Mengukur Daya Saing Produk Mainan Lokal

Minggu, 29 Juli 2018 - 15:00 WIB
Mengukur Daya Saing Produk Mainan Lokal
Mengukur Daya Saing Produk Mainan Lokal
A A A
Mainan edukatif anak terus berkembang dan mulai mengadopsi teknologi agar tetap diminati. Inovasi pengembangan mainan anak kini semakin digenjot oleh pemerintah dengan menggandeng Asosiasi Mainan Indonesia (AMI). Tujuannya agar pangsa pasar mainan lokal tak tergerus produk impor.

Ketua AMI Sutjiadi Lukas mengungkapkan, perkembangan sektor mainan anak sampai saat ini masih didominasi produk impor, terutama dari China. Karena itu, pihaknya terus berusaha untuk meningkatkan pertumbuhan produsen mainan anak Indonesia agar tak kalah bersaing dengan asing.

Satu di antara cara yang dilakukan AMI adalah menggelar kegiatan pameran mainan anak yang berlangsung di Jakarta sejak Kamis (26/7). Melalui pameran tersebut, Sutjiadi berharap investor mainan lokal yang mengadopsi teknologi semakin bertambah.

“Untuk mainan teknologi, Indonesia memang masih tertinggal, namun sudah banyak anak-anak Indonesia yang belajar membuat robot. Karena itu, ke depan saya berharap Indonesia secara perlahan dapat membuat mainan dengan menggunakan kecanggihan teknologi,” tutur Sutjiadi kepada KORAN SINDO.

Dia mengakui saat ini UKM mainan di Indonesia meningkat terutama industri mainan berbahan kayu. Sedangkan mainan berbahan plastik, meski kualitas produksi lokal masih kalah dengan produk luar, namun kini juga telah meningkat cukup signifikan.

Menurut Sutjiadi, sudah banyak mainan plastik buatan anak negeri memiliki kualitas yang sangat baik. Pameran mainan yang digelar di JI Expo Kemayoran berlangsung selama tiga hari dan menghadirkan produsen dan importir dari berbagai negara sepeti Indonesia, Malaysia, Thailand, China, dan Hong Kong.

Sutjiadi mengaku perusahaan Eropa masih belum terlibat dalam pameran ini karena AMI lebih memilih untuk bekerja sama secara langsung dengan negara produsen. Menurutnya, Indonesia akan terus berupaya untuk menjadi basecamp mainan anak-anak.

Sutjiadi mengaku Malaysia dan Singapura merasakan pasar mainan di negerinya kecil sehingga mengincar potensi yang lebih besar di Indonesia. Pameran mainan tersebut diharapkan dapat mempertemukan produsen luar negeri dan lokal untuk saling bekerja sama, sekaligus membuka kesempatan bagi produsen lokal untuk memasarkan produknya.

“Pasar kita memang luas karena faktor penduduk Indonesia yang banyak. Setiap tahun saja angka kelahiran sebanyak 4,5 juta jiwa dan angka ini menjadi pasar besar produsen mainan baik importir asing maupun produsen lokal,” ucap Sutjiadi.

Menurut Sutjiadi, pasar mainan Indonesia yang sangat besar membutuhkan kesiapan khusus pemerintah untuk menata regulasi. Kendala yang kerap dijumpai pengusaha mainan selama ini adalah inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan petugas Kementerian Perdagangan terkait standardisasi mainan yang telah ditetapkan.

Sutjiadi mengharapkan lembaga lain seperti kepolisian tidak bertindak sendiri untuk melakukan sidak. “Pengusaha dan importir kini sudah disiplin untuk mendaftarkan produk mereka agar mendapat label SNI. Kalau tidak ada SNI, tidak laku. Masyarakat Indonesia sekarang sudah cerdas,” tegasnya.

Kepala Pusat Sistem Penerapan Standar Badan Standardisasi Nasional (BSN) Wahyu Purbowasito Setyo Waskito mengaku cukup bangga dengan pengusaha yang kini semakin peduli untuk menguji produk mereka. Pemberlakuan wajib SNI mainan anak menurutnya sangat penting untuk mempertimbangkan risiko penggunaan mainan.

