Tafsir Calon Petahana Tak Tepat

Kamis, 18 Juni 2015 - 09:25 WIB
Tafsir Calon Petahana Tak Tepat
Tafsir Calon Petahana Tak Tepat
A A A
JAKARTA - DPR menilai tafsir Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengenai calon petahana yang dilarang ikut pemilihan kepala daerah tidak tepat. Akibatnya tafsir tersebut menjadi celah praktik-praktik politik dinasti tetap terulang.

Anggota Komisi II DPR Arif Wibowo mengatakan sebagaimana yang telah diatur bahwa satu periode kepala daerah dijalani sekurang-kurangnya 2,5 tahun. Seharusnya para kepala daerah yang mengundurkan diri sebelum penetapan calon dalam pilkada serentak tetap dihitung sebagai petahana.

”Harusnya tidak mencalonkan. Mereka menyiasati UU. Begitu 2,5 tahun itu masuk 1 periode. Artinya masuk kategori petahana,” ujarnya kemarin. Seperti diketahui, Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9/2015 tentang Pencalonan Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Wali Kota/Wakil Wali Kota Pasal 1 ayat 19 mengatur perihal calon petahana. Pada ayat tersebut disebutkan petahana adalah gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota yang sedang menjabat.

Artinya ketika tidak menjabat lagi sebelum pencalonan pilkada, yang bersangkutan bukanlah petahana sehingga aturan pelarangan politik dinasti tidak berlaku. Mantan anggota Panja Pilkada mengaku memang selalu saja terjadi perbedaan tafsir antara pembuat UU dan pengguna UU. Karena itu perlu dibuat sebuah forum konsultasi antara KPU dan Komisi II. ”Konsultasi agar DPR menjelaskankeKPUmengenainorma di UU. Kalau KPU tidak mendengarkan ya tidak bisa apa-apa. Kecuali judicial review PKPU itu,” ungkap Arif.

Politikus PDIP itu sudah menduga bahwa aturan ini akan disiasati. Padahal tetap ada batasan tentang apa yang disebut dengan petahana. ”Batasan konkret 2,5 tahun dianggap petahana,” paparnya. Sementara itu, Mendagri Tjahjo Kumolo mengaku tidak bisa berbuat banyak mengenai penyiasatan kepala daerah yang mundur sebelum tahapan pencalonan. Pasalnya hal tersebut menjadi hak dari para kepala daerah.

”Sebagai mendagri dia mengajukan ke saya, kalau mengajukan tertulis untuk meminta mundur saya tidak bisa menghalangi. Itu hak yang bersangkutan,” kata dia. Meski begitu dia menegaskan kepala daerah yang mengundurkan diri sebelum masa jabatannya habis akan berpengaruh pada komitmennya. Padahal sebagaimana kontrak politik seharusnya sampai satu periode masa jabatan.

”Nah mundurnya itu alasannya apa. Kalau alasan pribadi yang bagaimana, mungkin sakit tidak bisa optimal itu apa boleh buat. Tapi kalau alasannya berkaitan dengan keluarganya padahal itu ketentuan UU-nya jelas, itu yang sangat kami sayangkan,” ungkap dia. Dia mengatakan seharusnya kepala daerah menunggu keputusan di MK. Seperti diketahui aturan mengenai larangan politik dinasti tengah digugat di MK.

Dia mengaku baru memberikan persetujuan pengunduran diri Bupati Kutai Timur Isran Noor. Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan pihaknya telah mengirimkan surat edaran kepada KPUD mengenai petahana. Pasalnya, belum ada pemahaman yang sama mengenai petahana yang membuat KPUD di daerah banyak bertanya saat proses verifikasi calon perseorangan berlangsung.

”Semua tahu bahwa diapunya hubungan dengan petahana sekarang atau yang masih menjabat. Apakah ditolak saja sehingga kita harus jelaskan itu. Jadi sebetulnya batasan orang punya hubungan dengan petahana itu bagaimana. Kita harus jelaskan bahwa kalau dia saat pendaftaran masih ada hubungan dengan petahana maka tidak boleh,” kata dia.

Sementara itu, sidang uji materi UU Pilkada mengenai dinasti politik mulai memanggil saksi ahli. Dalam agenda keterangan saksi ahli, penggugat menghadirkan Prof Dr Saldi Isra dan Prof Dr Aminuddin Ilmar, SH, MH. Dalam keterangannya, Saldi Isra mengatakan pembentuk undang-undang seharusnya yang dibatasi adalah petahana, yaitu individu yang sedang memegang jabatan baik itu kepala daerah atau wakilnya.

”Pembatasan hanya berkisar pada hal-hal yang berhubungan dengan kekuasaan petahana. Sebab, kekuasaan di tangan petahana itulah yang potensial ia salah gunakan guna memenangkan dirinya, kolega ataupun keluarganya dalam pilkada,” kata Saldi dalam keterangannya di hadapan majelis hakim MK kemarin.

Menurut dia, jika sudah masuk dalam wilayah membatasi hak seseorang, artinya pembentuk undang-undang pun telah masuk ke ranah hak sipil politik warga negara yang pembatasannya haruslah tunduk pada dasar alasan yang dibenarkan menurut Pasal 28J UUD 1945, UU No 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik maupun UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Hal yang sama dikatakan oleh Prof Dr Aminuddin Ilmar yang menyebutkan Pasal 7 huruf r UU Pilkada bertentangan dengan hak asasi warga negara yang sudah diatur dalam politik, yaitu hak dipilih dan hak untuk memilih.

Dita angga/ rahmat sahid
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4547 seconds (0.1#10.140)