Tak Penuhi Unsur Pornografi, Sampai Kapan Ongen Ditahan?
A
A
A
JAKARTA - Tuduhan polisi kepada Yulian Paonganan alias Ongen terkait dengan hastag #PapaDoyanLonte dan #PapaDoyanPaha terbantahkan dengan pernyataan para pakar, dimana tidak ada unsur pornografi dalam cuitan Ongen di Twitter.
Seperti diungkapkan oleh Guru Besar Bahasa dari Universitas Tadulako Palu Prof Hanafie Sulaiman dimana hastag yang dibuat Ongen di Twitter tidak ada unsur pornografi. "Apa yang katakan Ongen di Twitter soal kata lonte tidak memenuhi unsur pornografi, jadi tidak benar Ongen dijerat UU Pornografi," ujar Hanafie saat dihubungi wartawan, Selasa (1/3/2016).
Seperti dalam penjelasan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), lonte itu adalah perempuan jalang, tuna susila dan pelacur. Sementara pronografi itu adalah tingkah laku secara erotik dalam gambar atau, dan tulisan yang cendrung membangkitkan nafsu birahi.
“Jadi lonte dengan pornografi itu tidak ada kaitannya. Kata lonte itu kalau saya sebutnya Animate sementara pronografi itu adalah Niranimate,” tegasnya.
Hal yang sama dikatakan oleh Pakar Hukum Prof Zainudin Ali. Menurutnya, polisi sudah melakukan tindakan sewenang-wenang, menahan orang berlama-lama, dengan tuduhan yang tidak masuk akal. "Malu dunia hukum kita jika polisi seperti ini, apalagi sampai berkas dikembalikan lagi oleh kejaksaan," kata Zainudin.
Zainudin yang juga Wakil Ketua MUI bidang Hukum mendesak agar polisi segera membebaskan Ongen. Karena, jika ini dipaksakan hancur citra polisi. "Bebaskan saja, segera terbitkan SP3," tandasnya.
Aktivis Sosial Anca Adhitiya menilai, kasus yang menjerat Ongen ini sudah tidak masuk akal. Ketika pakar sudah menyatakan lonte bukan porno, apakah polisi memandang foto Jokowi bersama Nikita Mirzani itu porno.
"Atau jangan-jangan polisi menganggap foto Jokowi bersama Nikita yang porno, sehingga mereka begitu ngotot untuk jerat Ongen, dengan UU Pornografi, jika demikian harusnya pemeran foto yang ditangkap," tandas Anca.
Dia menilai, seharusnya polisi bisa bersikap profesional. Jangan kemudian, karena ada tekanan mereka terus memaksakan sebuah kasus, yang ujungnya akan merusak nama baik polri.
"Di sinilah polisi harus bersikap adil, ketika salah ya salah, ketika benar tunjukan kebenaran, jangan semaunya dan mudah diintervensi. Kalau seperti ini, kita melihatnya polisi seperti nggak pernah belajar," sindir Anca.
Seperti diungkapkan oleh Guru Besar Bahasa dari Universitas Tadulako Palu Prof Hanafie Sulaiman dimana hastag yang dibuat Ongen di Twitter tidak ada unsur pornografi. "Apa yang katakan Ongen di Twitter soal kata lonte tidak memenuhi unsur pornografi, jadi tidak benar Ongen dijerat UU Pornografi," ujar Hanafie saat dihubungi wartawan, Selasa (1/3/2016).
Seperti dalam penjelasan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), lonte itu adalah perempuan jalang, tuna susila dan pelacur. Sementara pronografi itu adalah tingkah laku secara erotik dalam gambar atau, dan tulisan yang cendrung membangkitkan nafsu birahi.
“Jadi lonte dengan pornografi itu tidak ada kaitannya. Kata lonte itu kalau saya sebutnya Animate sementara pronografi itu adalah Niranimate,” tegasnya.
Hal yang sama dikatakan oleh Pakar Hukum Prof Zainudin Ali. Menurutnya, polisi sudah melakukan tindakan sewenang-wenang, menahan orang berlama-lama, dengan tuduhan yang tidak masuk akal. "Malu dunia hukum kita jika polisi seperti ini, apalagi sampai berkas dikembalikan lagi oleh kejaksaan," kata Zainudin.
Zainudin yang juga Wakil Ketua MUI bidang Hukum mendesak agar polisi segera membebaskan Ongen. Karena, jika ini dipaksakan hancur citra polisi. "Bebaskan saja, segera terbitkan SP3," tandasnya.
Aktivis Sosial Anca Adhitiya menilai, kasus yang menjerat Ongen ini sudah tidak masuk akal. Ketika pakar sudah menyatakan lonte bukan porno, apakah polisi memandang foto Jokowi bersama Nikita Mirzani itu porno.
"Atau jangan-jangan polisi menganggap foto Jokowi bersama Nikita yang porno, sehingga mereka begitu ngotot untuk jerat Ongen, dengan UU Pornografi, jika demikian harusnya pemeran foto yang ditangkap," tandas Anca.
Dia menilai, seharusnya polisi bisa bersikap profesional. Jangan kemudian, karena ada tekanan mereka terus memaksakan sebuah kasus, yang ujungnya akan merusak nama baik polri.
"Di sinilah polisi harus bersikap adil, ketika salah ya salah, ketika benar tunjukan kebenaran, jangan semaunya dan mudah diintervensi. Kalau seperti ini, kita melihatnya polisi seperti nggak pernah belajar," sindir Anca.
(kri)