Beberapa risiko yang bisa ditimbulkan dari produk mainan anak dan cukup berbahaya antara lain bahaya tertelan dan tersedak. Wahyu mencontohkan aksesoris yang tertempel pada boneka yang suatu saat bisa lepas dan tertelan, rusaknya alat pendengar akibat suara yang ditimbulkan oleh mainan, dan gesekan dari benda tajam yang mudah melukai.

Karena itu, lanjut Wahyu, di era industri 4.0 beragam produk dituntut untuk aman dan terstandardisasi sehingga konsumen terlindungi. “Sudah sewajarnya pelaku usaha wajib mempunyai sertifikat produk.

Kementerian Perdagangan baru saja menandatangani MoU dengan Polri untuk mengawasi produk yang diperjualbelikan melalui online agar produk wajib SNI tetap dipatuhi para penjual melalui media online,” tuturnya.

Pemilik Kandang Maenan Julian Vitra mengungkapkan, sebagai UKM kecil dirinya sangat merasakan pesatnya perkembangan mainan anak terutama mainan edukatif. Namun, dia sangat menyayangkan tambahan biaya untuk perpanjangan izin SNI yang cukup besar.

“Kita dapat bantuan untuk pengurusan awal, tapi setelah enam bulan waktu mau perpanjang dikenakan biaya sekitar Rp20 juta,”keluhnya. Menurutnya, perpanjangan SNI sangat memengaruhi penjualan mainan anak terutama yang mengembangkan konsep bermain sambil belajar.

Pada era perkembangan informasi seperti para orang tua masa kini lebih selektif memilih mainan yang juga digunakan anak untuk bermain sambil belajar. “Sekolah untuk anak usia dini semakin banyak sehingga permintaan tinggi.

Namun, syarat SNI harus dipenuhi jika ingin mainan masuk sekolah, maka perpanjangan izin SNI sangat kami perlukan,” ucapnya. Peningkatan pasar mainan edukatif juga dirasakan oleh produsen mainan interaktif 3DuPlay.

Direktur PT Buana Mas Sejati Johan Sutadi Tandanu yang memproduksi 3DuPlay karpet interaktif dengan bantuan augmented reality (AR) mengatakan, karpet yang biasa hanya menjadi alas kini dapat digunakan untuk belajar dan bermain. Kecanggihan teknologi melalui AR menjadi inovasi terbaru dan kini sedang diminati oleh pasar.

Meskipun masih menggunakan gawai untuk bermain, Johan meyakini 3DuPlay membuat anak tidak diam saja, namun ada interaksi. 3DuPlay, menurutnya, memproduksi tiga jenis karpet bergambar jalan raya, dinosaurus, dan bergambar hewan.

Aplikasi dapat diunduh pada gawai lalu diarahkan ke karpet 3DuPlay dan gambar pun akan keluar. Dalam permainan tersebut, jalan raya dapat digunakan untuk layaknya menyetir, gambar dinosaurus dapat mengajak anak seolah-olah memberi makan dinosaurus yang hidup, sedangkan karpet bergambar hewanhewan dapat mengedukasi anak mengenal nama-nama hewan.

“Jadi ini mainan yang multifungsi, ketika sudah tidak digunakan dapat dijadikan alas yang aman,” ujarnya. Plt Deputi Produksi dan Pemasaran Kementrian Koperasi dan UKM Rosdiana mengatakan, UKM mainan di Indonesia masih rendah kesadaran SDM atau pelaku produsen mainan untuk memperkuat kelembagaan usahanya.

UKM mainan anak masih kurang bersemangat dalam mengurus izin usaha dan mendaftarkan produk. Beberapa produk yang dihasilkan bahkan kurang memiliki nilai tambah sehingga kurang laku di pasar. Termasuk di antaranya menurut Rosdiana adalah kurang inovasi dan kreativitas dalam pengembangan mainan edukasi.

“Padahal, peran UKM produsen mainan dapat menyerap tenaga kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat, dan membantu menekan kemiskinan. Karena pasar mainan di Indonesia sangat besar, kesempatan ini harus digunakan sebaik-baiknya,” jelasnya. Rosdiana menegaskan, untuk meningkatkan posisi tawar UKM sangat diperlukan agar para UKM dapat bergabung dalam wadah koperasi.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7916 seconds (0.1#10.140)