Cerdas Berdemokrasi Pancasila

Rabu, 21 September 2022 - 10:44 WIB
loading...
Cerdas Berdemokrasi Pancasila
Syaiful Arif (Foto: Ist)
A A A
Syaiful Arif
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila

PADA
5 September lalu, Direktorat Informasi dan Komunikasi Politik Hukum dan Keamanan, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) RI mengadakan webinar bertema Cerdas Berdemokrasi. Webinar ini mengurai tantangan demokrasi di era digital dengan tujuan mendorong generasi milenial aktif berdemokrasi.

Penulis menjadi pembicara dalam webinar tersebut bersama anggota Komisi I DPR RI, Dave Akbarshah Fikarno Laksono dan pendiri Taman Bintang Indonesia, Faida Indana. Dalam webinar itu, penulis mengurai tantangan demokrasi terutama menjelang Pemilihan Presiden 2024, serta upaya penguatan kualitas demokrasi berdasarkan Pancasila.

Artinya, menjelang Pilpres 2024, kita berada dalam kualitas tertentu dari demokrasi. Pemahaman terhadap kualitas ini dibutuhkan agar pilpres ke depan bisa meningkatkan kualitas tersebut, bukan malah memperburuk.

Kualitas demokrasi kita telah dinilai oleh beberapa pihak, baik luar negeri maupun dalam negeri. Survei internasional oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) tentang Indeks Demokrasi Global 2020 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-64 dari 167 negara dengan skor 6,3.

Dengan skor ini, Indonesia dimasukkan dalam kategori demokrasi cacat (flawed democracy). Indikatornya meliputi; pemilu dan kemajemukan (7,92), fungsi dan kinerja pemerintah (7,50), partisipasi politik (6,11), budaya politik (4,38) dan kebebasan sipil (5,59). Dari indikator tersebut, faktor terendah demokrasi kita ialah budaya politik dan kebebasan sipil.

Lemahnya budaya politik dan kebebasan sipil ini diafirmasi oleh Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2020 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut IDI, skor ancaman atau penggunaan kekerasan masyarakat yang menghambat kebebasan sipil naik dari 2019 (83,82), menjadi 86,95 pada 2020.

Pada saat bersamaan, ancaman atau penggunaan kekerasan aparat pemerintah yang menghambat kebebasan sipil menurun dari 2019 (65,69) menjadi 58,82 pada 2020.

Berbagai penilaian ini menunjukkan bahwa pada level budaya politik, demokrasi kita masih memiliki titik lemah. Artinya, nilai-nilai demokrasi belum dipahami, dihayati dan dipraktikkan oleh masyarakat sebagai nilai-nilai luhur yang disadari keluhurannya. Pentingnya penguatan budaya politik karena ia menjadi bagian dari parameter konsolidasi demokrasi.

Sebagaimana kita ketahui, demokrasi disebut terkonsolidasi ketika mengalami tiga hal. Pertama, suksesi kekuasaan dilakukan secara periodik melalui pemilihan umum. Artinya, suksesi tidak terjadi melalui kudeta dan hal-hal yang bersifat ekstra-parlementer.

Kedua, dinamika politik dikelola melalui mekanisme hukum. Artinya, dinamika politik tidak menimbulkan konflik karena dikelola berdasarkan otoritas hukum. Ketiga, kuatnya budaya kewargaan (civic culture) yang menopang budaya demokrasi. Budaya kewargaan, atau budaya masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai kewarganegaraan modern merupakan landasan kultural bagi tegaknya budaya demokrasi.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1550 seconds (0.1#10.140)