ISIS Akui Penembakan di Tunisia, 39 Tewas
A
A
A
TUNISIA - Korban aksi terorisme di pantai wisata Kota Sousse, Tunisia, bertambah menjadi 39 orang. Sebagian besar korban adalah warga negara Inggris yang menginap di Penginapan Mediterania di Port el Kantaoui.
Berdasar data Kementerian Kesehatan Tunisia, dari 10 korban tewas yang diidentifikasi, 8 orang Inggris dan 2 lainnya dari Belgia dan Jerman. Otoritas Tunisia memang belum berhasil mengidentifikasi semua korban meninggal. Hal ini dikarenakan pada waktu berada di pantai para turis banyak yang tidak membawa identitas. Selain 39 korban tewas, masih 38oranglainnyayangterluka.
Mereka korban serangan brutal oleh dua pelaku yang kemudian salah satunya ditembak mati di tempat dan satu lainnya ditangkap. Kelompok jihad ISIS yang menguasai sebagian wilayah Irak dan Suriah mengklaim bertanggung jawab atas insiden penembakan pada Jumat (26/6) tersebut.
Peristiwa ini merupakan yang terburuk setelah pada Maret lalu dua pelaku teroris menembaki turis asing yang tengah berkunjung ke Museum Barboda hingga mengakibatkan 22 orang yang sebagian besar wisatawan asing tewas. Kabar banyaknya warga negara Inggris yang menjadi korban disambut duka negeri tersebut.
Bisa jadi, dari korban yang belum teridentifikasi, masih ada warga negara Inggris lainnya. Perdana Menteri Inggris David Cameron mengingatkan negaranya perlu untuk bersiap bahwa faktanya kebanyakan korban tewas adalah warga Inggris. “Mereka adalah orang-orang tak bersalah yang sedang berlibur, bersantai, dan menikmati waktu bersama teman-teman dan keluarga,” ucap Cameron seperti dilansir AFP.
Serangan bersenjata digambarkan berlangsung sangat tragis ketika para turis tengah menikmati indahnya pantai Mediterania tersebut. Tidak ada yang menduga ketika penyerang yang diidentifikasi aparat Tunisia sebagai mahasiswa yang tidak mempunyai jejak kriminalitas langsung memberondongkan senjatanya dari balik payung ke kerumunan turis yang tengah berada di pantai dan di kolam renang.
“Dia memasuki pantai, berpakaian seperti orang yang hendak berenang dan membawa payung pantai dengan senjata di dalamnya. Kemudian ketika berada di pantai dia melepaskan tembakan,” ucap Menteri Luar Negeri Tunisia Rafik Chelly kepada Mosaique FM . Para saksi mata menggambarkan terjadi situasi panik setelah adanya penembakan di hotel pinggiran Sousse, sekitar 140 km wilayah selatan ibu kota Tunisia itu.
Olivia Leathley, 24, misalnya, mendengar suara keras dan ketika dia sampai di lobi hotel untuk mencari tahu apa yang terjadi, dia melihat tepat di hadapannya seorang wanita yang suaminya tertembak di perut. “Yang dikatakan wanita itu adalah suaminya telah ditembak dan dia berada di pantai. Suaminya hanya mengatakan Saya mencintaimu, saya mencintaimu, kemudian kedua matanya tertutup,” tuturnya.
Serangan yang diarahkan kepada turis asing tentu sangat memukul industri pariwisata Tunisa. Setelah serangan tersebut, sejumlah agen wisata membatalkan rencana kunjungannya, termasuk operator tur Thomas Cook asal Inggris. Perusahaan tersebut memutuskan menawarkan kepada calon pelanggannya untuk mengubah pemesanan menuju negara-negara Afrika Utara.
Perdana Menteri Habib Essid pada Sabtu (27/6) mengumumkan bahwa mulai bulan depan penjaga keamanan akan dipersenjatai. Mereka akan ditempatkan di wilayah sepanjang pantai dan dalam hotel-hotel yang biasa menjadi tempat menginap para turis.
