Permainan 'Asap dan Cermin' dalam RUU Sisdiknas

Kamis, 22 September 2022 - 14:25 WIB
loading...
Permainan Asap dan Cermin dalam RUU Sisdiknas
Indra Charismiadji (Foto: indracharismiadji.com)
A A A
Indra Charismiadji
Wakil Ketua Umum DPN Vox Point Indonesia Bidang Pendidikan

SETIAP warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya merupakan amanat konstitusi dari Pasal 31 ayat 2 yang sangat tegas dan jelas. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sampai 2021, APM (Angka Partisipasi Murni) berada pada angka 97,80 untuk SD, 80,59 untuk SMP, dan 61,65 untuk SMA/SMK. APM adalah proporsi anak sekolah pada suatu kelompok tertentu yang bersekolah pada tingkat yang sesuai dengan kelompok umurnya.

Artinya setelah 77 tahun Indonesia merdeka, ada sekitar 2% anak usia SD, 20% anak usia SMP, dan 39% anak usia SMA/SMK yang belum bersekolah. Siswa yang sudah bersekolah pun sebagian masih menuntut ilmu di sekolah swasta yang berbayar. Kondisi ini membuktikan pemerintah Indonesia belum mampu memenuhi kewajiban konstitusinya untuk memastikan seluruh anak Indonesia mendapatkan layanan pendidikan dasar dan membiayainya.

Argumentasi di atas sering dijawab bahwa pemerintah sudah melaksanakan tugasnya untuk membiayai pendidikan dengan memberikan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Yang masyarakat sering tidak sadar adalah huruf B pada BOS adalah singkatan dari Bantuan bukan Biaya. Artinya biaya pendidikan belum dapat terpenuhi hanya dengan dana BOS.

Belum lagi ketersediaan guru yang harusnya juga menjadi tanggung jawab pemerintah sekaligus pembiayaannya seperti yang tertulis dalam konstitusi. Faktanya, perekrutan guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sampai hari ini masih kisruh karena keterbatasan APBN.

Alih-alih memenuhi amanat konstitusi tentang Wajib Belajar 9 tahun, tiba-tiba dalam draf pemerintah langsung ingin melompat untuk menjadi wajib belajar 13 tahun. Langkah ini walaupun merupakan langkah progresif dan menggembirakan, tetapi sangat tidak masuk akal kecuali ada perubahan drastis yang harusnya dijabarkan secara eksplisit dalam naskah akademik. Misalnya , meningkatkan anggaran pendidikan menjadi 25% dari APBN.

Kalau cara yang dilakukan masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya, jangan pernah mengharapkan hasil yang berbeda.

Permainan “Asap dan Cermin”
Jangan sampai program Wajib Belajar 13 tahun menggunakan metode Asap dan Cermin (smoke and mirrors). Asap dan Cermin adalah sebuah ungkapan yang diadopsi dari permainan para pemain sulap yang dalam aksi panggungnya menggunakan semburan asap dan cermin untuk menyembunyikan sesuatu dan menciptakan efek ilusi.

Menurut Kamus Cambridge, makna dari ungkapan "cermin dan asap" adalah sesuatu yang membuat Anda percaya bahwa ada sesuatu yang sedang dilakukan atau benar telah dilakukan, padahal kenyataannya tidak.

Demikian pula apa yang ditawarkan dalam RUU Sisdiknas ini, tampaknya sangat menjanjikan sesuatu seperti program Wajib Belajar 13 tahun, guru tidak perlu antre untuk mendapatkan tunjangan profesi. Namun, praktiknya hal itu tidak mungkin dilakukan kecuali ada perombakan besar dalam sistem anggaran pendidikan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1253 seconds (0.1#10.140)