digiring jalan seharian untuk mencari tempat lebih aman. Malam itu sandera diinapkan di gubuk di tengah hutan.
Suatu pagi, setelah makan terlibat obrolan sandera dengan pasukan GAM. Mereka menyatakan, apa yang sebenarnya terjadi di Aceh adalah perlakuan TNI dan pemerintah pusat terhadap masyarakat Aceh.
Kalau menyangkut politik, Ersa lebih piawai meladeni mereka. Obrolan begini bisa sampai larut malam. Ternyata hasilnya positif. Sebab, anggota GAM yang mulanya kasar terhadap saya berubah menjadi baik. Mungkin pengaruh kehadiran Ishak Daud.
Pagi hari, Ishak mendatangi para sandera. “Kalian mandi dulu. Nanti siang pukul 14.30 WIB kawan-kawan akan datang,” jelas Ishak santun. Ada RCTI, Kompas, TV 7, Kompas, Indosiar.
Imam wahyudi dan Munir dari RCTI sempat bernegoisasi dengan Ishak Daud agar segera membebaskan sandera. Tapi, gagal dengan alasan sederhana, para sandera belum diproses.
Sandera pun diajak berkelana menghindari kejaran TNI. Bahkan di tengah perjalanan rombongan dihentikan. Ada pers lagi yang mau wawancara. Ersa diwawancara radio jaringan luar negeri. BBC atau Radio Netherlands. Saya kurang paham.
GAM memanfaatkan benar keberadan radio asing untuk publisitas mereka. Apalagi siaran dengan Bahasa Indonesia juga direlay radio FM di kota-kota penting Indonesia.
Ketika tawanan melewati kampung, jalanan begitu sepi. Tidak ada aktivitas masyarakat. Padahal, rumah cukup banyak. Tapi, rumah umumnya kosong ditinggal pemiliknya.
Ada rumah yang kelihatannya sengaja dirusak, sekolah dibakar. Kata GAM, TNI telah merusak semua itu, termasuk membakar sekolah. Enteng kali GAM menuduh TNI.
Kalau dipikir akal sehat, benarkah TNI yang membakar barang-barang milik rakyat? Karena posisi kami tidak menguntungkan sebagai sandera, kami hanya bisa mengiyakan.
Apalagi, GAM tidak menyebutkan kesatuan TNI yang membakar. Bisa jadi yang membakar orang GAM sendiri untuk mendeskreditkan TNI. GAM bisa menggunakan seragam TNI.
Apalagi, rakyat banyak meninggalkan kampung halamannya, bahkan rumah untuk mengungsi ke tempat lebih aman. Pasti lah ini dilakukan untuk menghindari intimidasi GAM yang selalu memeras penduduk dengan dalih harus membayar pajak Nanggroe. Ah, itu urusan mereka. Yang saya pikirkan, kapan bisa bebas.
Setelah naik perahu berjam-jam tibalah di areal pertambakan yang ditinggalkan penduduknya. Di situ kami berkemah.
Esoknya, disuguhi kedondong bakar. Kata mereka bisa menghilangkan rematik dan menambah stamina. Kali ini semua sandera diperiksa lagi. Interogatornya seorang Tengku. Semua pertanyaan seputar penangkapan tawanan. Saya jawab seadanya. Tidak kurang, tidak lebih.
Kemudian Tengku menjelaskan, bahwa GAM tidak benci kepada orang Jawa. Bukan individu yang jadi musuh mereka. Tenang hati saya mendengarnya. Tapi, tetap takut karena anggota GAM yang lain belum tentu pikiranya sama dengan Tengku. “Pemerintah dan rezim Jawa itu lah yang kami benci,” ungkap Tengku.
Tentang ketidakadilan dialami orang Aceh mereka menuduh karena sepak terjang orang Jawa. Karena itu, orang Aceh benci terhadap orang Jawa. Tengku juga bercerita latar belakang kenapa Aceh sempat memberontak terhadap Republik ini yang ikut mereka dirikan. “Pemerintah RI tidak ada keadilan dan semena-mena terhadap rakyat Aceh,” tutur Tengku berang.