Insiden yang terjadi di Tunisia terjadi pada hari yang sama dengan dua aksi kekerasan lain, yakni serangan di masjid Syiah di Kuwait yang menewaskan 26 dan serangan di pabrik gas yang terjadi di Lyon, Prancis, yang mengakibatkan 1 orang meninggal dunia. Kelompok ISIS mengklaim berada di balik dua serangan, pengeboman di Kuwait dan serangan di Tunisia.
Mereka menyebut penyerang adalah “tentara kekhalifahan” yang menargetkan musuh-musuh dari kelompok ISIS serta sarang percabulan dan kemurtadan. “Kebanyakan dari korban tewas adalah orang-orang kafir yang melawan kekhalifahan,” ucap kelompok ISIS. Sementara itu di Kuwait, pascaserangan bom bunuh diri, Kementerian Dalam Negeri Kuwait mengaku telah menahan pemilik mobil yang dijadikan sarana bom bunuh diri.
Mereka kini tengah mencari seorang penumpang mobil lainnya yang menghilang setelah terjadi ledakan. Seorang sumber dari keamanan mengungkapkan kepada Reuters bahwa aparat juga telah menahan sejumlah orang yang diduga terkait dengan aksi tersebut.
Pemerintah Kuwait meyakini bahwa aksi bom bunuh diri ini ditujukan untuk membangkitkan permusuhan antara warga Kuwait yang mayoritas Sunni dan kaum minoritas Syiah. Adapun mengenai serangan di Prancis, otoritas Prancis telah menahan seorang pria 35 tahun asal Afrika Utara yang diduga sebagai pelaku pemenggalan kepala atasannya dan percobaan meledakkan pabrik kimia milik Amerika Serikat di wilayah tenggara Prancis.
Pria yang dianggap bertanggung jawab atas kejadian itu adalah Yassim Salhi. Dia menabrakkan mobil van ke area penyimpanan gas dan menyebabkanadanya ledakanawal. Dia ditangkap beberapa menit setelah kejadian saat hendak membuka tabung berisi bahan kimia yang mudah terbakar.
Salhi diketahui mempunyai koneksi dengan kelompok radikal Islam selama lebih dari satu dekade. Pihak keamanan Prancis sudah menandai dirinya sebagai orang yang berisiko tinggi. Namun sampai saat ini belum ada pihak yang bertanggung jawab atas aksi pemenggalan kepala dan peledakan.
Arvin
Berdasar data Kementerian Kesehatan Tunisia, dari 10 korban tewas yang diidentifikasi, 8 orang Inggris dan 2 lainnya dari Belgia dan Jerman. Otoritas Tunisia memang belum berhasil mengidentifikasi semua korban meninggal. Hal ini dikarenakan pada waktu berada di pantai para turis banyak yang tidak membawa identitas. Selain 39 korban tewas, masih 38oranglainnyayangterluka.
Mereka korban serangan brutal oleh dua pelaku yang kemudian salah satunya ditembak mati di tempat dan satu lainnya ditangkap. Kelompok jihad ISIS yang menguasai sebagian wilayah Irak dan Suriah mengklaim bertanggung jawab atas insiden penembakan pada Jumat (26/6) tersebut.
Peristiwa ini merupakan yang terburuk setelah pada Maret lalu dua pelaku teroris menembaki turis asing yang tengah berkunjung ke Museum Barboda hingga mengakibatkan 22 orang yang sebagian besar wisatawan asing tewas. Kabar banyaknya warga negara Inggris yang menjadi korban disambut duka negeri tersebut.
Bisa jadi, dari korban yang belum teridentifikasi, masih ada warga negara Inggris lainnya. Perdana Menteri Inggris David Cameron mengingatkan negaranya perlu untuk bersiap bahwa faktanya kebanyakan korban tewas adalah warga Inggris. “Mereka adalah orang-orang tak bersalah yang sedang berlibur, bersantai, dan menikmati waktu bersama teman-teman dan keluarga,” ucap Cameron seperti dilansir AFP.
Serangan bersenjata digambarkan berlangsung sangat tragis ketika para turis tengah menikmati indahnya pantai Mediterania tersebut. Tidak ada yang menduga ketika penyerang yang diidentifikasi aparat Tunisia sebagai mahasiswa yang tidak mempunyai jejak kriminalitas langsung memberondongkan senjatanya dari balik payung ke kerumunan turis yang tengah berada di pantai dan di kolam renang.
