Disfungsi negara

Senin, 30 Juli 2012 - 08:46 WIB
Disfungsi negara
Disfungsi negara
A A A
Maraknya aksi massa baik yang terjadi secara terorganisasi maupun sporadis yang menjurus ke arah tindakan anarkistis semakin memprihatinkan. Aksi brutal itu telah begitu meresahkan karena mengganggu kepentingan umum.

Contoh paling anyar adalah aksi massa yang mengamuk di dekat pintu tol Pondok Gede Timur lantaran tidak terima pada Jasa Marga yang menertibkan terminal bayangan di dekat pintu tol tersebut.

Yang memprihatinkan lagi aksi seperti ini seperti dibiarkan. Pemerintah tidak banyak berperan untuk meredam munculnya aksi tersebut. Padahal aksi massa yang mengarah ke aksi anarkistis sudah sering terjadi.

Pemerintah seperti tak berdaya menghadapinya. Tentu ini sebuah ironi karena negara seharusnya hadir pada saat dibutuhkan rakyatnya. Namun, negara sudah seperti tidak berfungsi.

Negara yang memiliki legalitas dan keabsahan menggunakan kekuatan untuk memaksa tidak mampu pun menyelesaikan masalah tersebut hingga saat ini. Tak salah juga bila muncul anggapan bahwa fenomena itu seperti sengaja dibiarkan.

Aksi massa di tol itu sekelumit contoh kecil betapa kejadian itu sudah menjadi fenomena umum di negeri ini. Belum lagi aksi-aksi kelompok ormas yang akhir-akhir ini juga semakin tak terkendali.

Aparat keamanan juga terlihat mandul untuk menertibkan mereka. Lagi-lagi, tak salah bila timbul anggapan keberadaan ormas-ormas memang sengaja dipelihara untuk kepentingan oknum-oknum tertentu di negara ini.

Apapun alasannya, kenyataan ini merupakan cerminan betapa negara sudah melaksanakan fungsinya secara benar untuk menjaga dan melindungi segenap bangsa Indonesia.

Ada sejumlah faktor kenapa aksi massa terus terjadi di republik ini. Pertama, tidak ada keseriusan (goodwill) pemerintah termasuk aparat menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat.

Kedua, pemerintah termasuk aparat keamanan enggan untuk bertindak tegas terhadap berbagai pelanggaran yang terjadi terutama yang melibatkan aksi massa. Ada kesan mereka tidak mau ambil risiko.

Dalam banyak kasus, tragedi berdarah yang melibatkan aparat selalu mengorbankan bawahan. Para pimpinan mereka cenderung tidak mau bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi di lapangan.

Hal itu membuat aparat yang di lapangan enggan bertindak tegas karena tidak ada jaminan dan back up penuh dari pimpinan mereka. Padahal seorang pemimpin seharusnya berada di depan dan bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan anggotanya.

Ketiga, tidak ada kewibawaan pemerintah termasuk aparatnya. Hal ini disebabkan penegakan hukum tidak dilakukan secara tegas. Seringkali aparat membiarkan para pelaku aksi massa kendati sudah bertindak anarkistis. Fenomena itu membuat masyarakat tidak lagi respect terhadap negara dan aparatnya.

Apalagi di banyak kasus, aksi massa seperti di atas sangat ampuh memaksa pemerintah untuk memenuhi tuntutan sekelompok masyarakat meskipun hal itu merugikan sebagian besar kelompok masyarakat lainnya.

Karena itu, mengembalikan wibawa pemerintah dan negara perlu segera dilakukan. Penegakan hukum yang tegas dan adil tak bisa ditawar lagi. Siapa pun bersalah harus dihukum tanpa pandang bulu.

Pemerintah termasuk aparat harus pula berintrospeksi diri terutama para pimpinannya untuk bisa menjadi pimpinan yang amanah dan bertanggung jawab.

Jangan hanya menjadi pimpinan yang mencari selamat jika ada masalah yang melibatkan jajarannya. Adanya pimpinan yang amanah akan memupuk solidaritas dan kepercayaan para anggotanya.

Dengan demikian, ke depan mereka yang di lapangan merasa aman untuk menindak tegas setiap pelanggaran yang terjadi sesuai koridor hukum. Masyarakat pun akan merasa terlindungi berada dalam lingkup negara kesatuan republik Indonesia.
(lns)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 3.2091 seconds (0.1#10.140)