KPU-Bawaslu Dituntut Jeli Awasi Politisasi Dana Desa di Pilkada
A
A
A
JAKARTA - Persoalan dana desa semakin serius ketika tahapan Pilkada Serentak 2015 tengah memasuki masa kampanye. Dana desa rawan dipolitisasi oleh calon petahana.
Karena itu, para penyelenggara pilkada seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dituntut lebih jeli dalam mengawasi terjadinya politisasi dana desa dalam pelaksanaan pilkada.
"Apa yang harus dilakukan KPU? Sulit juga karena core business-nya KPU menyelenggarakan pilkada. Masalah incumbent menggunakan dana-dana itu, itu urusannya Bawaslu," kata pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Chusnul Mar'iyah dalam diskusi yang bertajuk "Pencairan Dana Desa Menjelang Pilkada Serentak 2015" di Gedung DPD, Senayan, Jakarta, Rabu (11/11/2015).
Chusnul berpandangan, Bawaslu sudah banyak menghabiskan anggaran untuk tupoksinya di bidang pengawasan. Tapi, dirinya menyayangkan Bawaslu tidak bisa bersaksi di Mahkamah Konstitusi (MK) pada sengketa Pilpres 2014. Padahal, sebagai pengawas, Bawaslu lebih tepat untuk berbicara mengenai fakta yang ditemukan di lapangan.
"Seharusnya manfaatkan lembaga Bawaslu untuk mengawasi," ujar mantan Komisoner KPU itu.
Namun, lanjutnya, bukan berarti KPU berpangku tangan mengenai dana desa dalam pilkada ini. KPU harus menekankan kepada jajarannya untuk melaksanakan pilkada secara jujur. Jangan sampai KPU dibayar dengan dana desa untuk membeli atau mengganti suara.
"Yang harus dipastikan adalah bagaimana agar KPU-KPU di daerah bisa menyelenggarakan pemilu secara benar. Jangan sampai dana desa itu bisa dimainkan," tegasnya.
Sementara itu, pakar politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menganggap wajar jika dana desa sangat kental nuansa politisnya. Sebab, UU Desa ini lahir sebelum UU induknya yakni UU Pemerintah Daerah (Pemda) lahir. Sejak awal UU Desa menjadi hal yang sangat seksi karena terdapat uang di dalamnya.
"Jadi wajar kalau nuansa politiknya yang dikedepankan dan menjadi luar biasa ketika Pak Jokowi mengadakan Menteri Desa," kata Siti di kesempatan sama.
Karena itu, para penyelenggara pilkada seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dituntut lebih jeli dalam mengawasi terjadinya politisasi dana desa dalam pelaksanaan pilkada.
"Apa yang harus dilakukan KPU? Sulit juga karena core business-nya KPU menyelenggarakan pilkada. Masalah incumbent menggunakan dana-dana itu, itu urusannya Bawaslu," kata pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Chusnul Mar'iyah dalam diskusi yang bertajuk "Pencairan Dana Desa Menjelang Pilkada Serentak 2015" di Gedung DPD, Senayan, Jakarta, Rabu (11/11/2015).
Chusnul berpandangan, Bawaslu sudah banyak menghabiskan anggaran untuk tupoksinya di bidang pengawasan. Tapi, dirinya menyayangkan Bawaslu tidak bisa bersaksi di Mahkamah Konstitusi (MK) pada sengketa Pilpres 2014. Padahal, sebagai pengawas, Bawaslu lebih tepat untuk berbicara mengenai fakta yang ditemukan di lapangan.
"Seharusnya manfaatkan lembaga Bawaslu untuk mengawasi," ujar mantan Komisoner KPU itu.
Namun, lanjutnya, bukan berarti KPU berpangku tangan mengenai dana desa dalam pilkada ini. KPU harus menekankan kepada jajarannya untuk melaksanakan pilkada secara jujur. Jangan sampai KPU dibayar dengan dana desa untuk membeli atau mengganti suara.
"Yang harus dipastikan adalah bagaimana agar KPU-KPU di daerah bisa menyelenggarakan pemilu secara benar. Jangan sampai dana desa itu bisa dimainkan," tegasnya.
Sementara itu, pakar politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menganggap wajar jika dana desa sangat kental nuansa politisnya. Sebab, UU Desa ini lahir sebelum UU induknya yakni UU Pemerintah Daerah (Pemda) lahir. Sejak awal UU Desa menjadi hal yang sangat seksi karena terdapat uang di dalamnya.
"Jadi wajar kalau nuansa politiknya yang dikedepankan dan menjadi luar biasa ketika Pak Jokowi mengadakan Menteri Desa," kata Siti di kesempatan sama.
(zik)