Beri Ruang untuk Kreativitas Anak Bangsa

Jum'at, 19 Juni 2020 - 06:45 WIB
loading...
Beri Ruang untuk Kreativitas Anak Bangsa
Foto/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Langkah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menggandeng Netflix untuk menyajikan film dokumenter selama pelaksanaan belajar dari rumah memanen kritikan dari berbagai kalangan. Selain menutup ruang gerak anak bangsa berkreasi, status Netflix di Indonesia pun masih mengandung kontroversi.

Reaksi keras atas kebijakan Kemendikbud disampaikan kalangan DPR. Di antaranya Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar Dave Laksono, anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sakinah Al-Jufri. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun bersikap serupa.

Rencananya film dokumenter Netflix ditayangkan melalui program Belajar dari Rumah (BDR) di TVRI mulai 20 Juni 2020. Kemendikbud beralasan ingin memastikan agar dalam masa yang sulit ini masyarakat terus mendapatkan kesempatan untuk melakukan pembelajaran dari rumah. Salah satunya melalui media televisi dengan jangkauan terluas di Indonesia.

Adapun beberapa dokumenter pembelajaran Netflix Original yang dapat disaksikan pada program BDR antara lain Our Planet, Street Food: Asia, Tidying Up with Marie Kondo, Spelling the Dream, Chasing Coral, dan Night on Earth. Film dokumenter itu akan ditayangkan dengan terjemahan bahasa Indonesia.

“Kami merasa banyak anak bangsa yang lebih kreatif untuk membuat film dokumenter, film pendek hingga panduan belajar bagi peserta didik selama masa belajar dari rumah. Ini kenapa Kemendikbud sebagai rumah besar pendidikan di Tanah Air, malah menggandeng penyedia layanan streaming dari luar negeri untuk sekadar menyediakan film dokumenter,” ujar Syaiful Huda kepada wartawan kemarin. (Baca: China Temukan Banyak Jejak Virus Corona di Pasar Makanan Beijing)

Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu mengakui selama proses belajar dari rumah, siswa memang membutuhkan hiburan-hiburan berkualitas yang memuat unsur pendidikan. Kendati demikian harusnya kebutuhan tersebut diberikan kepada talenta maupun rumah produksi lokal untuk memenuhinya. Dia menunjuk keberadaan Pusat Film Nasional (PFN) dan banyaknya talenta lulusan Jurusan Desain Komunikasi Visual.

Dia kemudian mengingatkan, keputusan Kemendikbud bekerja sama dengan Netflix sejak awal tahun lalu sempat memicu kontroversi di masyarakat. Penyedia layanan streaming tersebut dinilai belum memenuhi kewajibannya ketika memulai bisnis di Indonesia. Selain itu Netflix juga dinilai bisa mengancam eksistensi berbagai badan usaha lokal yang bergerak di bidang industri kreatif.

“Ini agak aneh, institusi bisnis yang jelas belum memenuhi kewajibannya malah digandeng instansi negara. Ini kan seolah melegitimasi institusi lain untuk mangkir kewajiban, toh nantinya tetap bisa bergandengan tangan dengan pemerintah,” katanya.

Anggota Komisi I DPR RI Dave Laksono juga mempertanyakan kebijakan Kemendikbud mengingat status Netflix sendiri di Indonesia belum jelas seperti apa. Sepengetahuannya Netflix belum melakukan kewajiban untuk membayar pajak di Indonesia. Bahkan pajak dari aplikasi itu angkanya mencapai sekitar miliaran rupiah. "Menurut saya sebaiknya status pajaknya diperjelas dahulu, utang-utang ke negara diselesaikan, baru dijajaki kerja bersama," tutur dia.

Dave pun memandang dengan digandengnya Netflix oleh Kemendikbud juga mengancam pekerja seni lokal. Padahal sejatinya mereka juga punya kemampuan yang tak kalah dengan penyedia konten yang ada di Netflix. "Saya yakin pekerja seni dan tenaga peneliti serta pengajar kita mampu membuat konten-konten yang tak kalah hebat dan bahkan lebih sesuai dengan kurikulum Indonesia," tuturnya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2254 seconds (0.1#10.140)