Dituduh Mata-Mata TNI, Leher Terancam Dipenggal

Rabu, 21 Desember 2016 - 09:52 WIB
Dituduh Mata-Mata TNI,...
Dituduh Mata-Mata TNI, Leher Terancam Dipenggal
A A A
BELAKANGAN ini banyak pelaut Indonesia disandera kelompok Abu Sayyaf, pemberontak yang berbasis di Filipina Selatan saat mereka berlayar di kawasan perairan Philipina. Ada yang dibebaskan militer Filipina dalam operasi militer, ada yang bebas dengan membayar tebusan meski dilakukan secara diam-diam dan sebagaian lagi masih disandera.

Berikut penuturan Safrida dan Soraya, kakak adik yang disandera GAM bersama repoter RCTI Ersa Siregar dan juru kamera Fery Santoro beserta sopirnya Rahmatsyah.

Safrida dan Soraya menuturkan pengalamannya dalam buku Catatan Harian Sandera GAM, Kisah Nyata Safrida dan Soraya. Sedangkan Fery Santoro menuangkannya dalam buku berjudul Pengalaman Fery Santoro Antara Hidup dan Mati 325 hari bersama GAM yang ditulis oleh Jusuf Suroso dan Jaumat Dulhajah .
Sementara Adinda Arimbi Saraswati menulis pengalamannya dalam buku berjudul Sandera, 130 Hari Terperangkap di Mapduma yang ditulis Ray Rizal dan Nina Pane. Kisah itu dituangkan setelah Adinda atau Ade berhasil selamat dari sekapan penyanderaan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di hutan belantara Papua bersama rekan peneliti dari Indonesia, Inggris, Swedia dan Belanda pada 1996 silam.

Minggu sore, yang cerah bakda Ashar, 29 Juni 2003, itu mendadak berubah jadi gaduh saat mobil yang disopiri Ratmatsyah, warga Aceh dengan penumpang di dalamnya Ersa Siregar dan Fery Santoro, repoter dan juru kamera RCTI serta Safrida dan Soraya, kakak beradik istri perwira TNI mendadak dicegat gerombolan GAM saat melintas di jalan trans Sumatra Medan-Banda Aceh, tepatnya saat dari Aceh Timur menuju Aceh Utara.

"Tabrak" teriak Ersa, dengan suara tercekat. "Berhenti saja" pintaku (Safrida-red)spontan, sambil berusaha tenang. "Ohh. Kak, ada apa ini?" tanya Soraya yang duduk disampingku sambil memegangi tanganku. Kulihat, wajahnya pucat pasi. Sangat ketakutan.

"Tabrak" terik ulang Ersa. Nafasnya terengah-engah dan tubuhnya gemetaran."Berhenti!" kataku lebih tenang. Tak lama Ersa menyuruh Rahmatsyah, sopir mematikan mesin mobil berplat BK 1753 GD karena mendadak dicegat lima orang bersenjata api yang muncul tiba-tiba dari selokan.

Mereka juga menodongkan moncong senjata api ke arah penumpang. Mereka anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) duga Safrida yang belakangan ternyata benar.
Seketika itu juga tubuh Safrida gemetar dan jantungnya berdegup kencang. Mati aku! Kelima pemuda yang mencegat mobil umumnya berusia muda. Masih belasan tahun.

Penampilan mereka pun tergolong trendy. Layaknya pemuda kota umumnya."Tidak tampak sosok mereka sebagai seorang pemberontak berpakaian lusuh karena naik turun gunung," kata Safrida dalam bukunya Catatan Harian Sandera GAM, Kisah Nyata Safrida dan Soraya.

Safrida adalah ibu tiga anak bersuamikan seorang anggota TNI aktif yakni, Letkol TNI AU Ashari. Sedangkan adiknya Soraya juga bersuamikan seorang anggota
TNI aktif yakni, Lettu TNI AU Agung Budi. Kedatangan mereka ke Lhokseumae, Aceh Utara, untuk menjenguk ibunya yang lagi sakit. Safrida berdomisili di Surabaya mengikuti suaminya.

Meski panik, aku masih bisa mengamati tiga pemuda di depan mobil yang menyergap kami. Satu di antaranya bertubuh sedang, berkemeja putih lengan panjang digulung sampai siku, bercelana jeans.

Berkulit putih, berwajah bersih dengan sorot mata tajam menatap ke arah penumpang. Dia diapit pemuda jangkung dan satunya bertubuh pendek tapi berwajah garang.

Mereka benar-benar dalam posisi siap tembak."O,gawat Kak, gawat," bisik Soraya, adikku gemetar sambil memegangi tanganku. Dia duduk di sampingku, jok tengah.

"Ohhh," kudengar dengusan Fery Santoro. Juru kamera RCTI menarik nafas dalam-dalam. Dia duduk di jok belakang. Dalam hitungan detik, Fery sudah dikeluarkan dari mobil, lalu diseret pemuda berkaos putih tanpa lengan.

