Pemilu 2014: Lain Pilpres Lain Pileg

Jum'at, 22 Agustus 2014 - 14:05 WIB
Pemilu 2014: Lain Pilpres Lain Pileg
Pemilu 2014: Lain Pilpres Lain Pileg
A A A
KETIKA Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof Jimly Asshiddiqie menilai penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 lebih baik dibanding pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pileg) 2014, tampaknya yang dimaksudkan adalah dalam hal kuantitas kecurangan yang diadukan ke dewan tersebut.

Hal itu dibuktikan dengan argumen kuantitatif yang dikemukakannya, yaitu minimnya pengaduan perkara atas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam Pilpres 2014 dibandingkan Pileg 2014.

Jika itu merupakan kebenaran, bagaimana kita membaca fenomena berikut ini: hanya satu hari saja setelah pemungutan suara Pilpres (9 Juli 2014) KPU, Koalisi Masyarakat Sipil (antara lain Imparsial, Kontras, dan Divisi Korupsi Politik ICW), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara bersama-sama mengeluarkan peringatan keras kepada berbagai pihak akan terjadinya manipulasi dan kecurangan dalam proses penghitungan suara (lihat KORAN SINDO, 11 Juli 2014; Kompas, 11 Juli 2014).

KPU, misalnya saja, mengancam PPS dan PPK yang nakal dan menegaskan posisinya sebagai tidak ada toleransi bagi mereka yang coba-coba mendistorsi, memanipulasi, dan melakukan kejahatan pemilu yang mencederai suara pemilih. Mereka, demikian KPU melanjutkan ancamannya, bisa dikenai pasal pidana jika terbukti membengkokkan kemurnian suara pemilu.

Dengan retorika yang mengagumkan, Komisioner KPU Ida Budhiati mengatakan “hukum harus ditegakkan setegak-tegaknya kepada setiap orang yang melakukan kejahatan terhadap pemilu” (Kompas, 11 Juli 2014).

Koalisi Masyarakat Sipil (antara lain Imparsial, Kontras, dan Divisi Korupsi Politik ICW) bahkan perlu menghadap Wakil Kepala Polri (Wakapolri) mendesak Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mengawal dan mengawasi penghitungan suara di tingkat daerah sampai pusat.

Eksponen KMS menegaskan dengan kata-katanya sendiri bahwa pergerakan atau tahapan penghitungan suara sangat rentan dimanipulasi, dan oleh karena itu diperlukan gerakan agar jangan sampai pilihan politik rakyat dirusak dengan menghalalkan segala cara.

Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun sepertinya tidak mau ketinggalan– kereta yang masih akan lewat–menyatakan bahwa “KPK tidak tidur” (mungkin beranalogi dengan adagium Jawa yang akhir-akhir ini cukup populer dan bernas: Gusti Allah ora sare ...hehehe ) dan akan terus mengawasi KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu agar tidak main-main dan kongkalikong dengan calon presiden untuk memanipulasi hasil pemungutan suara pilpres.

KPK pergi lebih jauh lagi meminta masyarakat melaporkan ke KPK apabila menemukan KPU dan Bawaslu terindikasi melakukan tindak pidana korupsi untuk memanipulasi suara rakyat. Katanya ini persoalan bangsa dan negara secara luas.

Dengan tak kurang retoriknya Jubir KPK Johan Budhi menegaskan: “saya kira KPU dan Bawaslu tidak akan main-main, dan jangan main-main, terhadap persoalan bangsa dan negara karena KPK tidak tidur. Silakan laporkan, KPK bisa masuk ke sana karena KPU dan Bawaslu itu penyelenggara negara”.

KPK memandang perlunya ditingkatkan kewaspadaan terhadap KPU dan Bawaslu. Publik perlu terlibat mengawasi penghitungan suara secara lebih intensif. KPK menilai ada potensi terjadinya tindak pidana korupsi dalam konteks penghitungan suara pemilu presiden (Kompas, 11 Juli 2014).

Nyolong Pethek

Pernyataan-pernyataan dan langkah-langkah yang secara retoris penuh dengan nuansa kekhawatiran dan kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya kecurangan penghitungan suara Pilpres 2014 yang seperti itu sama sekali tidak terdengar prolog dan epilog Pileg 2014 yang kata ketua DKPP lebih jelek dari Pilpres 2014 itu. Sungguh ada aroma anakronisme di sana.

