Hanya Ada 65 Perguruan Tinggi yang Terakreditasi A

Selasa, 06 Maret 2018 - 10:51 WIB
Hanya Ada 65 Perguruan Tinggi yang Terakreditasi A
Hanya Ada 65 Perguruan Tinggi yang Terakreditasi A
A A A
JAKARTA - Dari 4.500 lebih perguruan tinggi yang ada di Tanah Air, baru 65 saja yang sudah menyandang status terakreditasi A.

Masih banyaknya kampus yang belum terakreditasi A karena belum siap dari struktur organisasi, infrastruktur, dan kualitas dosen. Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek- Dikti) Mohammad Nasir mengatakan, pemerintah akan melakukan pendampingan terhadap kampus-kampus tersebut.

“Ini harus diperbaiki terus. Maka perguruan tinggi yang kecil-kecil ini, harapan saya dimerger supaya lebih kuat,” tandas Nasir saat memberikan kuliah umum “Kebijakan Nasional Pendidikan Tinggi Indonesia Menghadapi Revolusi Industri 4.0” di Kampus UHAMKA, Jakarta, kemarin.

Mantan rektor Universitas Diponegoro ini mengatakan, sebetulnya jumlah kampus yang berakreditasi A ini sudah ada peningkatan semenjak awal dirinya menjabat. Saat itu, ungkapnya, baru ada 19 perguruan tinggi yang berakreditasi A.

Kemudian, dia pun mendorong ada perubahan cara pandang agar jumlah ini bertambah terus, yakni dengan bukan memberikan hukuman, melainkan memberikan pembinaan bagi kampus yang akreditasinya masih rendah.

Menristek-Dikti menyampaikan, dari 65 perguruan tinggi itu sudah banyak kampus swasta yang masuk. Dia mencontohkan UHAMKA yang bukan hanya UHAMKA Jakarta, melainkan juga UHAMKA di beberapa cabang kota juga berakreditasi A.

“Dulu saat 19 per guruan tinggi hanya ada satu PTS (yang terakreditasi A). Sekarang sudah banyak. Ini menandakan pembelajaran yang sangat baik sekali,” ungkap Nasir.

Guru Besar Akuntansi Undip ini menerangkan, Kemenristek-Dikti menargetkan ada 75-80 perguruan tinggi yang akan menyandang akreditasi A tahun ini. Kemenristek-Dikti," ujarnya, tidak akan menginter vensi proses pengakreditasian yang dilakukan Badan Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT).

Yang dilakukan Kemenristek-Dikti adalah melakukan pendampingan oleh tim dari Ditjen Kelembagaan Kemenristek-Dikti.

Nasir mengingatkan bahwa riset, teknologi, dan pendidikan tinggi memiliki peran penting dalam membangun daya saing serta meningkatkan kesejahteraan sosial dan keadilan.

Terlebih, memasuki era revolusi industri keempat, bangsa Indonesia harus mampu mengeksplorasi diri agar dapat berdaya saing. Pasalnya, dampak dari globalisasi dapat melemahkan kedaulatan nasional.

“Pendidikan tinggi dan pelatihan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta inovasi dan ratifikasi bisnis dianggap mampu mengurangi kesenjangan sosial,” ujarnya.

Untuk itu, Nasir menjelaskan kebijakan baru pemerintah dalam menghadapi era revolusi industri 4.0, khususnya program kelembagaan, pembelajaran, dan kemahasiswaan. Diantaranya reorientasi kurikulum untuk membangun kompetensi yang diperlukan oleh revolusi industri 4.0, di mana membebaskan nomenklatur program studi untuk mendukung pengembangan kompetensi industri 4.0.

“Saya selalu menekankan bahwa prodi harus menyesuaikan perkembangan zaman. Tidak harus terikat nomenklatur yang ada. Yang penting adalah rumpun ilmunya,” ujarnya.

Nasir juga membeberkan kebijakan lainnya yaitu membangun teaching factory industry 4.0 dan melaksanakan perkuliahan online.

Menurut Nasir, perkuliahan online atau pendidikan jarak jauh (PJJ) ditujukan untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas pendidikan tinggi secara fleksibel lintas-ruang serta waktu dengan menggunakan teknologi informasi.

Sistem perkuliahan online ini bisa dilaksanakan pada mata kuliah, prodi, dan perguruan tinggi yang telah berbasis cyber university. Indonesia sendiri memiliki Universitas Terbuka (UT) yang telah dikembangkan lebih lanjut, yang berperan sebagai Cyber University of Indonesia.

“Pelaksanaan PJJ harus memperhatikan kualitas, memenuhi standar PJJ yang meliput aspek sumber daya, tata kelola, sarpras, capaian dan penyelenggaraan pembelajaran,” ujarnya.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haidar Nashir mengatakan, Muhammadiyah memiliki 173 perguruan tinggi yang tersebar di seluruh Indonesia. Kualitasnya beragam dari kampus kualitas atas, menengah, dan rendah.

Menurut dia, untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi Muhammadiyah ini maka pihaknya akan ber kon solidasi untuk memperkokoh sinergi dan kolaborasi di internal Muhammadiyah.

“Untuk meningkatkan kualitas, Muhammadiyah sudah berani berekspansi. Sebelumnya sudah ada penjajakan dengan beberapa perguruan tinggi di Eropa, Australia, Korea Selatan, serta China untuk menjajaki kerja sama,” ungkapnya.

Dalam konteks dinamisasi, Muhammadiyah juga akan terus meningkatkan kualitas. Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Budi Sudjatmiko menyatakan masih banyaknya perguruan tinggi yang belum terakreditasi A karena faktor human error, yakni faktor kesalahan pada pengelola dan sistem akademik.

Namun, faktor human error ini semestinya bisa diantisipasi dengan adanya peringatan dini satu tahun sebelum habis masa akreditasi, sehingga pengelola kampus pun bisa menyiapkan segalanya.

“Karena akreditasi itu umurnya lima tahun. Yang terjadi adalah biasanya umur rektor dan ketua prodi empat tahun. Saat mereka mengisi, biasanya baru berjalan menjadi ketua prodi 1-2 tahun sudah habis dan dia tidak punya pengalaman lalu dia buat sendiri tanpa tim dan biasanya selesainya lama. Bisa sampai satu tahun,” ungkapnya. (Neneng Zubaidah)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2840 seconds (0.1#10.140)