Tata Lembaga Hukum, Komisi III Usulkan Revisi KUHAP
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta untuk segera memperbaiki tata kerja dalam memberantas tindak pidana korupsi. Selama ini KPK dinilai kerap terkesan terlalu memaksakan diri dalam menetapkan tersangka kasus dugaan korupsi.
Anggota Komisi III Arsul Sani mengatakan, ke depan, KPK dan lembaga penegak hukum lainnya seperti Polri harus lebih fokus dan tidak gegabah dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Menurut Arsul, praktik yang selam ini terjadi, para penegak hukum tidak menemukan alat bukti yang dituduhkan sebagaiman yang tercantum di dalam surat perintah penyidikan (sprindik).
Dalam waktu yang bersamaan, penyidik justru menemukan alat bukti tindak pidana kejahatan lain yang dilakukan oleh tersangka yang sama.
“Lebih fokus artinya begini, jika dalam jangka waktu tertentu tidak dibuktikan alat bukti, penyidikan harus dihentikan. Jika kemudian penyidik menemukan alat bukti baru dalam tindak pidana lain, penyidik bisa menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Sprindik baru. Selama ini kesannya dipaksakan. Tidak hanya di KPK, tapi juga Polri,” kata Arsul kepada Sindonews, Kamis 14 Mei 2015.
Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini melanjutkan, ke depan para penegak hukum juga harus menyebutkan nama dan pasal-pasal yang disangkakan terhadap para tersangka.
Menurut Arsul, kasus ketidakterangan nama tersangka ini pernah dilakukan oleh KPK dalam kasus duggaan korupsi yang diduga dilakukan Anas Urbaningrum.
Sementara, pasal yang berubah-ubah, juga pernah meinmpa mantan Ketua KPK Bambang Widjojanto saat ditetapkan tersangka oleh Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri.
“Tidak bisa mengatakan dalam sprindik (surat perintah penyidikan), si A dan kawan-kawan. Nanti jin atau setan juga bia jadi tersangka. Dalam menetapkan tersangka, harus fix dulu pasalnya apa,” kata Arsul.
Agar peristiwa serupa tidak terulang di masa mendatang, Arsul pun mengusulkan adanya revisi terhadap Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam revisi tersebut, kata Arsul, kewenganan seorang penyidik akan sedikit dipersempit dan menghilangkan kemungkinan seorang tersangka teraniaya lantaran proses hukum yang dijalaninya.
“KUHAP akan kita perbaiki. Hal yang dirasa kurang dan bolong akan kita perbaiki sehingga diskresi atau kebijakan seorang penyidik itu dipersempit. Hal ini tentunya bukan untuk mengurangi kelenturan atau elastisitas sebuah proses hukum. Tetapi memang tidak bisa proses hukum membuat orang tersandera atau teraniaaya,” tutur Arsul.
Anggota Komisi III Arsul Sani mengatakan, ke depan, KPK dan lembaga penegak hukum lainnya seperti Polri harus lebih fokus dan tidak gegabah dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Menurut Arsul, praktik yang selam ini terjadi, para penegak hukum tidak menemukan alat bukti yang dituduhkan sebagaiman yang tercantum di dalam surat perintah penyidikan (sprindik).
Dalam waktu yang bersamaan, penyidik justru menemukan alat bukti tindak pidana kejahatan lain yang dilakukan oleh tersangka yang sama.
“Lebih fokus artinya begini, jika dalam jangka waktu tertentu tidak dibuktikan alat bukti, penyidikan harus dihentikan. Jika kemudian penyidik menemukan alat bukti baru dalam tindak pidana lain, penyidik bisa menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Sprindik baru. Selama ini kesannya dipaksakan. Tidak hanya di KPK, tapi juga Polri,” kata Arsul kepada Sindonews, Kamis 14 Mei 2015.
Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini melanjutkan, ke depan para penegak hukum juga harus menyebutkan nama dan pasal-pasal yang disangkakan terhadap para tersangka.
Menurut Arsul, kasus ketidakterangan nama tersangka ini pernah dilakukan oleh KPK dalam kasus duggaan korupsi yang diduga dilakukan Anas Urbaningrum.
Sementara, pasal yang berubah-ubah, juga pernah meinmpa mantan Ketua KPK Bambang Widjojanto saat ditetapkan tersangka oleh Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri.
“Tidak bisa mengatakan dalam sprindik (surat perintah penyidikan), si A dan kawan-kawan. Nanti jin atau setan juga bia jadi tersangka. Dalam menetapkan tersangka, harus fix dulu pasalnya apa,” kata Arsul.
Agar peristiwa serupa tidak terulang di masa mendatang, Arsul pun mengusulkan adanya revisi terhadap Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam revisi tersebut, kata Arsul, kewenganan seorang penyidik akan sedikit dipersempit dan menghilangkan kemungkinan seorang tersangka teraniaya lantaran proses hukum yang dijalaninya.
“KUHAP akan kita perbaiki. Hal yang dirasa kurang dan bolong akan kita perbaiki sehingga diskresi atau kebijakan seorang penyidik itu dipersempit. Hal ini tentunya bukan untuk mengurangi kelenturan atau elastisitas sebuah proses hukum. Tetapi memang tidak bisa proses hukum membuat orang tersandera atau teraniaaya,” tutur Arsul.
(dam)