Media Sosial Bagai Pedang Bermata Dua
A
A
A
PERKEMBANGAN teknologi informasi telah melahirkan berbagai jenis media sosial mulai dari Twitter, Facebook, Path, dan Instagram.
Dengan berbagai keunikan masing-masing media sosial bersaing untuk menarik minat masyarakat agar memakai aplikasi media sosial mereka. Lambat laun masyarakat mulai tertarik untuk menggunakan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut psikolog Elizabeth Santosa, perkembangan teknologi khususnya media sosial memang tidak bisa dihindari sehingga masyarakat harus cermat menggunakannya. Social media itu bagai pedang bermata dua, bisa berdampak positif dan negatif. Selain itu, menurut dia, besarnya minat masyarakat terhadap media sosial merupakan keniscayaan karena kita sekarang hidup pada era digital. Karena itu, tidak salah kalau masyarakat memilih media sosial untuk melakukan interaksi karena lebih praktis dan efisien.
“Dahulu, orang masih berinteraksi jarak jauh melalui SMS dan telepon. Sekarang sudah ada banyak aplikasi media sosial yang lebih canggih dan beragam,” katanya. Namun, menurut Elizabeth, kehadiran media sosial membuat masyarakat lebih sering berinteraksi di dunia maya ketimbang dunia nyata.
Dampaknya membuat masyarakat menjadi kurang mengenal dan memahami orang lain karena tidak berinterkasi secara langsung. “Ketika berkomunikasi, kita perlu mempelajari konten dan konteks. Konten adalah isi pesan yang dilakukan dalam berkomunikasi, sedangkan konteks adalah kesan dari komunikasi yang dilakukan,” ujar staf pengajar di Swiss Germany University, Serpong ini. Minat masyarakat yang besar terhadap media sosial mulai berlebihan.
Masyarakat setiap detik, menit, dan jam selalu mem-postingberagam kegiatan mereka di media sosial dan berinteraksi di dalamnya. Seperti mem-postingfoto di Instagram, menjawab pesan di Ask.fm atau sekadar memberitahukan di mana posisi dia sekarang di Path. Perilaku yang demikian membuat psikolog yang biasa disapa Miss Lizzie ini berpendapat kalau masyarakat sudah ketergantungan terhadap gadget,khususnya media sosial.
”Ketergantungan terhadap media sosial tidaklah baik karena memakan porsi kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, masyarakat harus mempunyai kontrol diri dalam melakukan aktivitas di media sosial,” sebutnya. Fenomena yang menarik di media sosial adalah selfie. Selfieatau self potrait menurutnya memang menjadi tren. Maksudnya sudah bukan hal yang aneh lagi ketika ada orang yang mengabadikan suatu momen dengan ber-selfie.
Namun, menurut ibu tiga anak ini, jangan sampai mengabaikan keselamatan ketika melakukan selfie. Seperti melakukan selfiedi tempat yang berbahaya seperti gedung-gedung tinggi ataupun objek wisata alam. “Boleh melakukan selfie, tetapi jangan mengabaikan keselamatan,” imbuhnya. Ketergantungan terhadap gadgetdan media sosial yang berlebihan bisa berdampak pada nomophobia (no phone mobile phobia) yang berarti merupakan gangguan kesehatan ketika seseorang takut kehilangan gadgetmiliknya sehingga dirinya tidak bisa lepas dari gadget-nya, seperti selalu mengecek media sosial setiap hari.
Masalah lainnya adalah tentang konformitas yang membuat seseorang sangat terpengaruh terhadap lingkungannya. Menurut Elizabeth, konformitas bisa mengarah pada kompetisi antarpengguna media sosial. Misalnya ketika ada orang mem-postingdirinya sedang berkunjung di restoran mewah di Path, maka ada beberapa orang yang juga mem-postingdi restoran lain yang juga tidak kalah mewah.
“Dari sini terlihat kalau ada kompetisi antarpengguna media sosial,” katanya. Dan terakhir dia berpesan harus bijaksana ketika menggunakan social media.
