Sekolah politik

Sabtu, 02 Februari 2013 - 06:25 WIB
Sekolah politik
Sekolah politik
A A A
Terungkapnya sejumlah kasus korupsi yang melibatkan kader-kader partai politik (Parpol) yang menjadi pejabat negara, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif, memunculkan berbagai kesimpulan.

Citra parpol sebagai lembaga resmi yang diberi wewenang oleh konstitusi untuk melakukan rekrutmen calon pemimpin negara semakin diragukan dengan banyaknya kasus korupsi itu.

Sebut saja nama Luthfi Hasan Ishaaq, Andi Mallarangeng, M Nazaruddin, Angela Sondakh, dan sejumlah nama lain yang sudah divonis ataupun yang sedang menjalani proses hukum.

Tidak hanya di level nasional, keterlibatan sejumlah kader parpol yang menduduki jabatan di pemerintahan maupun parlemen di tingkat daerah juga tidak kalah dahsyat.

Kalau ditotal,jumlahnya bisa ratusan. Logika kita kemudian bertanya: mengapa mayoritas koruptor adalah kader parpol? Apa faktor yang menyebabkannya? Apakah sistem politik kita yang tidak tegas mengatur sehingga biaya politik di semua level begitu besar.

Sudah bukan rahasia lagi, sampai sekarang ini uang masih menjadi faktor yang paling menentukan proses perekrutan jabatan-jabatan politik yang akan menentukan hajat hidup orang banyak.

Sistem di internal parpol pun tak lepas dari faktor uang. Misal, setiap calon anggota legislatif harus kerja keras mendapatkan daerah pemilihan (dapil) yang strategis yang ditentukan oleh pimpinan parpol. Kemudian, mereka juga harus mencari logistik untuk kampanye di dapil masing-masing yang tentu saja jumlahnya sangat besar.

Artinya belum apa-apa seorang caleg harus memiliki modal uang dalam jumlah besar, sebelum bertarung di pemilu. Itu pun belum tentu terpilih. Nah, biaya politik yang tidak terukur inilah menjadi penyebab korupsi di lembaga negara semakin merajalela.

Dengan masa jabatan terbatas (5 tahunan), seorang politikus yang menjadi pejabat publik harus balik modal (corruption by need), atau bahkan jika bisa mendapatkan keuntungan dan kekayaan pribadi (corruption by greed).

Ini menjadi lingkaran setan yang sulit diputus,karena semua kait-mengait,ada hukum sebab akibat. Jika tidak ada langkah besar mengubah itu semua, mustahil korupsi di lembaga negara bisa diberantas. Yang terjadi sekarang hanya seperti giliran saja, siapa yang sedang sial tercium oleh KPK. Bagi yang tidak tercium,praktik korupsi akan terus berlanjut.

Sembari menunggu dan mendorong perubahan sistem itu, tidak ada salahnya kita mendorong agar seluruh elemen bangsa ini dan masyarakat sipil untuk mengupayakan perekrutan dan penggodokan calon-calon pemimpin melalui lembaga nonparpol.

Jika perlu, dibentuk sekolah para calon politikus yang dibekali idealisme yang memiliki semangat pembaruan untuk memajukan bangsa dan negara.

Calon-calon pemimpin ini pun harus dibekali modal yang memadai, sehingga mereka terjun ke dunia politik bukan untuk mencari kekayaan dan jabatan semata, melainkan benar-benar untuk mengabdi dan mencurahkan segala kemampuan terbaiknya demi bangsa dan negara. Sejumlah negara telah menerapkan model sekolah politik seperti ini.

Misalnya di Jepang dan Amerika Serikat. Dengan model pendidikan dan pengajaran khusus, lulusan sekolah politik yang banyak diinisiasi oleh sektor swasta ini pun mampu menghasilkan calon-calon pemimpin andal yang akan bekerja keras sebagai negarawan. Mereka pun mampu bersaing dengan kader-kader parpol untuk menduduki jabatan publik.

Dengan begitu, masyarakat mempunyai banyak pilihan ketika menentukan para pemimpin mereka. Keberadaan sekolah politik ini pun diharapkan mampu membuat parpol berbenah dalam pola rekrutmen kader. Jika nanti mereka tidak berbenah, bisa jadi kader-kader parpol semakin sulit mendapat tempat di hati masyarakat.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6338 seconds (0.1#10.140)