Tantangan Pendidikan Makin Berat
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menilai tantangan dunia pendidikan semakin berat. Namun, adanya asesmen yang tepat dapat membantu menjawab tantangan tersebut.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Kabalitbang) Kemendikbud Totok Suprayitno mengatakan, tantangan pendidikan di Indonesia adalah disparitas antarwilayah. Tidak hanya dari pendidikannya, tapi juga infrastruktur. Dia mengemukakan, tantangan semakin berat karena saat ini terdapat sekitar 60 juta siswa di Indonesia dengan 340.000 sekolah dan 3,9 juta guru.
”Bayangkan, bila hal ini diurus secara sentralistik oleh Kemendikbud sendirian. Sebab itu, mari kita berbagi peran bersama masyarakat bergerak menuntaskan tantangan masalah pendidikan kita,” katanya pada acara seminar ”Asesmen dalam Reformasi Evaluasi Pendidikan” bersama Tanoto Foundation dan Universitas Widya Mandala Katolik Surabaya di kantor Kemendikbud.
Totok menerangkan, meski tantangan semakin berat khususnya dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan, beban akan ringan jika masyarakat berpartisipasi dalam memajukan pendidikan. Menurutnya, berbagai isu asesmen tentang pendidikan yang mencuat di publik dan media massa baik yang negatif atau positif merupakan bentuk kepedulian terhadap dunia pendidikan.
Totok mencontohkan isu pendidikan di media massa seperti Ujian Nasional (UN), Kurikulum 2013, dan Wajib Belajar 12 tahun konstruktif dalam memberikan masukan kepada pemerintah. Dalam mengimplementasikan sistem asesmen pendidikan, kata Totok, pemerintah sebagai penentu kebijakan pendidikan nasional mempertimbangkan masukan-masukan yang ada untuk menentukan model asesmen yang akan diimplementasikan selanjutnya.
”Tugas Kementerian adalah menularkan inisiatif baik agar kawan- kawan segera melakukan hal yang sama. Memberikan platform agar inisiatif yang tersebar selama ini bisa diwadahi sehingga bisa menjadi inspirasi dan menularkan ke kawankawan yang lain,” kata Totok.
Dalam seminar yang juga mengundang pembicara Mark Wilson, peneliti dari The Berkeley Evaluation and Assessment Research (BEAR) Center, University of California Berkeley. Mark menuturkan, ada empat dasar yang harus dipenuhi dalam sistem asesmen pendidikan.
Pertama, asesmen harus didasarkan pada perspektif pembelajaran siswa. Kedua, apa yang diajarkan dan apa yang dinilai harus jelas dan selaras. Ketiga, peran guru adalah manajer dan pengguna data penilaian, dan yang terakhir adalah penilaian kelas harus mengikuti standar validitas dan reliabilitas.
Pembicara lain dalam seminar tersebut, Pengawas Sekolah Menengah Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman, Yogyakarta Yulia Sri Prihartini menyampaikan pandangan dan aspirasi guru- guru SMP tentang penilaian kelas dan penyelenggaraan UN sebagai salah satu bentuk asesmen di daerahnya.
Dia mengatakan, dalam menggali informasi tersebut dia melakukan penelitian tentang apa kesulitan para guru, apa pandangan mereka tentang penilaian, hingga pendapat para guru tentang UN yang tidak lagi jadi penentu kelulusan.
Penelitian yang dilakukannya dengan menyebar kuesioner kepada para guru ini akhirnya membuahkan hasil. Guru guru di daerahnya mengemukakan pendapat mereka. Bahkan, mereka menyatakan UN perlu dijadikan penentu kelulusan tapi dengan pembobotan.
Neneng zubaidah
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Kabalitbang) Kemendikbud Totok Suprayitno mengatakan, tantangan pendidikan di Indonesia adalah disparitas antarwilayah. Tidak hanya dari pendidikannya, tapi juga infrastruktur. Dia mengemukakan, tantangan semakin berat karena saat ini terdapat sekitar 60 juta siswa di Indonesia dengan 340.000 sekolah dan 3,9 juta guru.
”Bayangkan, bila hal ini diurus secara sentralistik oleh Kemendikbud sendirian. Sebab itu, mari kita berbagi peran bersama masyarakat bergerak menuntaskan tantangan masalah pendidikan kita,” katanya pada acara seminar ”Asesmen dalam Reformasi Evaluasi Pendidikan” bersama Tanoto Foundation dan Universitas Widya Mandala Katolik Surabaya di kantor Kemendikbud.
Totok menerangkan, meski tantangan semakin berat khususnya dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan, beban akan ringan jika masyarakat berpartisipasi dalam memajukan pendidikan. Menurutnya, berbagai isu asesmen tentang pendidikan yang mencuat di publik dan media massa baik yang negatif atau positif merupakan bentuk kepedulian terhadap dunia pendidikan.
Totok mencontohkan isu pendidikan di media massa seperti Ujian Nasional (UN), Kurikulum 2013, dan Wajib Belajar 12 tahun konstruktif dalam memberikan masukan kepada pemerintah. Dalam mengimplementasikan sistem asesmen pendidikan, kata Totok, pemerintah sebagai penentu kebijakan pendidikan nasional mempertimbangkan masukan-masukan yang ada untuk menentukan model asesmen yang akan diimplementasikan selanjutnya.
”Tugas Kementerian adalah menularkan inisiatif baik agar kawan- kawan segera melakukan hal yang sama. Memberikan platform agar inisiatif yang tersebar selama ini bisa diwadahi sehingga bisa menjadi inspirasi dan menularkan ke kawankawan yang lain,” kata Totok.
Dalam seminar yang juga mengundang pembicara Mark Wilson, peneliti dari The Berkeley Evaluation and Assessment Research (BEAR) Center, University of California Berkeley. Mark menuturkan, ada empat dasar yang harus dipenuhi dalam sistem asesmen pendidikan.
Pertama, asesmen harus didasarkan pada perspektif pembelajaran siswa. Kedua, apa yang diajarkan dan apa yang dinilai harus jelas dan selaras. Ketiga, peran guru adalah manajer dan pengguna data penilaian, dan yang terakhir adalah penilaian kelas harus mengikuti standar validitas dan reliabilitas.
Pembicara lain dalam seminar tersebut, Pengawas Sekolah Menengah Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman, Yogyakarta Yulia Sri Prihartini menyampaikan pandangan dan aspirasi guru- guru SMP tentang penilaian kelas dan penyelenggaraan UN sebagai salah satu bentuk asesmen di daerahnya.
Dia mengatakan, dalam menggali informasi tersebut dia melakukan penelitian tentang apa kesulitan para guru, apa pandangan mereka tentang penilaian, hingga pendapat para guru tentang UN yang tidak lagi jadi penentu kelulusan.
Penelitian yang dilakukannya dengan menyebar kuesioner kepada para guru ini akhirnya membuahkan hasil. Guru guru di daerahnya mengemukakan pendapat mereka. Bahkan, mereka menyatakan UN perlu dijadikan penentu kelulusan tapi dengan pembobotan.
Neneng zubaidah
(ftr)