Dampak Perang Rusia-Ukraina terhadap Peta Geopolitik Global
loading...
A
A
A
Sejauh ini, dampak langsung dari invasi ini masih berskala regional. Namun apabila krisis ini berkepanjangan, maka sangat besar kemungkinan akan mempengaruhi ekonomi global, mengguncang pasar keuangan, mendorong kenaikan harga energi dan komoditas terkait.
Perubahan Geopolitik Global
Seberapa lama konflik Rusia-Ukraina ini dan upaya mitigasi potensi kerusakan yang ditimbulkan bergantung pada tiga hal: keberhasilan upaya diplomasi internasional, respon Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan sejauh mana Rusia menganggap tujuan invasinya tercapai.
Resolusi PBB yang mendesak Rusia mundur dari Ukraina malah direspon Rusia dengan menggempur PLTN terbesar di Ukraina. Harapan lainnya ada pada negara-negara yang tergabung dalam G7 (Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Britania Raya, dan Amerika Serikat), yang memiliki kapasitas dan pengaruh terhadap ekonomi dan perdagangan global. Dengan mendominasi 64% kekuatan ekonomi dunia, negara G7 dapat menekan Rusia untuk menempuh jalur diplomasi.
Sejauh ini NATO mengambil peran pasif meskipun Ukraina sudah menyatakan keinginan untuk menjadi anggota NATO. Kecaman yang diungkapkan Sekjen NATO Jens Stoltenberg bahwa langkah Rusia sebagai "tindakan perang brutal" dinilai sebatas retorika dengan penegasan bahwa NATO tidak akan mengerahkan pasukan. Amerika Serikat yang diharapkan memainkan peranan militernya ternyata juga menegaskan tidak akan mengirim armadanya ke Ukraina. Kecuali Rusia menyerang negara anggota NATO. Sesuatu yang mustahil karena sejak awal Putin sudah menegaskan serangan ini adalah operasi militer khusus terbatas dengan sasaran Ukraina.
Sampai kapan Rusia memutuskan mengakhiri invasi? Jawabannya adalah setelah tujuan operasi militer Rusia tercapai. Menghilangkan ancaman Ukraina melalui demiliterisasi. Mencermati pernyataan Menlu Rusia Sergei Lavrov, bahwa Moskwa ingin membebaskan Ukraina dari penindasan dan mereka dapat menentukan masa depan sendiri – maka secara eksplisit sasaran invasi Rusia adalah menggulingkan pemerintahan Ukraina.
Manuver Rusia ini menegaskan theory of hegemonic stability, yang menjelaskan keterbukaan dan stabilitas ekonomi internasional yang memungkinkan adanya negara yang mendominasi. Negara-negara hanya dapat bekerja sama secara ekonomi satu sama lain ketika kekuatan hegemonik memegang ikatan secara ekonomi atau militer. Pasca Perang Dingin, Amerika Serikat dan NATO menjadi kekuatan yang dominan (hegemonic) dalam konstelasi politik global, baik secara ekonomi (aggregate income), politik dan kekuatan militer. Belakangan China dengan percaya diri mulai menantang dominasi Amerika Serikat dalam perang dagang. China harus punya sekutu secara politik dan militer, untuk mengukuhkan posisinya di Asia Timur dan kawasan laut China Selatan. Menghangatnya hubungan bilateral China dan Rusia beberapa tahun ini, merupakan rangkaian proses membentuk aliansi baru untuk menantang hegemoni AS dan Uni Eropa.