Tapi, jika dicermati, sebenarnya rakyat Aceh sendiri yang tidak mau mengambil kesempatan dan memanfaatkan peluang menjadi besar di negeri ini. Lihatlah, banyak tokoh Aceh yang menjadi orang besar dan sukses di negeri ini. Di zaman Soekarno ada Markam dan Karkam. Di zaman Soeharto ada tokoh kaka beradik Aceh yang jadi pejabat. Syarif Thayeb menjadi Jenderal dan Mendikbud. Sedangkan adiknya Hadi Thayib menjadi Dubes.
Ada Abdullah Puteh, tokoh Golkar yang juga mantan Gubernur Aceh, ada Abdul rahman, Mantan Dirut PT Timah dan Pertamina, ada KH Fakhrudin tokoh HMI. Ada Surya Paloh, konglomerasi media sekaligus pemilik Metro TV.
Banyak menteri, mantan menteri, tokoh politik dan pejabat dari Aceh kini menjabat di pemerintahan Jokowi. Belum lagi pengamat hukum, sosial, dan politik nasional. Ada Ferry Mursidan Baldan mantan menteri, ahli hukum Prof Ismail Sunni.
Saya bergabung RCTI 1993, setelah mendalami jurnalistik pertelevisian di Yogyajakarta. Semula Fery bertugas sebagai juru kamera di studio. Mendorong-dorong kamera, sesekali memanggul kamera guna mendapatkan sudut pengambilan yang bagus. Jadi, setiap hari tugas saya menangani kamera di studio, baik siaran berita maupun lainnya. Baik langsung maupun taping di studio.
Karena sudah dianggap matang, maka Pemred RCTI saat itu Pak Yanto Sugiarto memberi kesempatan Fery bergabung dengan tim ENG (Elektronic News Gathering) yang bertugas di lapangan. Setelah bergabung ENG setahun, Fery pun ditugaskan meliput konflik di Aceh.
RCTI sendiri mengirim tim lengkap ke Aceh. Beberapa repoter, teknisi, dan juru kamera. Juga peralatan siaran berton-ton diangkut dari Jakarta menuju Bandara Malikul Saleh, Lhokseumawe, Aceh Utara yang menjadi home base kru RCTI selama meliput konflik Aceh.
Fery sendiri meliput ke Aceh sebagai kru pengganti juru kamera yang secara bergantian bertugas di Aceh. Fery dkk tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda, 27 Juni 2003. Menginap sehari di Banda Aceh. Bersama juru kamera RCTI yang sudah lebih dulu bertugas di Aceh, kami mengobrol dan bertukar informasi demi kelancaran tugas.
Saya mendapatkan briefing dari juru kamera yang akan saya gantikan. Esoknya, baru melanjutkan perjalanan darat ke Lhokseumawe selepas Subuh. Sepanjang perjalanan Banda Aceh-Lhokseumawe sekitar enam jam jalan-jalan yang dilalui sepi. Tiba, di Lhokseumawe, saya langsung melapor Ersa Siregar, reporter senior RCTI.
Esoknya, 29 Juni 2003 langsung diajak Ersa meliput. “Kita berangkat Fer,” ajak Ersa. “Kemana,Pak,” tanya saya. “Ke Bayeun,” terang Ersa. Selain saya, Pak Ersa, dan sopir rental Rahmatsyah. Masih ada dua wanita yang ikut. Yakni, kakak beradik Safrida dan Soraya, anak pemilik rumah yang disewa kru RCTI selama bertugas di Aceh Utara.
Safrida istri Letkol TNI AU Ashari, sedangkan Soraya bersuamikan Lettu TNI AU Agung Budi. Mereka ke Aceh menjenguk ibunya yang sakit. Meski keikutsertaan dua perempuan itu untuk memberi bantuan pakaian ke para pengungsi tapi hati saya kurang sreg. Saya khawatir kalau terjadi apa-apa, bukan saja mereka yang susah, kami juga akan repot.
