Energi Terbarukan dan Batu Akik

Rabu, 15 Juli 2015 - 11:05 WIB
Energi Terbarukan dan...
Energi Terbarukan dan Batu Akik
A A A
Apa persamaan dan perbedaan antara perdagangan batu akik dan perdagangan energi terbarukan? Persamaannya adalah berlakunya hukum permintaan dan penawaran.

Perbedaannya adalah nilai tambah yang dikembangbiakkan oleh rantai produksi. Batu akik lahir dari momentum yang sifatnya jangka pendek, sementara perdagangan energi terbarukan lahir dari proses pertimbangan yang panjang dan mendalam. Ruang lingkup ekspansinya juga lebih luas, membutuhkan dukungan luas di tingkat global.

Perbandingan perdagangan batu akik dan energi terbarukan mungkin tidak apple to apple. Tapi memang maksud dari perbandingan itu adalah untuk menjelaskan bahwa dalam perdagangan luar negeri dan kaitannya dengan politik hubungan internasional, negara dunia berkembang atau Indonesia khususnya selalu tertinggal dan mengekor tren pasar.

Mereka yang berinvestasi di pasar saham mengenal istilah tren . Istilah ini digunakan untuk menggambarkan kecenderungan harga saham atau pasar. Ketika harga saham naik karena diburu orang dikenallah istilah bullish, sementara bila orang berlomba-lomba menjualnya disebut bearish. Tren dapat bersifat jangka panjang dan jangka pendek.

Salah satu tren jangka pendek yang menuntut sikap kehati-hatian adalah ketika berada di dalam situasi crowded short, yaitu pasar yang tidak stabil karena tidak didukung oleh dasar ekonomi yang kuat dan hanya menguntungkan sesaat. Fenomena perdagangan batu akik bagi saya bukan sesuatu yang luar biasa karena demikianlah sistem pasar bekerja.

Yang membedakan dengan perdagangan energi terbarukan adalah nilai tambah dan nilai ekonomis yang dilahirkannya. Perbedaan ini juga mencerminkan perbedaan tingkat kekuatan produksi sebuah masyarakat dibandingkan dengan masyarakat lain. Kekuatan produksi yang dimaksud adalah tingkat kemajuan teknologi dan pengetahuannya.

Semakin tinggi teknologi dan pengetahuannya, semakin kuat kekuatan produksinya. Kita bandingkan misalnya antara perdagangan batu akik dan perdagangan energi terbarukan Perdagangan batu akik, tanaman anturium atau produk-produk lain yang dilakukan oleh negara berkembang mengandalkan sumber daya alam yang melimpah.

Kita hanya perlu investasi teknologi yang mengembangbiakkan komoditas dalam skala tertentu atau menggali jauh ke dalam hutan atau sungai untuk menemukan bongkahan batu idaman yang dapat dipoles menjadi batu akik. Tingkat pengetahuan yang dikembangkan pun terbatas.

Perdagangan itu memang akan mendorong dan menggerakkan rantai produksi lain seperti mesin pemotong, ampelas, dan alat produksi lainnya, tetapi hanya sebatas itu. Saat pasar sudah jenuh, kita tidak dapat melakukan ekspansi lebih luas. Karena perdagangan ini hanya memiliki momentumnya di Indonesia dan tidak berkelanjutan.

Perdagangan energi terbarukan juga menggunakan prinsip yang sama, tetapi dalam kekuatan produksi yang jauh lebih tinggi. Masyarakat yang terlibat jenis perdagangan ini telah merencanakannya dengan matang, mencakup seluruh aspek dari ekonomi, sosial hingga politik luar negerinya.

Mereka mencoba membuat perdagangan ini tidak hanya mencapai momentum di Eropa, tetapi juga di dunia sehingga bisa berkelanjutan dan bahkan mengembangbiakkan jenis produk lain yang berkaitan. Satu tanda menarik dari fenomenainiadalahdeklarasinegaranegara G-7 minggu lalu yang menetapkan tidak akan menggunakan bahan bakar fosil pada akhir abad ini.