Mungkin bagi KPU, KPK, dan Koalisi Masyarakat Sipil, Pileg 2014 tidaklah segenting dan sepenting Pilpres 2014: “cuma” untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD; sementara Pilpres adalah untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dipandang lebih penting dan karena itu lebih mendapatkan kepedulian. Maka biarkan saja kalau dalam Pileg terjadi kecurangan dalam proses rekapitulasi suara secara berjenjang.

Malah, kalau tidak salah beberapa eksponen lembaga-lembaga tersebut sempat menyalahkan para calon anggota legislatif (caleg) yang hanya berani berkata-kata saja dan tidak menyampaikan gugatan atas kecurangan dalam pileg yang ditemuinya di lapangan.

Artinya, para caleg sendiri yang harus mengawasi pileg dan mengumpulkan bukti-bukti kecurangan, sementara penyelenggara pileg menunggu laporan saja.

Para pimpinan lembaga-lembaga itu lupa atau pura-pura tidak tahu bahwa untuk menyampaikan gugatan diperlukan alat-alat bukti yang untuk mengumpulkannya saja diperlukan dana yang sangat besar yang itu jelas di luar kemampuan finansial kebanyakan para caleg yang berkantong pas-pasan.

Apalagi dalam pileg, peserta pemilu secara de jure adalah parpol, tetapi de facto adalah caleg. Berbeda sama sekali dengan pilpres di mana peserta pemilu adalah capres dan cawapres. Fatalnya caleg bukanlah subjek hukum yang berhak melakukan gugatan. Tak heran jika banyak gugatan ke MK ditolak di awal-awal tahap pemberkasan.

Diskriminasi politik ini memang bukan hanya dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut di atas, melainkan juga oleh media dan ironisnya oleh para pimpinan parpol sendiri.

Lihat saja fenomena ini: berbeda dengan sehabis pilpres, para ketua umum partai politik koalisi tidak ada satu pun yang alih-alih mengantarkan gugatan kecurangan dalam Pileg 2014 ke MK, bahkan sekadar mempersoalkannya pun tidak dilakukan.

Sementara ketika menyangkut dugaan kecurangan dalam Pilpres mereka dengan penuh antusiasme turun gunung mengajukannya ramairamai ke MK, bahkan ke polisi. Betapa diskriminatifnya elite-elite parpol dalam menyikapi dugaan kecurangan dalam Pilpres dan Pileg. Benar-benar semuanya nyolong pethek!

DPR Kuat: Menunggu Godot
Walhasil, sikap dan pernyataan-pernyataan yang nyolong pethek tersebut membuat kekhawatiran saya selama ini bahwa di negeri ini ada diskriminasi yang sangat mencolok dalam memandang Pileg dan Pilpres benar adanya.

Kepedulian pada Pilpres yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sangatlah besar. Sementara kepedulian pada Pileg yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang notabene secara eksplisit diamanatkan konstitusi hanyalah ala kadarnya saja.

Begitu “tidak penting”-nya lembaga legislatif maka berbagai kecurangan dalam Pileg juga tidak perlu terlalu diambil pusing. Apa yang disebut sebagai kecurangan dalam pileg itu hanyalah dramatisasi belaka dari para caleg yang kalah saja. Maka untuk memenuhi jadwal dan kalender politik demokrasi berikutnya agar dapat terus berjalan mereka menganggap tidak ada kecurangan sama sekali dalam Pileg.

Tidak heran jika lembaga legislatif kita dari dulu sampai sekarang selalu menjadi sasaran gelombang kritik-kritik keras terkait dengan kualifikasi para wakil rakyat dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Para anggota legislatif juga dikritik sebagai lebih besar mewakili partai dari pada rakyat dan bekerja lebih berdasarkan petunjuk pelaksanaan (juklak) atau tuntunan praktis (tuntis) dari pimpinan partainya masing-masing dari pada berdasarkan aspirasi rakyat. Jika demikian halnya maka jalan bagi negara ini untuk memiliki lembaga legislatif yang kuat dan berwibawa masih cukup jauh.

Sebagai seorang parlementarian (saya di DPR selama empat periode: nyaris dua puluh tahun!), saya iri dengan Pilpres yang selalu dianakemaskan, sementara Pileg dianaktirikan.

Kecenderungan diskriminatif ini tampak pada berbagai titik dalam mata rantai pelaksanaan Pileg, baik prolog maupun epilog. Tak heran manakala Presiden dan lembaga eksekutif semakin kuat, sementara lembaga legislatif semakin dipandang sebelah mata. Anda menunggu DPR yang kuat? En attendant Godot, kata Samuel Beckett. Waiting for Godot, Menunggu Godot! ?

HAJRIYANTO Y THOHARI
Wakil Ketua MPR RI
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5862 seconds (0.1#10.140)