Cerita Guru Mengajar dari Rumah, Tingkat Stres Tinggi, Tekanan Darah Naik

Minggu, 12 Juli 2020 - 15:47 WIB
loading...
Cerita Guru Mengajar dari Rumah, Tingkat Stres Tinggi, Tekanan Darah Naik
FOTO/SINDOnews/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Sejak pandemi Covid-19 melanda Tanah Air pada Maret 2020, semua aktivitas berkumpul dan tatap muka dialihkan secara jarak jauh dari rumah maisng-masing, termasuk kegiatan belajar mengajar (KBM).

SINDO Media mencoba menelusuri kisah yang dialami langsung oleh beberapa guru yang harus mengajar model jarak jauh ini. Mayoritas para guru ini merupakan pengajar di beberapa sekolah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Jabar).

Banyak pengalaman baru yang mereka alami, pengalaman unik, lucu, sampai bikin stres hingga jatuh sakit. “Aku kan ngajar matematika dan kimia kelas X SMK, ada (murid) yang baru pada bangun tidur. Padahal udah dibatasin absen lewat whatsapp grup sampai 15 menit aja (toleransi keterlambatan) tetep aja pada lewat. Akhirnya yang telat japri (jalur pribadi/pesan langsung),” kata Guru SMK Swasta di Kecamatan Parung, Ahda Memoria, Minggu (12/7/2020). (Baca juga: Besok SKD CPNS Sekolah Kedinasan Digelar di 49 Lokasi)

Terkait pola pengajaran, Ahda mencoba mengajarkan matematika yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang mereka ketahui. Dia pun bersyukur karena materi saat PJJ kemarin adalah trigonometri, sehingga tidak hanya fokus pada hitung-hitungan saja karena lebih mengaitkan pelajaran pada kehidupan sehari-hari.

“Aku sharing soal bangunan-bangunan yang punya arsitektur unik, orang lagi mancing, terus masalah arah kiblat yang berhubungan dengan trigonometri. Sehabis belajar aku sempetin nanya, hal apa yang bisa kalian ambil abis pelajarin ini, hal yang biasanya di kelas suka diabaikan,” terangnya.

Ahda melanjutkan, untuk mata pelajaran kimia, murid-muridnya lebih berusaha untuk memperhatikan penjelasan lewat percakapan di grup Whatsapp. Misalnya, materi korosi atau perkaratan, muridnya jadi lebih memahami bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini bereaksi dan tidak terjadi begitu saja. Feedback dari muridnya pun positif dan lebih mengena ke intinya karena pola pembelajaran bisa dieksplor oleh masing-masing guru.

“Kalau PJJ ini sih, aku lebih ngukur diri aku sendiri jadinya. Kan kadang jadi guru kita diusahakan biar kurikulum tuntas. Kadang bingung ngukur kemampuan murid gimana, untuk mencapai standard aja kadang masih jauh. PJJ ngajarin kita ‘bebas’ ngerancang pembelajaran buat murid kayak apa ya enaknya. Yang penting logikanya dapet, pembelajaran kontekstualnya juga dapet,” ujarnya.

Meski demikian, Ahda juga mengalami hambatan yakni komunikasi, karena pola pengajaran hanya melalui pesan singkat Whatsapp grup. Kadang ada tumpang tindih murid yang bertanya, sesuatu yang sudah ditanyakan murid A ditanyakan kembali oleh murid B. Saat diberi tugas pun, beberapa murid sering terlewat karena belum terbiasa. Masalah sinyal dan murid yang malas mengikuti pelajaran pun ikut berkontribusi.

“Ada murid yang ngilang. Muncul awal-awal doang abis absen. Ada yang kehilangan sinyal. Ada yang beli gas dulu. Jadi, mereka kalau di rumah memang begitu hambatannya. Tinggal di daerah susah sinyal dan orang tua yang nggak semuanya punya HP, karena masih menengah ke bawah juga,” ungkapnya.

Hal serupa disampaikan guru honorer SMP negeri di Kabupaten Bogor, Nurul. Dia mengaku sedih karena rindu mengajar di kelas. Terlebih, keterbatasan akses internet dan gawai yang tidak dimiliki oleh semua anak murid juga menjadi tantangan tersendiri.

“Dimaklumi sih, keadaannya lagi kayak gini, tapi ada juga yang meremehkan. Yang meremehkan itu dia punya fasilitas dari orang tuanya tapi malah keluyuran nggak belajar,” katanya.

Menurut Nurul, PJJ ini sangat bergantung pada pengawasan orang tua. Sementara, kondisi setiap keluarga berbeda-beda, ada juga orang tua yang terkena PHK atau penghasilannya berkurang. Sehingga, setiap anak tidak bisa mendapatkan akses pendidikan yang sama saat pendemi ini.

Namun demikian, dia mengakui bahwa saat PJJ ini kesadaran belajar murid lebih tinggi karena, tanpa disuruh belajar pun mereka akan selalu bertanya materi yang akan dibahas atau belum dipahami. Sayangnya, dia pun harus mengemis saat meminta setoran tugas. “Belajar di rumah tingkat stresnya malah meningkat, ngajar dari rumah juga tensi darah naik. Aku sampe gejala tifus,” keluhnya.
(nbs)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1243 seconds (0.1#10.140)