Konflik di semenanjung Krimea ini memperkuat thesis Daniel Yergin dalam karyanya The New Map: Energy, Climate, and the Clash of Nations. Terjadinya perubahan geopolitik global sebagai akibat dari benturan kepentingan antar negara, perebutan akses sumber daya alam dan energi, serta tantangan perubahan iklim di saat terjadi krisis global. Munculnya aliansi strategis Rusia-China dengan irisan kepentingan yang sama, mengokohkan kekuatan politik dan militer di kawasan Eurasia dan Asia Pasifik untuk membentuk keseimbangan baru dalam geopolitik global. (*)
Perubahan Geopolitik Global
Seberapa lama konflik Rusia-Ukraina ini dan upaya mitigasi potensi kerusakan yang ditimbulkan bergantung pada tiga hal: keberhasilan upaya diplomasi internasional, respon Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan sejauh mana Rusia menganggap tujuan invasinya tercapai.
Resolusi PBB yang mendesak Rusia mundur dari Ukraina malah direspon Rusia dengan menggempur PLTN terbesar di Ukraina. Harapan lainnya ada pada negara-negara yang tergabung dalam G7 (Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Britania Raya, dan Amerika Serikat), yang memiliki kapasitas dan pengaruh terhadap ekonomi dan perdagangan global. Dengan mendominasi 64% kekuatan ekonomi dunia, negara G7 dapat menekan Rusia untuk menempuh jalur diplomasi.
Sejauh ini NATO mengambil peran pasif meskipun Ukraina sudah menyatakan keinginan untuk menjadi anggota NATO. Kecaman yang diungkapkan Sekjen NATO Jens Stoltenberg bahwa langkah Rusia sebagai "tindakan perang brutal" dinilai sebatas retorika dengan penegasan bahwa NATO tidak akan mengerahkan pasukan. Amerika Serikat yang diharapkan memainkan peranan militernya ternyata juga menegaskan tidak akan mengirim armadanya ke Ukraina. Kecuali Rusia menyerang negara anggota NATO. Sesuatu yang mustahil karena sejak awal Putin sudah menegaskan serangan ini adalah operasi militer khusus terbatas dengan sasaran Ukraina.
Sampai kapan Rusia memutuskan mengakhiri invasi? Jawabannya adalah setelah tujuan operasi militer Rusia tercapai. Menghilangkan ancaman Ukraina melalui demiliterisasi. Mencermati pernyataan Menlu Rusia Sergei Lavrov, bahwa Moskwa ingin membebaskan Ukraina dari penindasan dan mereka dapat menentukan masa depan sendiri – maka secara eksplisit sasaran invasi Rusia adalah menggulingkan pemerintahan Ukraina.
Manuver Rusia ini menegaskan theory of hegemonic stability, yang menjelaskan keterbukaan dan stabilitas ekonomi internasional yang memungkinkan adanya negara yang mendominasi. Negara-negara hanya dapat bekerja sama secara ekonomi satu sama lain ketika kekuatan hegemonik memegang ikatan secara ekonomi atau militer. Pasca Perang Dingin, Amerika Serikat dan NATO menjadi kekuatan yang dominan (hegemonic) dalam konstelasi politik global, baik secara ekonomi (aggregate income), politik dan kekuatan militer. Belakangan China dengan percaya diri mulai menantang dominasi Amerika Serikat dalam perang dagang. China harus punya sekutu secara politik dan militer, untuk mengukuhkan posisinya di Asia Timur dan kawasan laut China Selatan. Menghangatnya hubungan bilateral China dan Rusia beberapa tahun ini, merupakan rangkaian proses membentuk aliansi baru untuk menantang hegemoni AS dan Uni Eropa.
Konflik di semenanjung Krimea ini memperkuat thesis Daniel Yergin dalam karyanya The New Map: Energy, Climate, and the Clash of Nations. Terjadinya perubahan geopolitik global sebagai akibat dari benturan kepentingan antar negara, perebutan akses sumber daya alam dan energi, serta tantangan perubahan iklim di saat terjadi krisis global. Munculnya aliansi strategis Rusia-China dengan irisan kepentingan yang sama, mengokohkan kekuatan politik dan militer di kawasan Eurasia dan Asia Pasifik untuk membentuk keseimbangan baru dalam geopolitik global. (*)