Java Script Menyingkap Silang Budaya
A
A
A
Lawang wangi Creative Press bersama Galeri Nasional Indonesia menggelar pameran tunggal Eddy Susanto bertajuk Java Script pada 4 hingga 13 September.
Pameran yang dikuratori Asmudjo J Irianto dan Suwarno Wisetrotomo tersebut akan memamerkan hasil riset Eddy Susanto dalam beberapa tahun terakhir. Hasil riset tersebut disuguhkan dalam 50 karya yang terdiri dari lukisan dan instalasi patung. Sebagian besar karya yang dipamerkan merupakan karya yang bersifat interaktif yang disandingkan dengan elemenelemen kebudayaan lainnya.
Asmudjo menilai, saat sekat lokalitas meluruh pertemuan antarsegmen kebudayaan memicu terjadinya pembandingan tata nilai yang berlaku antarkelompok kebudayaan. Meskipun tidak bisa dinafikan jika budaya global tetap menginduk pada kultur Barat sebagai generator nilai yang diadopsi secara universal.
Logika perbandingan itulah yang kemudian dilakukan juga oleh Eddy Susanto saat mengambil berbagai elemen kebudayaan lokal yang ia sandingkan dengan elemenelemen budaya lain dalam pameran Java Script. ”Eddy mengambil logika perbandingan pertemuan antarsegmen kebudayaan memicu terjadinya perbandingan tata nilai antarkelompok kebudayaan,” ujarnya, Jumat (4/9), di Galeri Nasional Indonesia.
Eddy tidak hanya membandingkan kebudayaan berdasarkan perbedaan lokasi saja (Barat dan Timur/Jawa), namun juga berdasarkan perbedaan dimensi waktu (masa lalu dan masa kini, pola produksi saintifik, teknologi, dan religius), serta karakter visual. Namun, yang menarik dari perbandingan tersebut, menurut Asmudjo, Eddy mampu mengoperasikan aspek persamaan di antara dua elemen gagasan yang saling berbeda.
Menurutnya hal tersebut dapat dilihat dari perbandingan naskah kuno keagamaan dari dua kultur berbeda antara teks religius Barat dengan teks keagamaan kultur Jawa seperti naskah Negara Kertagama, Ramayana, dan Serat Centini. ”Dari perbandingan kebudayaan antara kebudayaan Barat dan Timur, Eddy mampu mengoperasikan aspek persamaan di antara dua elemen gagasan yang berbeda,” ujarnya.
Baginya, menyimak karyakarya Eddy Susanto secara keseluruhan akan menghadirkan tema besar mengenai identitas. Hal tersebut hadir dan mengemuka saat berbagai komponen kebudayaan saling silang bertransaksi, sehingga menghasilkan simpulan-simpulan baru yang menarik untuk disimak dan disintesiskan.
Salah satunya adalah hadirnya harmonisasi antara identitas global dan identitas lokal. Menurut kuartor lainnya, Suwarno, karya-karya dalam pameran tunggal Eddy Susanto banyak menyodorkan berbagai pertemuan budaya.
Seperti manuskrip Arjunawiwaha dengan karya klasik Albrecht Durer (1471-1528) The Promade, karya kidung Asmarandana dipertemukan dengan karya Lambert Hopfer The Conversion of St Paul , kitab Baratayudha dipertemukan dengan karya Albert Durer The Four Horsemen of the Apocalypse .
Karya Eddy memancarkan watak historisnya dengan kuat sekaligus mendorong kesadaran terhadap identitas. ”Karya Eddy memancarkan watak historis yang mendorong kesadaran identitas,” katanya. Dalam pameran tersebut Eddy menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sejarah panjang dan kisah sukses yang tertera dalam sejumlah artefak dalam bentuk manuskrip dan sejumlah benda lainnya.
Pemahaman, pemaknaan, dan pembacaan yang banyak dilakukan mengakibatkan sumbersumber historis tersebut mengalami pembekuan. Kini terdapat tiga aktivitas masyarakat populer seperti menonton, mendengar, dan membaca sudah dapat dilihat di dalam keseharian.
Kedangkalan berpikir, wawasan, dan bertindak sebagian masyarakat, terlebih pada sebagian kaum muda, semakin menggejala. Ketekunan membaca, ketahanan meneliti, dan kesuntukan menguji di laboratorium melahirkan tawarantawaran pemikiran semakin jauh dari harapan.