Benar saja, sehabis pulang liputan di lokasi pengungsian Bayeun, mobil kami dicegat milisi GAM. Kami pun langsung disandera. (Soal kronologis penyanderaan sudah ditulis di awal tulisan ini)
Sejak itu, kami rombongan sandera dibawa dengan todongan senjata GAM diajak berkelana dari satu wilayah ke wilayah lain. Masuk perkampungan, hutan belantara, rawa-rawa, masuk hutan lebat, hutan bakau, naik turun bukit. Kadang dibonceng sepeda motor, naik perahu tapi lebih banyak jalan kaki.
Semua untuk menghindari kejaran TNI. Sehari bisa berjalan belasan kilometer dengan medan berat bahkan bisa 35 kilometer. Tak peduli siang, pagi maupun malam hari. Apalagi, kalau sedang diburu TNI, kami dipaksa berjalan siang malam. Bentakan, cacian bahkan ancaman anggota GAM terus mengiringi langkah para sandera.
Mereka terus memaksa jalan meski kadang dua hari tidak makan. Hanya minum dan makan roti keras secukupnya karena tiadanya kosumsi. Ada perilaku orang-orang GAM yang tidak saya pahami. Kalau mau istirahat dan makan barangkali lebih enak di kampung karena ada warung, ada orang yang dimintai tolong kalau perlu apa-apa. Tapi, mereka justru berhenti di tengah jalan yang jauh dari kampung sekadar makan dan salat.
Ada kesan GAM takut sama penduduk setempat atau warga Aceh sendiri. Bertambah kuatlah dugaan saya bahwa perjuangan GAM tidak sepenuhnya didukung rakyat Aceh.
Anak anak muda itu betul-betul terbius “angin surga” yang ditiupkan kelompok elite GAM untuk memenuhi ambisinya. Saat istirahat itulah komandan wilayah GAM yang bersama kami membolehkan sandera menelepon keluarganya. Rupanya ada anggota GAM yang khusus membawa telepon satelit. Sebab, HP biasa tidak bisa digunakan karena masuk areal blank spot.
Para sandera juga diwajibkan mengisi buku semacam biodata lengkap. Dari situlah para sandera diinterogasi satu-satu. Tujuannya, untuk memastikan apakah mereka mata-mata TNI atau tidak.
3 Juli 2003, rombongan sandera dibawa menuju markas Ishak Daud, Panglima GAM Aceh Timur yang membawahi sandera. Jalan kurang lebih 30 kilometer dengan medan berat.
Jangan ditanya capeknya. Menjelang tiba di markas Ishak Daud atau biasa disapa Abu Ci beberapa kilometer lagi, mata sandera ditutup lalu dibonceng motor.
Ini cukup berbahaya karena motor lari kencang, tapi yang dibonceng tidak bisa menyesuaikan laju motor guna menjaga keseimbangan karena mata ditutup.
Sampai di markas Ishak Daud hari sudah menjelang malam. Banyak anggota GAM anggota TNA (Tentara Nasional Aceh atau tentaranya GAM). Karena malam gelap, wajah mereka tidak kelihatan karena penerangan seadanya.
Para sandera pun diinterogasi lagi. Bahkan saya sempat juga ditanya-tanya anggota GAM lainnya, tentang nama, asal. Merinding buluk kuduk saya. Perasaan takut dan was-was menghantui saya. Dalam pikiran saya pasti mau “dikerjai” lagi. Apalagi, saya sandera satu-satunya orang Jawa. Mati aku! Bakal dicap sebagai penjajah.
Pertanyaan yang meluncur dari seorang interogator mengulang pertanyaan sebelumnya. Selesai dicatat, kami digiring menuju gubuk. Sandera dikawal anggota GAM bersenjata. Di situ kami ditanya nama, asal daerah dan suku. Rasisme, benar-benar telah tertanam dalam diri orang-orang GAM.
Tentu saja saya tidak berkomentar atas penilaian anggota GAM. Sebab, mereka bersenjata bisa menembak para sandera. Kesan arogan menjadi biasa, sebagai dampak psikologis mereka yang berkuasa apalagi memegang senjata. Ada yang bertanya dengan nada mengancam karena tahu saya berasal dari suku Jawa.