Ersa tampak tergopoh-gopoh. Rahmatsyah, sopir mobil juga ditarik ke luar dari mobil oleh pemuda jangkung. Wajah Rahmatsyah pucat pasi.
Pemuda itu merampas kunci mobil lalu mengambil alih kemudi. Duduk di sampingnya pemuda berkaos putih tanpa lengan.

Pemuda lainnya mendorong Ersa, Fery dan Rahmatsyah duduk di jok belakang dikawal seorang pemuda GAM. Dua pemuda merangsek ke jok tengah.
"Geser..geser," teriak dua pemuda tadi galak. Saya paham. Mereka pantang bersentuhan dengan tubuh lain jenis. Aku dan Soraya segera merapat.

Kedua pemuda itu mengambil jarak agar tubuhnya tidak berhimpitan dengan tubuh kami.Mereka lalu mengarahkan moncong senjatanya ke wajah kami berdua. Jadinya, kami takut bergerak.

Saat kelima pemuda GAM tadi beraksi, melintas beberapa mobil pribadi dan bus dekat kejadian. Tapi, tidak ada yang berani berhenti, turun apalagi menolong. Makanya, kami tak kuasa melawan saat mereka mnembawa pergi seisi penumpang tanpa tahu kemana arahnya.

Ketika mobil melaju, pemuda GAM yang di jok belakang memerintahkan ketiga sandera (Fery, Ersa dan Rahmatsyah) menutup mata. "Hai, kalian bertiga jongkok dan tutup mata dengan tangan kalian," perintahnya.

"Kalian juga harus tutup mata pakai selendang," teriak pemuda tadi kepada aku dan adikku Soraya. "Nutup matanya cepatt..," bentak pemuda GAM satunya.
Bersamaan itu kami merasakan mobil jalannya oleng. Salah satu pemuda GAM yang duduk di samping rekannya sopir kontan mengingatkan. "Hati-hati bawa mobilnya. Kalau celaka, kita mampus semua. Lihat di depan ada kantor polisi," ingatnya dalam bahasa Aceh. Aku dan adikku Soraya sebagai perempuan Aceh tentu paham.

Oh, di depan ada kantor polisi? Tubuhku mendadak gemetar tertekan perasaan bertentangan. Di satu sisi aku ingin berteriak minta tolong polisi tapi takut.
Begitu aku teriak, pemuda GAM pasti langsung menembak kepalaku. Di lain pihak polisi pasti menembaki pemuda GAM. Tak ayal terjadi saling tembak. Bisa-bisa kami di dalam mobil tewas semua. Benar-benar ngeri membayangkan semua itu.

Ersa Fery dan Rahmatsyah dalam posisi jongkok diam semua. Tapi, aku yakin perasaan mereka sama dengan kami. Diliputi ketakutan yang amat sangat.
Mobil lalu belok kiri. Kami rasakan jalannya tidak mulus lagi. Mungkin masuk perkampungan. Mobil berkali-kali oleng. Itu membuat rekan sopir GAM mengingatkan agar hati-hati.

Si sopir dalam bahasa Aceh mengakui tidak biasa menyopir mobil. Sedangkan keempat pemuda GAM lainnya tak bisa setir mobil.Pembicaraan itu membuatku panik, takut celaka. Mobil terbalik, atau menabrak pohon.

Mendadak seisi penumpang terhentak saat mobil berhenti. Tutup mata sandera pun dibuka. Saat itu sudah pukul 16.30 WIB. Sekitar kampung terhampar sawah
yang luas dan dipenuhi pohon bambu

Pemuda GAM berkaos putih menggiring sandera keluar mobil dengan sikap kasar. Semua sandera diminta menyerahkan tas, dompet, HP serta semua kartu indentitas. Safrida menyerahkan tasnya, tapi menyembunyuikan HP di saku celana.

Soraya tampak ketakutan karena dalam tasku berisi indentitas aku seorang istri anggota perwira TNI AU. Itu artinya nyawaku terancam karena TNI adalah musuh utama GAM. Tentu sebagai istri TNI akan terbawa-bawa dan dianggap musuh pula.

Tapi, Soraya meski istri anggota TNI tidak pernah membawa indentitasnya sebagai istri TNI. Karena Soraya paham benar terlalu berbahaya jika berada di Aceh. Apalagi, sejak diberlakukan darurat militer sejak 19 Mei 2003.

Safrida melihat Ersa, Fery, dan Rahmatsyah digiring ke belakang mobil. Ersa berusaha mencairkan suasana dengan mengajak ngobrol anggota GAM.
Ersa dan Rahmatsyah bersikap santai. Tapi, Fery tampak pucat dan berlindung di dekat Ersa. Saya paham karena Fery orang Jawa. Dan, GAM sangat membeci orang Jawa karena indentik dengan militer.

Rasa takut yang semula dirasakan Safrida akhirnya berganti pasrah kepada Allah. Apa yang terjadi pada diriku, terjadilah. Pemuda GAM yang belakangan diketahui bernama Rian. "Ada keperluan apa kamu datang ke sini (Aceh-red)," tanya Rian kepada saya dan Soraya.

