Peran TTO pada Hasil Riset Diperlukan

Minggu, 25 Agustus 2019 - 10:47 WIB
Peran TTO pada Hasil Riset Diperlukan
Peran TTO pada Hasil Riset Diperlukan
A A A
JAKARTA - Potensi riset di Tanah Air Selama ini belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Hasil riset juga hanya berakhir begitu saja tanpa implementasi di masyarakat.

Peran technology transfer office (TTO) sebagai jembatan hasil riset ke industri dan pemanfaatan masyarakat sangat diperlukan.

Kementerian Riset Teknologi Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) hingga kini terus mendorong setiap lembaga mendirikan TTO untuk membantu transfer teknologi dari hasil riset ke industri.

Direktur Pengembangan Teknologi Industri Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristek Dikti Hotmatua Daulay mengungkapkan, dengan TTO hasil riset dapat diindustrialisasi sehingga dapat menjadi perusahaan baru atau bahkan diproduksi langsung oleh industri. Dukungan untuk TTO juga dengan menyediakan insentif pendirian sentra HKI, baik di lembaga litbang ataupun perguruan tinggi.

“Kemenristek Dikti juga memberikan insentif bagi pengurusan paten. Sentra HKI akan lebih kita optimalkan agar dapat berperan lebih,” tutur Hotmatua.

Program sains dan techno park juga akan menjadi pusat yang diunggulkan di sentra yang menjadi TTO. Khususnya, menurut Hotmatua, untuk pemberian insentif bagi inovasi industri, insentif sistem inovasi nasional, dan insentif program pengembangan teknologi industri.

“Dukungan mediasi, program, dan kebijakan, termasuk banyak hasil riset dari perguruan tinggi, akan didorong untuk menjadi perusahaan pemula. Direktorat eselon 2 khusus akan dibangun, yakni direktorat perusahaan pemula berbasis teknologi yang tujuannya untuk membangun perusahaan berbasis teknologi hasil riset,” jelasnya.

Salah satu lembaga riset yang akan menjadi TTO ialah Indonesia Medical Education and Research Institute (IMERI) milik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). IMERI memiliki 12 kelompok penelitian, salah satunya Drug Development Research Centre (DDRC) yang bertugas mengidentifikasi bahan atau substrak yang berpotensi menjadi obat.

Wakil Direktur IMERI Budi Wiweko mengatakan, banyak hal telah dikerjakan, mulai dari tumbuh-tumbuhan, tanaman tradisional hingga batu karang atau obat sintetik. Sasarannya penyakit kanker, kista kencing manis, dan pembuatan obat antibiotik. “Ke depan kami mengharapkan ada 1-2 riset bisa menjadi produk dari obat sintetik yang menjadi kandidat menjadi obat antibiotik. Belum ada riset dari IMERI yang diproduksi massal dan baru ada yang dilirik industri,” ungkap Budi.

Riset yang dilakukan IMERI, lanjut Budi, adalah ciplukan, yaitu obat untuk penyakit kulit dan vaksin kontrasepsi untuk pria. Kedua riset tersebut sampai saat ini masih dalam tahap penelitian lebih lanjut dengan pihak industri. Menurutnya, TTO dapat menghubungkan pusat riset dengan industri karena bahasan peneliti dengan industri beda.

Peneliti ataupun akademisi tidak akan mampu menilai riset mereka berdasarkan nilai komersialisasinya. Amerika Serikat (AS) sudah lama memiliki TTO, yakni Association University Technology Manager (AUTM). Tugasnya mengoordinasi seluruh universitas di AS. Sejak 1996-2005 AUTM mendorong 380.000 inversi dengan 80.000 sudah mendapatkan paten.

Artinya dalam 19 tahun hanya 20% invensi yang berujung mendapatkan hak paten dan memiliki potensi karena komersialisasi. Adapun negara tetangga Malaysia telah memiliki TTO, yaitu Malaysia Technology Department Corporatation (MTDC) dan hingga kini berhasil mendirikan 25 TTO. MTDC membina TTO di setiap universitas di Malaysia.

Setiap negara meyakini universitas merupakan inkubator ilmu pengetahuan dan teknologi. TTO juga menjadi harapan bagi peneliti seperti Sylvia Ayu Pradanawati yang sedang melakukan riset limbah sekam padi atau kulit gabang menjadi baterai. Riset ini dilakukan untuk memberikan listrik kepada masyarakat terpencil di Indonesia.

Penelitian yang masih berjalan hingga saat ini dimungkinkan akan dibawa ke TTO walau menurutnya masih banyak yang harus diselesaikan. Bagi Sylvia, TTO tentu akan sangat diperlukan untuk perkembangan riset. Dahulu dia pun pernah merasakan manfaat dari TTO milik Taiwan, yakni Industrial Technology Research Institute (ITRI) Taiwan. “Jadi industri dan akademia bersinergi untuk mewujudkan penelitian yang langsung dapat digunakan di industri dan masyarakat,” ujarnya.

Meskipun di Indonesia belum ada TTO yang dapat bekerja secara maksimal, Sylvia merasa dapat terus memaksimalkan semua lembaga yang sudah ada seperti LIPI, Batan, BBPT. Pengalaman memang belum ada dengan TTO di Indonesia.

Selama ini beberapa penelitiannya juga langsung ke perusahaan terkait. Hal senada dirasakan Yessi Widya Sari, peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang penelitiannya membuat bioplastik dari pemanfaatan protein mikroalga. Yessi pun tidak sabar ingin segera menemui TTO karena IPB memiliki TTO. Untuk sampai riset pada tahapan komersialisasi yang dibantu TTO, menurut Yessi, banyak hal yang harus dilakukan dalam riset.

“Pertama analisis kebutuhan pasar, harus yakin apa yang kita teliti ini memang diperlukan masyarakat. Pendekatan secara ilmiah pun harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Analisis hasil yang diperoleh secara ilmiah jangan lupa untuk didaftarkan ke HKI dan setelah semua dilakukan, segera menghubungi TTO dan mulai bangun riset untuk keluar di masyarakat,” tambahnya. (Ananda Nararya)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.6445 seconds (0.1#10.140)