“Dia memasuki pantai, berpakaian seperti orang yang hendak berenang dan membawa payung pantai dengan senjata di dalamnya. Kemudian ketika berada di pantai dia melepaskan tembakan,” ucap Menteri Luar Negeri Tunisia Rafik Chelly kepada Mosaique FM . Para saksi mata menggambarkan terjadi situasi panik setelah adanya penembakan di hotel pinggiran Sousse, sekitar 140 km wilayah selatan ibu kota Tunisia itu.
Olivia Leathley, 24, misalnya, mendengar suara keras dan ketika dia sampai di lobi hotel untuk mencari tahu apa yang terjadi, dia melihat tepat di hadapannya seorang wanita yang suaminya tertembak di perut. “Yang dikatakan wanita itu adalah suaminya telah ditembak dan dia berada di pantai. Suaminya hanya mengatakan Saya mencintaimu, saya mencintaimu, kemudian kedua matanya tertutup,” tuturnya.
Serangan yang diarahkan kepada turis asing tentu sangat memukul industri pariwisata Tunisa. Setelah serangan tersebut, sejumlah agen wisata membatalkan rencana kunjungannya, termasuk operator tur Thomas Cook asal Inggris. Perusahaan tersebut memutuskan menawarkan kepada calon pelanggannya untuk mengubah pemesanan menuju negara-negara Afrika Utara.
Perdana Menteri Habib Essid pada Sabtu (27/6) mengumumkan bahwa mulai bulan depan penjaga keamanan akan dipersenjatai. Mereka akan ditempatkan di wilayah sepanjang pantai dan dalam hotel-hotel yang biasa menjadi tempat menginap para turis.
Insiden yang terjadi di Tunisia terjadi pada hari yang sama dengan dua aksi kekerasan lain, yakni serangan di masjid Syiah di Kuwait yang menewaskan 26 dan serangan di pabrik gas yang terjadi di Lyon, Prancis, yang mengakibatkan 1 orang meninggal dunia. Kelompok ISIS mengklaim berada di balik dua serangan, pengeboman di Kuwait dan serangan di Tunisia.
Mereka menyebut penyerang adalah “tentara kekhalifahan” yang menargetkan musuh-musuh dari kelompok ISIS serta sarang percabulan dan kemurtadan. “Kebanyakan dari korban tewas adalah orang-orang kafir yang melawan kekhalifahan,” ucap kelompok ISIS. Sementara itu di Kuwait, pascaserangan bom bunuh diri, Kementerian Dalam Negeri Kuwait mengaku telah menahan pemilik mobil yang dijadikan sarana bom bunuh diri.
Mereka kini tengah mencari seorang penumpang mobil lainnya yang menghilang setelah terjadi ledakan. Seorang sumber dari keamanan mengungkapkan kepada Reuters bahwa aparat juga telah menahan sejumlah orang yang diduga terkait dengan aksi tersebut.
Pemerintah Kuwait meyakini bahwa aksi bom bunuh diri ini ditujukan untuk membangkitkan permusuhan antara warga Kuwait yang mayoritas Sunni dan kaum minoritas Syiah. Adapun mengenai serangan di Prancis, otoritas Prancis telah menahan seorang pria 35 tahun asal Afrika Utara yang diduga sebagai pelaku pemenggalan kepala atasannya dan percobaan meledakkan pabrik kimia milik Amerika Serikat di wilayah tenggara Prancis.
Pria yang dianggap bertanggung jawab atas kejadian itu adalah Yassim Salhi. Dia menabrakkan mobil van ke area penyimpanan gas dan menyebabkanadanya ledakanawal. Dia ditangkap beberapa menit setelah kejadian saat hendak membuka tabung berisi bahan kimia yang mudah terbakar.
Salhi diketahui mempunyai koneksi dengan kelompok radikal Islam selama lebih dari satu dekade. Pihak keamanan Prancis sudah menandai dirinya sebagai orang yang berisiko tinggi. Namun sampai saat ini belum ada pihak yang bertanggung jawab atas aksi pemenggalan kepala dan peledakan.
Arvin
(bbg)