Safrida pun menjawab sejujurnya," Saya orang Aceh. Lhokseumawe. Ini Soraya, adikku," kataku sejujurnya. Agar mereka yakin aku orang Aceh, maka aku lalu berbicara bahasa Aceh."Kamu mata-mata TNI," ujar teman Rian menyela.

"Bukan!," seru Safrida. "Kami bukan mata-mata," tambah Soraya mencoba meyakinkan. Kedua pemuda itu memandangi tajam Safrida dan Soraya. Mereka sepertinya tidak percaya begitu saja. "Apa yang kamu lakukan di sini," desak teman Rian.

"Aku dan adikku Soraya baru dari Bayeun, menjeguk para pengungsi di sana. Kami beri mereka pakaian. Mengobati beberapa pengungsi yang sakit. Kami ikut Bang Ersa, itu wartawan RCTI".

Kutunjuk Bang Ersa yang sedang diinterogasi teman-teman Rian yang lain. 'Dan, itu Feri juru kamera RCTI. Dan, Rahmatsyah, sopir mobil yang disewa RCTI," sambungku lebih rinci dengan harapan agar segera dibebaskan anggota GAM.
"Kami ke Bayeun berlima, Ersa, Fery, Rahmatsyah aku dan adikku Soraya". "Kenal di mana sama wartawan RCTI itu?" selidik Rian. Safrida menjawab," Bang Ersa dan Fery, kru RCTI tinggal di rumah kami, mengontrak sebagaian rumah ibu kami," paparku seraya menyebut alamat rumah ibuku di Lhokseumawe. "Oh ya begitu," tanggap teman Rian acuh seraya melengos.

Kami, para sandera dikumpulkan lalu semua isi tas, dompet dikembalikan. Si pemuda tadi menegaskan, tidak mengambil apa pun dari tas seraya menyebut barang-barang Safrida serta jumlah uang sekalian. Benar apa yang dikatakan. Yang membuat Safrida heran, mereka tidak tahu kalau saya seorang istri anggota TNI. Padahal, jelas-jelas di kartu indentitasku aku istri angota TNI.

Mengetahui itu, Soraya lega. Saya juga lega dan berpikir segera dibebaskan. Tapi, kenyataannya kami malah dijadikan sandera.
Mobil yang disewa RCTI ditinggal begitu saja di bawah rumpun pohon bambu. Mobil seminggu kemudian ditemukan TNI di perkebunan sawit dengan ditimbuni dahan dan ranting.

Sedangkan para sandera dibawa angota GAM lari keluar masuk hutan mencari tempat aman, menghindari kejaran TNI. "Kalian akan kami serahkan ke Panglima kami," jawab Rian.

Sikapnya cukup baik. "Kamu akan diadli karena mata-mata TNI," tambah teman Rian ketus. "Kamu akan kami hadapkan ke Panglima Sago (pimpina GAM setempat setingkat kecamatan,-red)," tambah pemuda GAM yang lain.

"Leher kamu akan dipotong, karena kamu mata-mata TNI," sambung pemuda GAM yang lain terus meneror para sandera. Mereka terus memandangi para sandera dengan mata melotot.

Soraya yang berjalan disamping kakaknya, Safrida amat ketakutan. Sebaliknya, Safrida yang merasa bukan mata-mata justru tidak takut tuduhan itu bahkan tertawa.
Itu membuat pemuda GAM tersingung dan bersiap memukul Safrida dengan ganggang senjata. Tapi, dicegah rekannya. Bang Ersa pun memberi isarat agar Safrida diam.

Sandera dipaksa berjalan cepat meski sebagaian kaki sandera lecet. Termasuk kaki Safrida yang baru ketimpa rolling door. Safrida makin stres mana kala teringat dalam kartu indentitas tercatat istri anggota TNI. Itu berbahaya dan bisa dibunuh GAM.

Maka, sebelum sampai ke Panglima Sago di atas bukit maka Safrida, berpura-pura minta izin buang air kecil lalu membuang kartu indentitasnya. Tapi, anggota GAM yang tahu suami Safrida anggota TNI menemukan kartu indentitas tadi dan mengembalikan pada Safrida. Ternyata anggota GAM yang memeriksa kali pertama tidak tahu kalau suami Safrida anggota TNI. Mungkin yang bersangkutan buta huruf.

Sandera oleh Rian dkk lalu diserahkan ke Pasukan Meja Hijau, bagian tempur. Rian dkk termasuk bagian pasukan ini. Kelak kuketahui, Pasukan Meja Hijau bagian operasional tugasnya mencari bahan makanan dan menculik mereka yang dicurigai sebagai mata-mata TNI. Tim penculik menugaskan bagian intel GAM untuk menemukan orang-orang yang dicurigai sebagai mata-mata TNI.
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1119 seconds (0.1#10.140)