Isolasi Mandiri Tidak Cocok Diterapkan di Permukiman Padat Penduduk
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penyebaran virus corona ( Covid-19 ) masih terjadi, terutama di kota-kota besar di Indonesia. Permukiman padat penduduk menjadi titik rawan karena interaksi penduduknya sangat tinggi.
Pakar epidemiologi Pandu Riono menerangkan, penularan Covid-19 ini terjadi antarmanusia dan dipengaruhi oleh pertemuan dan kontak dengan orang. Dia menilai sulit menerapkan protokol kesehatan, seperti jaga jarak, mencuci tangan, dan menggunakan masker, di permukiman padat penduduk.
Alasannya, masyarakat di permukiman padat itu kerap berkerumun, akses air bersih untuk tangan belum memadai, dan siapa yang menyediakan masker untuk mereka. Dia mengkritik kebijakan pemerintah yang memperbolehkan orang positif Covid-19 isolasi mandiri di rumah. Tentu kebijakan itu tidak cocok untuk permukiman padat penduduk karena rumah mereka biasanya berukuran kecil. Dosen Universitas Indonesia menyebut isolasi mandiri di rumah itu membahayakan.
"Di beberapa wilayah menularkan ke keluarganya dan ada yang meninggal. Ini kebijakan yang tidak baik. Tidak semua keluarga bisa melakukan isolasi di rumah. Harus dicek (ukuran dan fasilitas) di rumahnya," ucapnya dalam diskusi daring dengan tema 'Urgensi Penanganan Permukiman Padat Penduduk Menghadapi Covid-19', Kamis (9/7/2020). ( ).
Dia mengatakan, harus ada antisipasi dari pemerintah dan masyarakat untuk mencegah Covid-19 masuk ke permukiman kumuh karena bisa menjalar dengan cepat ke banyak orang. Salah satu contohnya, yakni di Singapura yang terjadi di permukiman pekerja migran.
Pandu menjelaskan, setiap ada kasus di permukiman padat harus cepat dilakukan pelacakan terhadap orang yang kontak. Namun, dia tidak menyarankan menggunakan rapid test karena tidak efektif dan hanya mengidentifikasi antibodi bukan virus.
"Yang perlu diidentifikasi itu orang yang membawa virus. Kebijakan pada pasar dan permukiman kumuh itu tes rapid. Yang negatif tidak terdeteksi (Covid-19) padahal kemungkinan mereka terinfeksi karena antibodi itu baru akan terbentuk seminggu. Harusnya PCR," pungkasnya. ( ).
Pakar epidemiologi Pandu Riono menerangkan, penularan Covid-19 ini terjadi antarmanusia dan dipengaruhi oleh pertemuan dan kontak dengan orang. Dia menilai sulit menerapkan protokol kesehatan, seperti jaga jarak, mencuci tangan, dan menggunakan masker, di permukiman padat penduduk.
Alasannya, masyarakat di permukiman padat itu kerap berkerumun, akses air bersih untuk tangan belum memadai, dan siapa yang menyediakan masker untuk mereka. Dia mengkritik kebijakan pemerintah yang memperbolehkan orang positif Covid-19 isolasi mandiri di rumah. Tentu kebijakan itu tidak cocok untuk permukiman padat penduduk karena rumah mereka biasanya berukuran kecil. Dosen Universitas Indonesia menyebut isolasi mandiri di rumah itu membahayakan.
"Di beberapa wilayah menularkan ke keluarganya dan ada yang meninggal. Ini kebijakan yang tidak baik. Tidak semua keluarga bisa melakukan isolasi di rumah. Harus dicek (ukuran dan fasilitas) di rumahnya," ucapnya dalam diskusi daring dengan tema 'Urgensi Penanganan Permukiman Padat Penduduk Menghadapi Covid-19', Kamis (9/7/2020). ( ).
Dia mengatakan, harus ada antisipasi dari pemerintah dan masyarakat untuk mencegah Covid-19 masuk ke permukiman kumuh karena bisa menjalar dengan cepat ke banyak orang. Salah satu contohnya, yakni di Singapura yang terjadi di permukiman pekerja migran.
Pandu menjelaskan, setiap ada kasus di permukiman padat harus cepat dilakukan pelacakan terhadap orang yang kontak. Namun, dia tidak menyarankan menggunakan rapid test karena tidak efektif dan hanya mengidentifikasi antibodi bukan virus.
"Yang perlu diidentifikasi itu orang yang membawa virus. Kebijakan pada pasar dan permukiman kumuh itu tes rapid. Yang negatif tidak terdeteksi (Covid-19) padahal kemungkinan mereka terinfeksi karena antibodi itu baru akan terbentuk seminggu. Harusnya PCR," pungkasnya. ( ).
(zik)