Kanada dan Jepang yang biasanya sulit untuk memberikan konsensus mengenai perubahan iklim terpaksa tunduk mengikuti. Mereka menyepakati untuk mempertahankan tingkat kenaikan suhu dunia di bawah 2 derajat Celsius. Mereka setuju dengan Intergovernmental Panel on Climate Change yang merekomendasikan pengurangan 40-70% gas emisi rumah kaca dari batas tahun 2010 dan dekarbonisasi ekonomi global pada akhir abad ini.

Konfirmasi bahwa perdagangan energi terbarukan akan menjadi dasar perdagangan dunia dalam beberapa puluh tahun kedepanjugadapatdilihat dari sikap China yang mengumumkan target pengurangan emisi gas kaca kepada PBB pada minggu lalu. China yang selama ini menjadisalahsatunegara polutantertinggi dan enggan untuk melakukan komitmen perjanjian lingkungan dunia yang dianggap akan menghambat pertumbuhan ekonominya telah menyatakan komitmen untuk mengurangi tingkat aktivitas karbonnya menjadi 60-65% dari tingkat tahun 2005 pada 2030.

Saya meyakini sikap China sebagai konfirmasi perubahan peta perdagangan dunia karena China adalah negara yang memiliki informasi penuh terhadap kompetitor mereka di Eropa dan Amerika. Mereka tidak melakukan komitmen apabila tidak yakin bahwa komitmen itu akan menguntungkan pertumbuhan ekonominya.

Kita sebagai negara yang memiliki keterbatasan dalam menggali informasi negara maju dapat memanfaatkan kelebihan China sebagai pertimbangan kebijakan ekonomi-politik kita ke masa depan. Konsekuensi dari komitmen Eropa, Amerika, dan China adalah timbulnya permintaan pasar terhadap energi terbarukan.

Stian Reklev yang dikutip Bloomberg menyatakan bahwa untuk China sendiri, komitmen itu sudah akan menumbuhkan pasar sumber energi nonfosil sebanyak 20% pada 2030. Dunia saat ini berlomba-lomba memasang pembangkit energi terbarukan dibandingkan energi fosil yang berasal dari minyak atau batu bara.

Tahun 2013 di dunia telah terpasang sumber listrik dari energi terbarukan dengan kapasitas 143 gigawatt, tidak jauh dibandingkan kapasitas listrik dari pembangkit tenaga fosil (141 gigawatt) (Tom Randall, Bloomberg 15/4/ 2015). Dalam tahun 2030, akan empat kali lebih banyak terinstalasi sumber energi terbarukan.

Ini tanda bahwa pembangunan energi kita berjalan bertolak belakang dengan tren ke depan. Di saat dunia, bahkan China, mulai membuang pembangkit listrik yang berbahan bakar fosil, kita justru tengah gencar menginstalasi pembangkit tersebut. Saya membayangkan apa yang terjadi tahun 2030 nanti adalah tekanan politik yang keras terhadap produk-produk Indonesia seperti yang kini terjadi pada produk agrikultur semisal minyak kelapa sawit.

Saat ini kita bertahan karena China sebagai pasar terbesar minyak kelapa sawit masih menerima produk-produk yang dianggap tidak ramah lingkungan oleh negara maju. Bayangkan apa yang terjadi apabila China sudah berada di posisi politik yang sama dengan negara maju karena mereka sudah meramalkan tren energi? Mereka mungkin tidak peduli dengan nasib produk-produk kita.

Dalam jangka pendek, kita juga harus hati-hati menggunakan produk teknologi dari negara-negara lain. Karena kemungkinan mereka sendiri sudah membuang teknologi tersebut sehingga kita justru membutuhkan biaya yang besar setelah pembelian teknologi hanya demi memperbaiki atau mengubahnya.

Pemerintah harus cermat melihat perkembangan ekonomi dan politik internasional yang terjadi belakangan ini terutama dalam proses restrukturisasi pasar akibat resesi ekonomi sejak tahun 2008. Kita tidak bisa membiarkan diri terus mengekor tren pasar yang ditentukan oleh negara-negara lain.

Apabila kita tidak dapat menciptakan tren alternatif, kita harus mampu bersaing dengan mereka dalam tren pasar yang berkembang ke depan dengan memperkuat inovasi teknologi dan pengetahuan.

DINNA WISNU, PhD
Pengamat Hubungan Internasional,
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
@dinnawisnu
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0690 seconds (0.1#10.140)