Sendyakala Lembaga Survei

Jum'at, 20 Juli 2012 - 08:39 WIB
Sendyakala Lembaga Survei
Sendyakala Lembaga Survei
A A A
Faisal Basri mengungkapkan kekecewaannya terhadap survei yang dilakukan sejumlah lembaga survei dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta beberapa waktu lalu.

Calon gubernur dari jalur independen ini merasa telah dibunuh mereka dengan prediksi tentang peluangnya dan elektabilitasnya yang sangat rendah hingga berpengaruh pada perolehan suaranya. Tudingan tersebut bisa betul bisa tidak.

Kecurigaan Faisal Basri bisa dipahami karena secara teoretis hasil survei yang dirilis ke publik akan memengaruhi sikap publik. Ada teori menyebutkan bahwa orang cenderung mengikuti mereka yang diprediksi menang (bandwagon effect) atau sebaliknya malah mendukung mereka yang diprediksi kalah (underdog effect).

Tapi Saiful Mujani dalam studinya pada 2004 menegaskan tidak ditemukan adanya efek survei terhadap perilaku pemilih seperti dimaksud kedua teori tersebut.
Berpengaruh atau tidaknya prediksi lembaga survei terhadap suatu kontestasi politik sebenarnya bukanlah lagi masalah prinsip yang perlu diperdebatkan. Yang patut mendapat perhatian adalah sebagian besar dari lembaga survei di negeri ini telah gagal memprediksi hasil perolehan suara Pilkada DKI Jakarta lalu (11/7).

Seperti diketahui, hampir semua lembaga survei memprediksi kemenangan pasangan Fauzi Bowo (Foke)-Nachrowi Ramli (Nara) dan bahkan pilkada disebutkan akan berlangsung satu putaran karena sang incumbent yang didukung partai pemenang Pemilu 2009 akan meraup dukungan 50 pesen + 1.

Ternyata hasilnya jungkir balik. Hasil penghitungan resmi yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI menunjukkan pasangan Foke-Nara hanya mendapat jumlah suara 1.476.648 (34,05 persen), sedangkan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama meraup 1.847.157 suara (42,60 persen).

Bagaimana bisa hasil survei yang notabene dilakukan kalangan intelektual bisa meleset sedemikian parah? Apakah metodologi salah atau mereka tidak berhasil menangkap dinamika pemilih di lapangan? Atau mereka memang melakukan survei asal-asalan untuk memenuhi pesanan klien atau pasangan kandidat? Kepastian jawaban hanyalah diketahui para intelektual di belakang survei tersebut.

Mereka juga pasti mempunyai seribu macam jawaban yang dirasionalkan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tapi apa pun jawabannya, dua kesalahan yang mereka lakukan, yakni kesalahan karena metodologi atau akibat pesanan, adalah sama-sama fatal.

Kesalahan metodologi survei mengingatkan kita pada kehancuran Literary Digest pada 1936 yang memprediksi kemenangan Alf Landon pada pemilihan presiden Amerika Serikat. Hasilnya, rakyat Negeri Paman Sam tersebut ternyata memilih Franklin D Roosevelt.

Sementara George Gallup yang melakukan survei dengan sampel lebih kecil, tetapi lebih ilmiah sukses meramalkan kemenangan Roosevelt. Dampaknya kemudian Literary Digest bangkrut.

Adapun jika karena pesanan, kesalahan yang dilakukan lembaga survei jauh lebih fatal karena menyangkut moralitas dan integritas. Semestinya para pelaku survei tetap berpegang teguh bahwa mereka bukanlah pekerja politik, tapi pekerja intelektual yang mempertaruhkan kinerja berdasarkan kekuatan intelektual, bukan kekuatan uang semata dari pihak yang memesan mereka.

Apalagi jika hasil kerja mereka ternyata memengaruhi sikap masyarakat dan masa depan mereka terkait dengan pemimpin yang mereka pilih. Dua kesalahan tersebut secara faktual harus diakui telah menempatkan lembaga survei pada titik nadir terendah sejak sepak terjang mereka mewarnai demokrasi modern Indonesia.
Apakah mereka bisa bangkit, tergantung apakah mereka mampu menjaga kejujuran atau menempatkan diri secara proporsional apakah sebagai konsultan politik,lembaga survei independen, atau lainnya.

Jika tidak,ketidakpercayaan masyarakat terhadap derajat intelektualitas dan integritas lembaga survei akan mendorong mereka menuju sendyakala.
(lns)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5031 seconds (0.1#10.140)