Rumor yang selama ini saya dengar bahwa orang Aceh sangat membenci dengan orang Jawa, bisa saya rasakan selama menjadi tawanan GAM.
Kesan pertama, setelah beberapa hari ditawan GAM,TNA belum bisa dikatakan organisasi tentara yang solid. Lebih disebut gerombolan orang-orang bersenjata.
Semua menjadi komandan, semua ingin jadi pemimpin. Rasanya, sulit dikembangkan menjadi tentara profesional karena umumnya anggotanya berpendidikan rendah bahkan tidak sekolah, atau hanya belajar mengaji.
Mereka tidak lebih sebagai pion pemimpin GAM di Swedia sana. Kasihan juga anak-anak muda usia produktif tersesat, menderita di atas kesenangan orang lain.
Pemimpin GAM di Swedia menikmati kehidupan mewah,karena menerima kucuran dana charity, sedangkan tentara GAM yang umumnya masih muda kehilangan masa depan, menjadi petualang di tengah hutan.
Maka, tidak heran sebagain di antara mereka stres berat itu melampiaskan kemarahan pada orang lain, atau suku lain. Sebuah gerakan rasisme dari balik hutan belantara Aceh. Sangat muda menyulut kecemburuan sosial untuk menanamkan kebencian terhadap orang Jawa. Setidaknya itu terlihat dari perlakuan mereka kepada saya sebagai sandera.
Hal itu mungkin tidak terlihat di kalangan elite GAM karena dibungkus masalah HAM, kemiskinan dan seterusnya. Mendadak ada anggota muda GAM mendekati dan mengancam. “Kamu tidak bisa hidup lagi hai..orang Jawa! Takut mati enggak,” bentaknya seraya memepet saya. Dengan tenang saya jawab, “Takut”.
Dia makin menjadi-jadi ngomongnya, sementara saya hanya bisa diam dan pucat. Saya pasrah pada Yang Kuasa. Kebencian anggota GAM terhadap orang Jawa demikian jelasnya, karena di antara tawanan, saya sendiri yang berasal dari etnis Jawa.
Beda perlakuan mereka terhadap Ersa (Batak), Safrida-Soraya maupun Rahmatsyah yang asal Aceh. Tokoh yang ditunggu akhirnya muncul. Ishak Daud atau Abu Ci, Panglima Operasi GAM Wilayah Aceh Timur. Tutur katanya sopan, penampilannya bersih, berbeda dengan anggota GAM lainnya. Sepertinya, ada kearifan dalam dirinya. Mungkin karena itu dia disegani anak buahnya.
“Besok pagi kalian akan saya bebaskan,” kata Ishak Daud. Saya senang mendengarnya. “Mudah-mudahan, antara kata dan perbuatan sama,” batin saya. Malam itu, tawanan digiring jalan seharian untuk mencari tempat lebih aman. Malam itu sandera diinapkan di gubuk di tengah hutan.
Suatu pagi, setelah makan terlibat obrolan sandera dengan pasukan GAM. Mereka menyatakan, apa yang sebenarnya terjadi di Aceh adalah perlakuan TNI dan pemerintah pusat terhadap masyarakat Aceh.
Kalau menyangkut politik, Ersa lebih piawai meladeni mereka. Obrolan begini bisa sampai larut malam. Ternyata hasilnya positif. Sebab, anggota GAM yang mulanya kasar terhadap saya berubah menjadi baik. Mungkin pengaruh kehadiran Ishak Daud.
Pagi hari, Ishak mendatangi para sandera. “Kalian mandi dulu. Nanti siang pukul 14.30 WIB kawan-kawan akan datang,” jelas Ishak santun. Ada RCTI, Kompas, TV 7, Kompas, Indosiar.
Imam wahyudi dan Munir dari RCTI sempat bernegoisasi dengan Ishak Daud agar segera membebaskan sandera. Tapi, gagal dengan alasan sederhana, para sandera belum diproses.