Imas damayanti
Pameran yang dikuratori Asmudjo J Irianto dan Suwarno Wisetrotomo tersebut akan memamerkan hasil riset Eddy Susanto dalam beberapa tahun terakhir. Hasil riset tersebut disuguhkan dalam 50 karya yang terdiri dari lukisan dan instalasi patung. Sebagian besar karya yang dipamerkan merupakan karya yang bersifat interaktif yang disandingkan dengan elemenelemen kebudayaan lainnya.
Asmudjo menilai, saat sekat lokalitas meluruh pertemuan antarsegmen kebudayaan memicu terjadinya pembandingan tata nilai yang berlaku antarkelompok kebudayaan. Meskipun tidak bisa dinafikan jika budaya global tetap menginduk pada kultur Barat sebagai generator nilai yang diadopsi secara universal.
Logika perbandingan itulah yang kemudian dilakukan juga oleh Eddy Susanto saat mengambil berbagai elemen kebudayaan lokal yang ia sandingkan dengan elemenelemen budaya lain dalam pameran Java Script. ”Eddy mengambil logika perbandingan pertemuan antarsegmen kebudayaan memicu terjadinya perbandingan tata nilai antarkelompok kebudayaan,” ujarnya, Jumat (4/9), di Galeri Nasional Indonesia.
Eddy tidak hanya membandingkan kebudayaan berdasarkan perbedaan lokasi saja (Barat dan Timur/Jawa), namun juga berdasarkan perbedaan dimensi waktu (masa lalu dan masa kini, pola produksi saintifik, teknologi, dan religius), serta karakter visual. Namun, yang menarik dari perbandingan tersebut, menurut Asmudjo, Eddy mampu mengoperasikan aspek persamaan di antara dua elemen gagasan yang saling berbeda.
Menurutnya hal tersebut dapat dilihat dari perbandingan naskah kuno keagamaan dari dua kultur berbeda antara teks religius Barat dengan teks keagamaan kultur Jawa seperti naskah Negara Kertagama, Ramayana, dan Serat Centini. ”Dari perbandingan kebudayaan antara kebudayaan Barat dan Timur, Eddy mampu mengoperasikan aspek persamaan di antara dua elemen gagasan yang berbeda,” ujarnya.
Baginya, menyimak karyakarya Eddy Susanto secara keseluruhan akan menghadirkan tema besar mengenai identitas. Hal tersebut hadir dan mengemuka saat berbagai komponen kebudayaan saling silang bertransaksi, sehingga menghasilkan simpulan-simpulan baru yang menarik untuk disimak dan disintesiskan.
Salah satunya adalah hadirnya harmonisasi antara identitas global dan identitas lokal. Menurut kuartor lainnya, Suwarno, karya-karya dalam pameran tunggal Eddy Susanto banyak menyodorkan berbagai pertemuan budaya.
Seperti manuskrip Arjunawiwaha dengan karya klasik Albrecht Durer (1471-1528) The Promade, karya kidung Asmarandana dipertemukan dengan karya Lambert Hopfer The Conversion of St Paul , kitab Baratayudha dipertemukan dengan karya Albert Durer The Four Horsemen of the Apocalypse .
Karya Eddy memancarkan watak historisnya dengan kuat sekaligus mendorong kesadaran terhadap identitas. ”Karya Eddy memancarkan watak historis yang mendorong kesadaran identitas,” katanya. Dalam pameran tersebut Eddy menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sejarah panjang dan kisah sukses yang tertera dalam sejumlah artefak dalam bentuk manuskrip dan sejumlah benda lainnya.
Pemahaman, pemaknaan, dan pembacaan yang banyak dilakukan mengakibatkan sumbersumber historis tersebut mengalami pembekuan. Kini terdapat tiga aktivitas masyarakat populer seperti menonton, mendengar, dan membaca sudah dapat dilihat di dalam keseharian.
Kedangkalan berpikir, wawasan, dan bertindak sebagian masyarakat, terlebih pada sebagian kaum muda, semakin menggejala. Ketekunan membaca, ketahanan meneliti, dan kesuntukan menguji di laboratorium melahirkan tawarantawaran pemikiran semakin jauh dari harapan.
Imas damayanti
(bbg)