Khuswatun Hasanah
Dengan berbagai keunikan masing-masing media sosial bersaing untuk menarik minat masyarakat agar memakai aplikasi media sosial mereka. Lambat laun masyarakat mulai tertarik untuk menggunakan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut psikolog Elizabeth Santosa, perkembangan teknologi khususnya media sosial memang tidak bisa dihindari sehingga masyarakat harus cermat menggunakannya. Social media itu bagai pedang bermata dua, bisa berdampak positif dan negatif. Selain itu, menurut dia, besarnya minat masyarakat terhadap media sosial merupakan keniscayaan karena kita sekarang hidup pada era digital. Karena itu, tidak salah kalau masyarakat memilih media sosial untuk melakukan interaksi karena lebih praktis dan efisien.
“Dahulu, orang masih berinteraksi jarak jauh melalui SMS dan telepon. Sekarang sudah ada banyak aplikasi media sosial yang lebih canggih dan beragam,” katanya. Namun, menurut Elizabeth, kehadiran media sosial membuat masyarakat lebih sering berinteraksi di dunia maya ketimbang dunia nyata.
Dampaknya membuat masyarakat menjadi kurang mengenal dan memahami orang lain karena tidak berinterkasi secara langsung. “Ketika berkomunikasi, kita perlu mempelajari konten dan konteks. Konten adalah isi pesan yang dilakukan dalam berkomunikasi, sedangkan konteks adalah kesan dari komunikasi yang dilakukan,” ujar staf pengajar di Swiss Germany University, Serpong ini. Minat masyarakat yang besar terhadap media sosial mulai berlebihan.
Masyarakat setiap detik, menit, dan jam selalu mem-postingberagam kegiatan mereka di media sosial dan berinteraksi di dalamnya. Seperti mem-postingfoto di Instagram, menjawab pesan di Ask.fm atau sekadar memberitahukan di mana posisi dia sekarang di Path. Perilaku yang demikian membuat psikolog yang biasa disapa Miss Lizzie ini berpendapat kalau masyarakat sudah ketergantungan terhadap gadget,khususnya media sosial.
”Ketergantungan terhadap media sosial tidaklah baik karena memakan porsi kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, masyarakat harus mempunyai kontrol diri dalam melakukan aktivitas di media sosial,” sebutnya. Fenomena yang menarik di media sosial adalah selfie. Selfieatau self potrait menurutnya memang menjadi tren. Maksudnya sudah bukan hal yang aneh lagi ketika ada orang yang mengabadikan suatu momen dengan ber-selfie.
Namun, menurut ibu tiga anak ini, jangan sampai mengabaikan keselamatan ketika melakukan selfie. Seperti melakukan selfiedi tempat yang berbahaya seperti gedung-gedung tinggi ataupun objek wisata alam. “Boleh melakukan selfie, tetapi jangan mengabaikan keselamatan,” imbuhnya. Ketergantungan terhadap gadgetdan media sosial yang berlebihan bisa berdampak pada nomophobia (no phone mobile phobia) yang berarti merupakan gangguan kesehatan ketika seseorang takut kehilangan gadgetmiliknya sehingga dirinya tidak bisa lepas dari gadget-nya, seperti selalu mengecek media sosial setiap hari.
Masalah lainnya adalah tentang konformitas yang membuat seseorang sangat terpengaruh terhadap lingkungannya. Menurut Elizabeth, konformitas bisa mengarah pada kompetisi antarpengguna media sosial. Misalnya ketika ada orang mem-postingdirinya sedang berkunjung di restoran mewah di Path, maka ada beberapa orang yang juga mem-postingdi restoran lain yang juga tidak kalah mewah.
“Dari sini terlihat kalau ada kompetisi antarpengguna media sosial,” katanya. Dan terakhir dia berpesan harus bijaksana ketika menggunakan social media.
Khuswatun Hasanah
(ars)