Sandera pun diajak berkelana menghindari kejaran TNI. Bahkan di tengah perjalanan rombongan dihentikan. Ada pers lagi yang mau wawancara. Ersa diwawancara radio jaringan luar negeri. BBC atau Radio Netherlands. Saya kurang paham.
GAM memanfaatkan benar keberadan radio asing untuk publisitas mereka. Apalagi siaran dengan Bahasa Indonesia juga direlay radio FM di kota-kota penting Indonesia.
Ketika tawanan melewati kampung, jalanan begitu sepi. Tidak ada aktivitas masyarakat. Padahal, rumah cukup banyak. Tapi, rumah umumnya kosong ditinggal pemiliknya.
Ada rumah yang kelihatannya sengaja dirusak, sekolah dibakar. Kata GAM, TNI telah merusak semua itu, termasuk membakar sekolah. Enteng kali GAM menuduh TNI.
Kalau dipikir akal sehat, benarkah TNI yang membakar barang-barang milik rakyat? Karena posisi kami tidak menguntungkan sebagai sandera, kami hanya bisa mengiyakan.
Apalagi, GAM tidak menyebutkan kesatuan TNI yang membakar. Bisa jadi yang membakar orang GAM sendiri untuk mendeskreditkan TNI. GAM bisa menggunakan seragam TNI.
Apalagi, rakyat banyak meninggalkan kampung halamannya, bahkan rumah untuk mengungsi ke tempat lebih aman. Pasti lah ini dilakukan untuk menghindari intimidasi GAM yang selalu memeras penduduk dengan dalih harus membayar pajak Nanggroe. Ah, itu urusan mereka. Yang saya pikirkan, kapan bisa bebas.
Setelah naik perahu berjam-jam tibalah di areal pertambakan yang ditinggalkan penduduknya. Di situ kami berkemah.
Esoknya, disuguhi kedondong bakar. Kata mereka bisa menghilangkan rematik dan menambah stamina. Kali ini semua sandera diperiksa lagi. Interogatornya seorang Tengku. Semua pertanyaan seputar penangkapan tawanan. Saya jawab seadanya. Tidak kurang, tidak lebih.
Kemudian Tengku menjelaskan, bahwa GAM tidak benci kepada orang Jawa. Bukan individu yang jadi musuh mereka. Tenang hati saya mendengarnya. Tapi, tetap takut karena anggota GAM yang lain belum tentu pikiranya sama dengan Tengku. “Pemerintah dan rezim Jawa itu lah yang kami benci,” ungkap Tengku.
Tentang ketidakadilan dialami orang Aceh mereka menuduh karena sepak terjang orang Jawa. Karena itu, orang Aceh benci terhadap orang Jawa. Tengku juga bercerita latar belakang kenapa Aceh sempat memberontak terhadap Republik ini yang ikut mereka dirikan. “Pemerintah RI tidak ada keadilan dan semena-mena terhadap rakyat Aceh,” tutur Tengku berang.
Tapi, jika dicermati, sebenarnya rakyat Aceh sendiri yang tidak mau mengambil kesempatan dan memanfaatkan peluang menjadi besar di negeri ini. Lihatlah, banyak tokoh Aceh yang menjadi orang besar dan sukses di negeri ini. Di zaman Soekarno ada Markam dan Karkam. Di zaman Soeharto ada tokoh kaka beradik Aceh yang jadi pejabat. Syarif Thayeb menjadi Jenderal dan Mendikbud. Sedangkan adiknya Hadi Thayib menjadi Dubes.
Ada Abdullah Puteh, tokoh Golkar yang juga mantan Gubernur Aceh, ada Abdul rahman, Mantan Dirut PT Timah dan Pertamina, ada KH Fakhrudin tokoh HMI. Ada Surya Paloh, konglomerasi media sekaligus pemilik Metro TV.
Banyak menteri, mantan menteri, tokoh politik dan pejabat dari Aceh kini menjabat di pemerintahan Jokowi. Belum lagi pengamat hukum, sosial, dan politik nasional. Ada Ferry Mursidan Baldan mantan menteri, ahli hukum Prof Ismail Sunni.
(kur)