Optimistis atau Pesimistis Menghadapi Normal Baru, Ada di Tangan Kita
loading...
A
A
A
Muhamad Ali
Pemerhati Human Capital
OPTIMISME itu menular. Efek penularannya juga dahsyat. Jika kita dikelilingi orang-orang yang optimistis, hidup dan bekerja di lingkungan yang berisi orang-orang optimistis, kita akan tertular semangat itu dan bisa mengubah sikap kita dalam menghadapi sesuatu.
Masalahnya, pesimisme itu juga punya daya tular. Efek penularannya pun justru lebih dahsyat dibanding optimisme. Daya rusaknya luar biasa. Ia bisa menghancurkan mimpi-mimpi atau cita-cita seseorang dalam sekejap.
Sebuah riset pernah mengungkapkan fakta bahwa pesimisme itu menular 2-4 kali lebih cepat dibandingkan optimisme. Dan dalam suatu lingkungan posisi sikap individual itu sangat tergantung pada suasana di lingkungannya.
Lingkungan memengaruhi lebih dari tiga per empat sikap seseorang. Artinya, independensi sikap itu lebih banyak dibentuk oleh lingkungan daripada oleh pandangan-pandangan personal.
Pandemi Covid-19 juga disikapi dengan dua sudut pandang tadi: optimistis dan pesimistis. Namun, sejauh kita menerima informasi dan berita-berita dari media massa dan percakapan di media sosial maupun grup-grup percakapan, berita-berita negatif yang memantik rasa pesimis jauh lebih banyak ketimbang berita-berita positif yang menimbulkan harapan dan optimisme.
Berita tentang kematian yang ditayangkan setiap hari menakutkan semua orang. Kematian, memang menjadi momok yang paling dihindari. Runyamnya, kita tidak bisa mengingkari bahwa tiap hari berita yang kita terima tentang kematian itu masih terus bertambah. Korban yang terkena virus juga terus meningkat.
Lalu, bagaimana kita keluar dari jebakan pesimisme yang sudah sedemikian parah melingkupi kita dan hidup kita dalam 24 jam melalui ponsel atau gawai pintar tersebut? Pernahkah kita mengamati dan melihat berita-berita kematian itu dari sudut pandang yang berbeda?
Benar bahwa tiap hari orang mati karena virus itu terus bertambah. Tapi, fakta bahwa orang yang terpapar virus dan kemudian sembuh juga ada.
Pernahkah juga kita mendalami angka-angka atau cerita-cerita tentang kesembuhan pasien tersebut sehingga kita menjadi lebih sadar bahwa orang-orang yang berhasil sembuh tersebut salah satunya adalah karena ada semangat positif dan optimisme dalam diri mereka?
Cerita tentang optimisme itu bisa menjadi pintu masuk yang pas untuk membangun keyakinan diri. Dan ketika semangat tersebut muncul, langkah berikutnya yang perlu dibangun adalah menularkannya sekuat mungkin dan sebanyak mungkin pada orang-orang yang terdekat dalam lingkaran kita. Mulai dari rumah, lingkungan kerja atau usaha, dan orang-orang sekeliling lainnya yang paling intens berinteraksi dengan kita, baik secara waktu maupun kualitas interaksi.
Itulah fondasi paling dasar yang mesti dibangun sebelum kita memasuki periode awal new normal pada pekan-pekan ini. Fondasi tersebut harus dilengkapi sensor yang sensitif untuk memilah-milah dan memilih-milih informasi yang kita konsumsi setiap hari.
Menghindari yang membuat kita pesimis adalah jalan terbaik. Berita-berita pesimistis sudah bisa kita endus dari judul yang kita lihat saat kita membaca pertama kali.
Beruntunglah kita bahwa gawai pintar sudah menyediakan pilihan berita mana yang akan kita baca dan mana yang akan kita abaikan. Berbeda dengan era ketika media cetak dan televisi masih menjadi arus utama sehingga kita tidak punya pilihan bacaan atau tontonan yang lebih variatif. Semua yang diproduksi oleh media-media tersebut, mau tak mau, harus kita telan dan menimbulkan reaksi pada alam berpikir dan mental kita.
Era new normal juga ditandai dengan perubahan pola kerja dengan istilah baru work from home (WFH) menjadi kian populer karena tidak semua pekerja dapat kembali bekerja dari kantor (work from office/WFO) setelah memasuki era normal baru. Pola kerja tersebut akan semakin melengkapi dan menjadi pilihan banyak korporasi dan organisasi sebagai respons terhadap pembatasan sosial dan jaga jarak baik di tempat-tempat publik maupun tempat kerja.
Dengan pola kerja yang mengombinasikan WFH dengan WFO, koordinasi dan komunikasi berbasis pertemuan virtual seperti Zoom, MS Teams, Google Meet, dan sebagainya akan menjadi budaya dan model kerja baru. WFH ataupun WFO akan memberikan kontribusi yang menuju keseimbangan baru dalam korporasi atau organisasi.
Standar proses bisnis dan operasi perusahaan atau organisasi dalam kondisi new normal tak lain adalah budaya baru kesehatan, produktivitas, dan interaksi sesama pegawai (sebagai makhluk sosial) tetap dijalankan dengan protokol kesehatan yang ketat. Maka, pilihan untuk menjadi optimistis atau pesimistis, lagi-lagi, bukan berada atau tergantung dari orang lain atau sumber di luar kita. Semuanya tergantung pada diri kita dan cara kita mengelolanya.
