Mengatasi Subsidi BBM Tak Tepat Sasaran

Rabu, 24 Desember 2014 - 21:19 WIB
Mengatasi Subsidi BBM Tak Tepat Sasaran
Mengatasi Subsidi BBM Tak Tepat Sasaran
A A A
SUBSIDI bahan bakar minyak (BBM) dari tahun ke tahun selalu menjadi perdebatan sengit berbagai kalangan. Bagaimana tidak? Anggaran subsidi yang digelontorkan hampir Rp300 triliun menguap begitu saja. Apalagi selama ini pemberian subsidi BBM dinilai tidak tepat sasaran.

Tahun 2014, sebagai momentum pergantian rezim kepemerintahan, dari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sejumlah upaya dalam mengatasi polemik subsidi BBM dilakukan kedua pemerintahan tersebut.

Di era SBY, pemerintah melakukan upaya pengalihan peruntukkan subsidi melalui kebijakan menaikkan harga BBM subsidi, yang akhirnya secara resmi diumumkan pada 22 Juni 2013 lalu oleh Jero Wacik (Saat itu menjabat Menteri ESD) sebesar Rp2.000 per liter.

"Kami ingin menyampaikan bensin Premium atau gasoline RON 88 menjadi Rp6.500 per liter, kedua minyak solar gas oil menjadi Rp5.500 per liter," ujar Jero di gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (21/6/2013).

Jero menyebutkan, kenaikan harga tersebut mulai berlaku pada Sabtu (22/6/2013) pukul 00.00 WIB.

"Harga tersebut berlaku serentak di seluruh Indonesia terhitung 22 Juni 2013 pukul 00.00 WIB. Demikian pengumuman ini untuk diketahui dan dilaksanakan," tuturnya.

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menegah (UKM) era SBY, Syarief Hasan menyebutkan, dari pengurangan subsidi BBM, pemerintah bisa melakukan penghematan cukup banyak.

"Pengurangan subsidi akan menghasilkan penghematan dana hingga Rp27 triliun," jelasnya dalam pembukaan Cooperative Fair di Lapangan Gasibu, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (21/6/2013).

Penghematan dana itu nantinya akan dilakukan untuk proteksi sosial, salah satunya Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).

BLSM sendiri hanya akan diberikan selama kurun empat bulan. Dalam kurun waktu itu, pemerintah akan mengendalikan inflasi.

Pemerintahan SBY menilai, kenaikan harga BBM bersubsidi sebagai langkah penting untuk mendorong peningkatan belanja bagi program-program bantuan sosial, seperti Program Kompensasi Khusus.

Salah satu contohnya BLSM untuk 15,5 juta keluarga termiskin di Indonesia selama empat bulan.

Selain itu, reformasi subsidi BBM akan membantu memperkecil defisit APBN 2013, yaitu sebesar Rp42 triliun untuk tahun ini. Di mana tingkat kemiskinan diperkirakan akan mengalami penurunan menjadi 9,4% pada Maret 2013.

Kemudian pada pertengahan 2014, pemerintah dan DPR memutuskan untuk memangkas kuota BBM bersubsidi dari sebelumnya 48 juta kiloliter (kl) di APBN 2014, dan mematoknya menjadi 46 juta kl di APBN-Perubahan (APBN-P) 2014.

Pemangkasan ini lantaran perhitungan konsumsi pada empat bulan pertama yang hanya mencapai 15 juta kl.

Jero pun mengaku optimis bisa mengendalikan konsumsi BBM. Sebab itu, dia mengimbau masyarakat untuk tidak mengkonsumsi BBM bersubsidi ketika Lebaran dan tahun baru.

Jumlah kuota BBM yang tercantum dalam APBNP 2014 ini turun 2 juta kl dari kuota BBM subsidi dalam APBN 2014 sebesar 48 juta kl.

Dia optimis, meski kuota ditekan namun tidak akan terjadi kebocoran kuota BBM.

"Lebaran dan tahun baru, saya mengimbau masyarakat jangan meminta (BBM) yang bersubsidi. Belilah yang non subsidi," ucap dia di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (1/7/2014).

Namun, prediksi mantan Menteri Budaya dan Pariwisata itu salah. PT Pertamina (Persero) memperkirakan bahwa konsumsi BBM bersubsidi sampai akhir tahun bisa terlampaui hingga 1,9 juta kl dari kuota dalam APBN-P 2014 sebesar 46 juta kl.

Pemerintahan SBY pun akhirnya melakukan sejumlah upaya agar kuota yang dipatok sebesar 46 juta kl tidak jebol. Upaya tersebut dilakukan dengan kebijakan pengkitiran/penjatahan penjualan BBM subsidi di sejumlah wilayah.

Melalui surat edaran dari Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) mengenai pembatasan penggunaan dan penjualan BBM subsidi, ditegaskan bahwa bahan bakar solar bersubisidi mulai 1 Agustus 2014 dilarang diperjualbelikan di daerah Jakarta Pusat.

Selain itu, mulai 6 Agustus 2014 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang berada di rest area jalur tol dilarang menjual BBM jenis premium.

Namun, selang dua pekan setelah beredarnya surat tersebut, kebijakan pengkitiran penjualan BBM subsidi kembali dicabut. Hal tersebut lantaran terjadinya panic buying di masyarakat, dan tidak membantu mengurangi konsumsi BBM subsidi.

Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina (Persero) Hanung Budya mengatakan, dengan dicabutnya kebijakan tersebut, penjualan bahan bakar primadona tersebut diprediksi akan meningkat 30% dari penjualan normal.

Kuota BBM bersubsidi yang dipatok pemerintah sebesar 46 juta kiloliter (KL) diprediksi akan melebihi kuota sebanyak 1,35 juta KL.

"Saya lapor, menurut perhitungan kami, kuotanya tidak cukup sampai akhir tahun. Pemerintah bilang ini tanggung jawab pemerintah," ucapnya di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (27/8/2014).

Sejumlah kalangan menilai, solusi terbaik untuk mencegah jebolnya kuota BBM subsidi sebesar 46 juta kl, dengan kembali menaikkan harga BBM subsidi.

Sayang, hingga di akhir masa pemerintahannya, SBY tidak kunjung menaikkan harga BBM subsidi, dengan alasan dalam proses transisi masa pemerintahan.

Kebijakan menaikkan harga BBM subsidi dengan dalih untuk menyejahterakan rakyat pun pada akhirnya baru terealisasi di masa pemerintahan Jokowi.

Presiden Jokowi mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp2.000 per liter pada Selasa (18/11/2014), pukul 00.00 WIB.

"Saya selaku Presiden menetapkan harga BBM baru yang berlaku pukul 00:00 WIB sejak tanggal 18 November 2014 dengan kenaikan sebesar Rp2.000 per liter," ujar Jokowi di Istana Negara, Senin (17/11/2014) malam.

Selain mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM subsidi, pemerintahan Jokowi yang baru hitungan bulan juga berencana menetapkan skema subsidi tetap (fix subsidy) untuk BBM, yang mekanismenya mengikuti harga pasar.

Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro menegaskan, pemerintah siap mengimplementasikan kebijakan subsidi tetap untuk BBM pada Januari 2015.

"Subsidi tetap memang sudah seharusnya Januari 2015. Mekanismenya memang subsidi tetap," ujarnya di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (18/12/2014).

Namun, hingga saat ini pemerintah belum menetapkan mengenai besaran subsidi tetap yang akan diterapkannya di awal 2015.

Tinggal masyarakat yang menilai, akankah penerapan subsidi tetap BBM ini akan menjawab permasalahan dari ketidaktepatan peruntukkan BBM subsidi yang selama ini jadi polemik? Atau hanya menjadi rentetan kebijakan yang akan terlupakan seiring waktu berjalan.

Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Aviliani mengemukakan, rencana pemerintahan Jokowi yang akan menerapkan kebijakan subsidi tetap untuk BBM pada 2015 sebagai langkah tepat.

Hal tersebut akan membantu menggiring masyarakat untuk bermigrasi menggunakan BBM non subsidi.

"Ya, itu lebih bagus (subsidi tetap). Karena dengan subsidi tetap itu dan ada hitung-hitungannya. Misalnya kalau subsidi itu di bawah Rp2.500, itu cenderung orang memilih yang tidak perlu subsidi BBM nya. Itu lebih bagus, jadi mengurangi orang yang menggunakan subsidi BBM juga," ujarnya kepada Sindonews.

Menurut Aviliani, dengan diterapkannya subsidi tetap untuk BBM, maka pemerintah bisa mengalokasikan subsidi dengan lebih mudah, dan tidak menyebabkan anggaran yang digelontorkan untuk subsidi BBM di Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2015 jebol.

Dia menyebutkan, angka yang tepat untuk subsidi tetap BBM pada 2015, berkisar antara Rp2.000-Rp2.500 per liter.

Angka tersebut dipatoknya agar disparitas harga antara BBM subsidi dan non subsidi tidak terlalu lebar. Sehingga tidak justru menyebabkan orang beralih ke BBM subsidi.

"Ya, lebih baik begitu (Rp2.000-Rp2.500), jadi orang lebih memilih enggak menggunakan yang subsidi gitu. Kalau selisihnya banyak, orang yang tadinya enggak pakai yang subsidi malah pakai yang subsidi. Jadi saya setuju dengan subsidi tetap," terang Aviliani.

Kendati demikian, dia mengingatkan, bahwa skema subsidi BBM yang paling tepat adalah subsidi kepada orang, bukan kepada barang.

Dia mencontohkan, subsidi BBM tersebut diberikan kepada pengendara motor Rp2.500 per liter. Pemberian subsidi tersebut dilakukan dengan cara memotong jumlah pajak yang harus dibayarkan si pengendara motor tiap tahunnya, sesuai jumlah subsidi yang diberikan.

Misalnya, pengendara motor disubsidi Rp2.500 dikali berapa liter. Nanti pada akhir tahun, pajak yang harus dibayarkan pengendara motor akan dikurangi dengan subsidi yang diberikan.

"Jadi, hitung-hitungannya berapa yang mau disubsidi. Sehingga, terdata siapa yang menggunakan BBM subsidi. Kalau sekarang siapa saja boleh, mau diselundupkan enggak bisa dipertanggungjawabkan juga," tandasnya.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6138 seconds (0.1#10.140)