Ekonomi tumbuh, daya saing anjlok

Kamis, 06 September 2012 - 05:50 WIB
Ekonomi tumbuh, daya saing anjlok
Ekonomi tumbuh, daya saing anjlok
A A A
Dalam tiga tahun terakhir, kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu dikagumi sejumlah lembaga pemeringkat internasional. Hal itu tidak berlebihan mengingat roda perekonomian memang melaju di tengah kekhawatiran dampak dari gonjang-ganjing perekonomian global yang sudah merepotkan sejumlah negara di kawasan Eropa.

Pemerintah pun selalu membanggakan bahwa negeri ini telah menemukan resep ampuh dalam mengelola perekonomian di saat situasi perekonomian dunia diliputi kabut yang tebal. Namun, di balik gebyar-gebyar pertumbuhan ekonomi yang telah memalingkan perhatian para investor global untuk menanamkan modal di Indonesia, hal itu ternyata tidak berkorelasi langsung terhadap peringkat daya saing negeri ini dalam kancah aktivitas ekonomi internasional.

Peringkat daya saing tersebut malah melorot meninggalkan jauh peringkat negeri jiran Malaysia pada level 25. Hal itu terungkap dari hasil survei terbaru World Economic Forum (WEF) yang menempatkan peringkat daya saing Indonesia anjlok ke peringkat ke-50 pada tahun ini dari posisi ke-46 pada tahun lalu. Bahkan, Indonesia masih kalah peringkat dibandingkan Brunei Darussalam yang bertengger di urutan ke-28, dan Thailand yang bercokol di peringkat ke-38.

Dengan peringkat yang melorot empat poin, kita tak perlu menyalahkan atau mencari kambing hitam terhadap pembuat survei, misalnya dengan tuduhan survei itu tidak kredibel dengan mempertanyakan metode survei yang dipakai. Justru kita harus bersyukur, WEF sudah menunjukkan dan mengingatkan bahwa jangan terlena dengan perolehan pertumbuhan ekonomi yang selalu dibanggakan pemerintah, dan dikagumi sejumlah lembaga pemeringkat internasional, sehingga berani memajukan Indonesia sebagai salah satu negara yang layak dijadikan tempat berinvestasi di Asia.

Survei tersebut harus dibaca secara positif dalam pemahaman dan pengertian bahwa dalam peringkat daya saing Indonesia yang terus melorot, pemerintah masih mampu memutar roda perekonomian dengan baik. Nah, bisa dibayangkan bagaimana pertumbuhan ekonomi seandainya didukung daya saing yang tinggi. Masalah daya saing ekonomi yang rendah memang salah satu agenda yang masih sulit dihapus pemerintah dari daftar pekerjaan rumah yang terus menumpuk.

Padahal, persoalan yang terkait langsung dengan pelemahan daya saing urusannya tidak jauh-jauh dari persoalan birokrasi yang ribet atau sejumlah kebijakan pemerintah terutama di daerah yang tak jarang tumpang tindih dengan kebijakan pemerintah pusat. Contoh paling anyar adalah ribuan peraturan di bidang pertambangan yang diterbitkan pemerintah daerah masuk kategori ilegal serta sejumlah pungutan liar (pungli) yang kembali marak belakangan ini.

Dengan kata lain, kendala untuk mendongkrak daya saing masih terus tersandera persoalan klasik. Secara terbuka, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengakui kendala tersebut di depan para pengusaha muda dalam pidato sambutan hari ulang tahun Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) ke-40 pada akhir Agustus lalu.

Presiden mengakui, di satu sisi perekonomian Indonesia telah memberikan prestasi yang membanggakan, tetapi di sisi lain masih terdapat sejumlah soal yang senantiasa membayangi, bahkan mengancam iklim dunia usaha jauh dari kondusif.

Selain kendala yang disebutkan sebelumnya, Presiden juga menambahkan persoalan ekses pilkada. Sekali lagi, hendaknya hasil survei WEF dimaknai secara positif untuk membongkar semua kendala yang berkaitan dengan peningkatan daya saing. Pokoknya, apa yang bisa dilaksanakan sekarang jangan ditunda-tunda lagi, sebab mulai tahun depan perhatian penguasa pasti akan terbelah menghadapi pemilihan umum untuk suksesi kepemimpinan nasional pada dua tahun ke depan. Pasti semua akan fokus pada persoalan politik.*
(lil)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3998 seconds (0.1#10.140)