Pemerhati Human Capital
OPTIMISME itu menular. Efek penularannya juga dahsyat. Jika kita dikelilingi orang-orang yang optimistis, hidup dan bekerja di lingkungan yang berisi orang-orang optimistis, kita akan tertular semangat itu dan bisa mengubah sikap kita dalam menghadapi sesuatu.
Masalahnya, pesimisme itu juga punya daya tular. Efek penularannya pun justru lebih dahsyat dibanding optimisme. Daya rusaknya luar biasa. Ia bisa menghancurkan mimpi-mimpi atau cita-cita seseorang dalam sekejap.
Sebuah riset pernah mengungkapkan fakta bahwa pesimisme itu menular 2-4 kali lebih cepat dibandingkan optimisme. Dan dalam suatu lingkungan posisi sikap individual itu sangat tergantung pada suasana di lingkungannya.
Lingkungan memengaruhi lebih dari tiga per empat sikap seseorang. Artinya, independensi sikap itu lebih banyak dibentuk oleh lingkungan daripada oleh pandangan-pandangan personal.
Pandemi Covid-19 juga disikapi dengan dua sudut pandang tadi: optimistis dan pesimistis. Namun, sejauh kita menerima informasi dan berita-berita dari media massa dan percakapan di media sosial maupun grup-grup percakapan, berita-berita negatif yang memantik rasa pesimis jauh lebih banyak ketimbang berita-berita positif yang menimbulkan harapan dan optimisme.
Berita tentang kematian yang ditayangkan setiap hari menakutkan semua orang. Kematian, memang menjadi momok yang paling dihindari. Runyamnya, kita tidak bisa mengingkari bahwa tiap hari berita yang kita terima tentang kematian itu masih terus bertambah. Korban yang terkena virus juga terus meningkat.
Lalu, bagaimana kita keluar dari jebakan pesimisme yang sudah sedemikian parah melingkupi kita dan hidup kita dalam 24 jam melalui ponsel atau gawai pintar tersebut? Pernahkah kita mengamati dan melihat berita-berita kematian itu dari sudut pandang yang berbeda?
Benar bahwa tiap hari orang mati karena virus itu terus bertambah. Tapi, fakta bahwa orang yang terpapar virus dan kemudian sembuh juga ada.
Pernahkah juga kita mendalami angka-angka atau cerita-cerita tentang kesembuhan pasien tersebut sehingga kita menjadi lebih sadar bahwa orang-orang yang berhasil sembuh tersebut salah satunya adalah karena ada semangat positif dan optimisme dalam diri mereka?
Cerita tentang optimisme itu bisa menjadi pintu masuk yang pas untuk membangun keyakinan diri. Dan ketika semangat tersebut muncul, langkah berikutnya yang perlu dibangun adalah menularkannya sekuat mungkin dan sebanyak mungkin pada orang-orang yang terdekat dalam lingkaran kita. Mulai dari rumah, lingkungan kerja atau usaha, dan orang-orang sekeliling lainnya yang paling intens berinteraksi dengan kita, baik secara waktu maupun kualitas interaksi.
Itulah fondasi paling dasar yang mesti dibangun sebelum kita memasuki periode awal new normal pada pekan-pekan ini. Fondasi tersebut harus dilengkapi sensor yang sensitif untuk memilah-milah dan memilih-milih informasi yang kita konsumsi setiap hari.
Menghindari yang membuat kita pesimis adalah jalan terbaik. Berita-berita pesimistis sudah bisa kita endus dari judul yang kita lihat saat kita membaca pertama kali.
Beruntunglah kita bahwa gawai pintar sudah menyediakan pilihan berita mana yang akan kita baca dan mana yang akan kita abaikan. Berbeda dengan era ketika media cetak dan televisi masih menjadi arus utama sehingga kita tidak punya pilihan bacaan atau tontonan yang lebih variatif. Semua yang diproduksi oleh media-media tersebut, mau tak mau, harus kita telan dan menimbulkan reaksi pada alam berpikir dan mental kita.
Era new normal juga ditandai dengan perubahan pola kerja dengan istilah baru work from home (WFH) menjadi kian populer karena tidak semua pekerja dapat kembali bekerja dari kantor (work from office/WFO) setelah memasuki era normal baru. Pola kerja tersebut akan semakin melengkapi dan menjadi pilihan banyak korporasi dan organisasi sebagai respons terhadap pembatasan sosial dan jaga jarak baik di tempat-tempat publik maupun tempat kerja.
Dengan pola kerja yang mengombinasikan WFH dengan WFO, koordinasi dan komunikasi berbasis pertemuan virtual seperti Zoom, MS Teams, Google Meet, dan sebagainya akan menjadi budaya dan model kerja baru. WFH ataupun WFO akan memberikan kontribusi yang menuju keseimbangan baru dalam korporasi atau organisasi.
Standar proses bisnis dan operasi perusahaan atau organisasi dalam kondisi new normal tak lain adalah budaya baru kesehatan, produktivitas, dan interaksi sesama pegawai (sebagai makhluk sosial) tetap dijalankan dengan protokol kesehatan yang ketat. Maka, pilihan untuk menjadi optimistis atau pesimistis, lagi-lagi, bukan berada atau tergantung dari orang lain atau sumber di luar kita. Semuanya tergantung pada diri kita dan cara kita mengelolanya.
(poe)